MOJOK.CO – Sekelebat, ia melihat bayangan putih dengan rambut hitam panjang di balik pagar rumahnya yang cukup tinggi: ih, diganggu kuntilanak!
“Tiara, lain kali jangan tidur terlalu malam, apalagi sampai pagi-pagi buta. Ngeri, loh.”
Bu Broto, seorang tetangga, menegurku saat aku berkisah kadang-kadang aku baru bisa tidur pukul 2 pagi. Kami sedang berbincang-bincang bersama sembari menunggu giliran dipanggil untuk nyoblos di TPS dekat rumah.
“Eh, memang kenapa, Bu? Tiara biasanya memang tidur jam segitu.”
Bu Broto menghela napasnya.
“Saya habis diganggu kuntilanak,” jawabnya lesu. Aku kaget dan sedikit merinding. Kukira, perumahan kami aman dari nuansa angker-angker semacam itu.
Dengan raut wajah pucat, dia memulai kisahnya, selagi ibuku maju untuk memilih calon presiden pilihannya di bilik suara. Begini ceritanya:
Dua malam yang lalu, Bu Broto dikabari saudaranya yang bernama Pak Kusdi. Katanya, Pak Kusdi sekeluarga akan datang menginap untuk beberapa hari, mengingat TPS mereka untuk ikut pemilu adalah di lingkungan kami. Bu Broto sepakat, lalu menunggu kedatangan Pak Kusdi hingga larut malam.
Karena Pak Kusdi harus bekerja terlebih dulu, perjalanan keluarga mereka dari Jakarta menuju Purbalingga (iya, kami tinggal di sebuah desa di Purbalingga) pun diyakini bakal berakhir cukup malam. Bu Broto tidak merasa masalah dengan itu. Dengan semangat, ia menunggu walau harus sampai pukul 1 pagi.
“Aku sudah sampai di jalan yang banyak gangnya. Bingung harus ke mana,” kata Pak Kusdi saat itu, melalui telepon.
“Tunggu di sana, aku keluar ke pinggir jalan saja, ya,” jawab Bu Broto yang segera mengambil jaket dan mengenakan sandal jepitnya, bersiap keluar menghampiri mobil Pak Kusdi.
Tapi, baru saja Bu Broto membuka pintu rumahnya, ia mendengar sesuatu yang terkikik keras dan mengerikan. Sekelebat, ia bahkan melihat bayangan putih dengan rambut hitam panjang di balik pagar rumahnya yang cukup tinggi.
“KUNTILANAAAAK!!! PAK, PAK, ADA KUNTILANAK!!!” teriak Bu Broto, refleks, sembari masuk ke kamar dan membangunkan suaminya. Karena horor yang datang mendadak akibat diganggu kuntilanak, ia kemudian menelepon Pak Kusdi, lalu menuntunnya sampai ke depan rumah melalui telepon.
Ditemani suaminya, Bu Broto tak lagi mendengar tawa kuntilanak yang mengerikan itu. Untuk sekejap, ia merasa lega dan terbebas dari horor kuntilanak yang entah datang dari mana tadi.
Tapi, jangan dikira segalanya berakhir begitu saja. Pagi harinya, setelah azan Subuh berkumandang, Pak Broto, Bu Broto, beserta keluarga Pak Kusdi berbondong-bondong menuju masjid perumahan untuk salat berjamaah. Namanya juga mau ibadah, tentu saja hati Bu Broto tenang, dong; aman, damai, sentosa!
Tapi, tapi, tapi, Bu Broto kini menyebutkan soal pohon besar di gerbang masjid. Biasanya, pohon ini bertindak normal, sebagaimana pohon-pohon biasa pada umumnya. Namun hari itu, sesuatu yang aneh lagi-lagi terjadi.
“Bu Broto… Bu Broto… Hihihi… Bu Broto… Hihihi…”
Suara misterius yang mendayu-dayu pun terdengar dari atas pohon yang besar tadi. Lagi-lagi, sekelebat bayangan putih tadi tertangkap mata Bu Broto. Sontak, dengan mengangkat mukena yang sudah dipakai, ia segera berlari masuk ke dalam masjid sambil menahan teriakannya di dalam hati.
Astaga, batin Bu Broto, orang mau ibadah aja diganggu kuntilanak. Sungguh, ini setan gigih banget, dah, kayak orang lagi nyapres aja! (A/K)