MOJOK.CO – Siapa sangka rumah dinas Ayah terletak di kompleks perumahan angker? Masa iya kami harus bertahan hidup bersama setumpuk cerita horor begini, sih?
Keluarga kami baru pindah rumah tiga minggu yang lalu ke kompleks perumahan dinas tempat Ayah bekerja. Lingkungan baru kami terbilang sepi karena penghuninya jarang bersosialisasi, tapi tempatnya nyaman dengan jalanan yang lebar dan pepohonan rindang.
Saking sepinya, tak sedikit cerita-cerita mengerikan aku dengar soal kompleks perumahan angker—atau setidaknya begitulah yang mereka sebut soal tempat tinggal baruku. Beberapa orang bilang bahwa sebaiknya, menjelang Magrib, aku benar-benar duduk manis di dalam rumah.
Pasalnya, konon, ada makhluk halus berwarna merah yang kerap berkeliling kompleks untuk mengganggu siapa pun yang masih berjalan-jalan.
Sebagai orang yang nggak berani-berani amat, cerita ini jelas cukup menakutiku. Namun, bagaimanapun, aku hanya merasa takut saja—bukan lantas percaya gosip yang beredar. Untuk berjaga-jaga, aku cuma melakukan beberapa antisipasi.
Kalau aku terpaksa pulang ke rumah saat Magrib, biasanya aku akan membaca Alfatihah berulang-ulang. Tentu saja, kendaraanku kupacu lebih cepat karena khawatir melihat makhluk halus berwarna merah yang mengerikan.
Suatu hari Paman datang ke rumah dengan sedikit tergopoh-gopoh. Matanya memerah, tampak seperti orang ketakutan, tepat setelah turun dari mobil.
“Kenapa, Paman?” tanyaku penasaran.
“Tadi Paman sepertinya menabrak orang di jalan belokan sana, sebelum sampai ke sini.”
Aku terkejut, “Terus gimana? Orangnya luka?”
Paman menggeleng, lalu menjawab, “Orangnya hilang.”
Setelah salat Magrib (Paman datang di waktu-waktu Magrib tiba) dan minum teh, baru Paman bisa tenang dan bercerita apa yang baru terjadi.
“Tepat di belokan tadi, ada wanita menyeberang. Tiba-tiba saja muncul. Paman kaget, lalu menabrak. Kepala Paman kepentok setir karena mendadak.”
“Terus?”
“Waktu kepala tegak lagi, wanita itu udah nggak ada. Nggak ada siapa-siapa sama sekali, bahkan luka darah aja nggak ada, padahal Paman yakin tadi itu nabrak. Tapi, ya, di sekitar situ nggak ada rumah yang pintunya kebuka.”
Hening sebentar. Akhirnya aku bertanya, “Wanita itu ciri-cirinya gimana? Siapa tahu aku kenal.”
“Paman nggak lihat mukanya,” jawab Paman, “hanya saja bajunya merah dari atas sampai bawah.”
Aku, tiba-tiba, merasa merinding mendengar jawaban Paman.
***
Kisah Paman cukup membuatku ketakutan berada di kompleks perumahan angker ini. Tapi, bagaimanapun juga, aku harus tetap berpikir positif. Toh, aku tidak mengganggu pihak-pihak yang “angker” tadi, jadi semestinya aku juga tak perlu khawatir.
Suatu hari, Ibu memintaku mengantarkan undangan pernikahan titipan yang terlupa kepada salah seorang tetangga kami. Kami tinggal di satu kompleks yang sama, hanya saja letaknya agak berjauhan. Rumahnya ada di bagian belakang, sedangkan rumah kami di area depan.
Saat itu, malam hampir menunjukkan pukul 9. Lampu di kompleks perumahan angker—duh, kenapa aku malah menyebutnya angker?—ini memang menyala, tapi suasana sepinya sungguh mengganggu. Pun, nyala lampu tadi cukup temaram—tidak benderang sama sekali.
Demi megikuti permintaan Ibu, aku berangkat. Aku belum pernah ke rumah teman Ibu, jadi aku berjalan pelan-pelan sambil mengamati nomor rumah yang kulewati.
Bagian belakang kompleks perumahan angker ini ternyata jauh lebih sepi dan mengerikan. Saking sepinya, kamu bakal merasa lupa bahwa di dunia ini ada acara-acara ramai, semacam festival dan pesta ulang tahun.
Di sebuah tikungan, aku berbelok. Di sana, aku menyadari sebuah sepeda motor sedang berputar di sebuah bundaran kecil kompleks.
Aneh sekali, batinku. Buat apa seorang pengendara sepeda motor mengitari bundaran berkali-kali, di malam hari, dengan atribut lengkap?
Saat aku mendekati bundaran, motor tadi langsung bergerak mendahuluiku. Sempat merasa lega karena perasaan “ada temannya”, aku diam-diam mengikuti motor tadi. Rasa-rasanya, motor ini kok juga mengarah ke nomor rumah yang kucari.
Sebuah belokan kecil menunggu kami. Motor tadi berbelok, aku mengikutinya. Saat itu, aku kaget setengah mati.
Motor tadi hilang tanpa bekas. Di belokan ini, tidak ada seorang pun kecuali aku dan motorku. Seluruh pagar rumah di sana tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda seseorang baru saja memarkir motornya.
Mendadak, aku langsung teringat banyak cerita soal kompleks perumahan angker ini.
Rasanya, aku ingin pulang saja. (A/K)