MOJOK.CO – AC Milan vs Inter Milan punya makna yang besar di penghujung Serie A 2018/2019. Pemenang derbi Milan bakal punya modal penting amankan posisi tiga besar.
Gus Dafi memandang derbi Milan bukan sebuah pertandingan yang “penting-penting amat”. Milan lawan Inter itu sama kok kayak Milan vs Salernitana. Klub besar lawan medioker, bukan grande partita, bahkan ia sebut “klub sampah”. Sementara itu, bagi Interisti, Diavolo Rosso dan gerombolan ultrasnya adalah kaum paling hipokrit di jagat sepak bola dunia.
Gus Dafi: Bagi Milanisti, Milan lawan Inter Milan itu ya sama kayak Milan lawan Salernitana.
Inter Milan itu sampah. Dan yang namanya sampah itu ya nggak perlu dijelasin. Ngapain kudu jelasin sampah ke orang? Kasihan orang yang dijelasin, bisa muntah dia. Muntahannya jadi sampah lagi. Jadi Inter lagi dong? Kan kasihan.
Salah satu ke-sampah-an Inter Milan adalah mereka itu sebenarnya penyebab Serie A jadi kalah pamor ketimbang Liga Inggris dan La Liga Spanyol dalam satu dasawarsa ini. Ya iya dong, usai skandal Calciopoli, cuma AC Milan yang sempat menunjukkan bahwa tim Italia adalah tim terkuat dunia saat itu pada 2007.
Gelar Liga Champions 2007 itu juga jadi bukti, ada atau tidaknya skandal Calciopoli, Inter ya tetap berada di pantatnya Milan.
Faktanya, habis itu berturut-turut Serie A kalah pamor karena ketika AC Milan dan Juventus dipreteli habis-habisan (pengurangan poin dan degradasi). Ya jelas, Inter mana bisa bicara banyak di Eropa meskipun dapat Scudetto terus-terusan. Medioker kok dipercaya mewakili Italia.
Jangan dibandingkan dengan Inter pada 2010 yang bisa dapat treble winner lalu koar-koar seolah-olah jadi klub terbaik dunia, padahal Kerajaan FC Barcelona masih digdaya dengan Pep Guardiola-nya. Duh, bener-bener nggak ada urat malunya.
Kemenangan pakai negative football itu nggak ada harga-harganya sama sekali. Persis kayak nenek moyang mereka: Helenio Herrera.
Sosok yang membawa Serie A Italia berada pada periode abad kegelapan sampai 1980-an akhir. Sampai kemudian datang “Sang Pencerah” Arrigo Sacchi yang mengubah wajah Serie A dan dunia sepak bola dengan atraksi menawan, cara main bola penuh gaya ke seluruh klub-klub Eropa dengan Marco van Basten, Frank Rijkaard, dan Ruud Gullit.
Kedatangan Sacchi itu kayak ngasih tahu ke Bani Herrera: “Gini lho caranya main bola. Apa? Kamu tahunya strategi Park The Sumber Kencono Bus?”
Jadi, bisa dibilang hari-hari jelang derbi Milan sebenarnya tidak pernah dianggap sebagai partai penting sih sama Milanisti. Ngapain? Susah buat bangga bisa menang dari Inter Milan. Kalau kalah sih memang memalukan. Ya kayak pertemuan pertama, yang kalah 0-1 itu. Duh, rasanya sakit.
Ya ini ibarat tim megah kayak Brazil 1970 dikalahin sama klub Persiku Kudus. Sakit dong. Kalah sama medioker jeh?
Tapi sebaliknya, bagi Inter Milan, bisa menang lawan Milan itu anugerah luar biasa. Kayak AD Alcorcon, klub divisi dua, yang bisa ngalahin Real Madrid gitu. Ya namanya main bola, kecelakaan-kecelakaan kalah model gitu kan ya pasti ada.
Hal ini sebenarnya menunjukkan kalau Milanisti itu nggak benar-benar benci sama Inter. Kebanyakan Milanisti itu kasihan aja sama klub kayak Inter begitu. Mereka anggap kami rival, padahal kami mah biasa aja. Yah, main lawan Inter itu, bagi Milan mungkin kayak tanding ketemu klub Galernitana, eh, Salernitana gitu lah.
Berabad-abad berusaha satu level dengan Juventus di Italia nggak mampu, berusaha satu level dengan Milan di Eropa mana mungken?
Lha gimana? Gelar Liga Champions satu klub kok ya kalah sama satu pemain Milan kayak Paolo Maldini. Itu klub atau mustahiq (orang penerima zakat)?
Mbah Bud: AC Milan dan fansnya adalah kaum hipokrit.
Masih ingat dengan tanda pagar #WeAreSoRich yang wara-wiri di media sosial? Nah, seperti itulah tingkah konyol sekaligus kegagapan Milanisti terkait klubnya, AC Milan, yang dahulu jaya tapi sekarang bak kapal oleng.
Saya masih ingat jelas, momen itu bikin mereka dengan bangganya menepuk dada sambil nyeloteh ke mana-mana jika Milan akan segera bangkit dan jadi kekuatan utama lagi, baik di Italia dan Eropa. Namun akhirnya ya ramai-ramai sembunyi di gua karena ditipu mentah-mentah sama Yonghong Li. Malu? Ya mana mungkin malu. Lha wong klub sama suporternya sudah nggak punya malu. Wqwqwqwqwq….
Sebelumnya, Milanisti juga menampakkan kekonyolan plus kegagapan dengan menyebut DNA Eropa kalian sudah kembali cuma karena menekuk Bayern Munchen di laga pramusim beberapa tahun lalu. Hasil laga pramusim dijadikan acuan kekuatan iki piye ceritane? Desperate banget, Gusti. Kasihan. Mending bubar, lalu bikin klub baru buat berlaga di Liga Santri. Tobat, nggak menyembah setan, malah penuh barokah.
Kalau klub jagoanmu sukses, sesombong apapun kamu sih sah-sah saja. Pemenang kan bebas. Lha kalau performa tim kesayangan jeblok tapi masih ngeyel buat bersikap congkak ini dalilnya apa? Astaghfirullah. Ngefans itu mbok yang rasional, mendahulukan akal sehat ketimbang bacot. Wahai Milanisti, kowe iki kok seneng banget jadi cah delusional.
Apa susahnya mengakui kalau timmu itu sudah jarang juara? Performa di lapangan juga angin-anginan sampai rajin gonta-ganti pelatih. Kalau penampilan Fabio Borini dan kolega lagi bagus-bagusnya, kalian mondar-mandir di linimasa. Tapi kalau jeblok, kenapa ngilang sih? Balik ke gua ya buat belajar ilmu kebatinan?
Selama ini saya cuma beranggapan kalau Cebong dan Kampret itu dua kaum paling edan dan hipokrit yang pernah ada. Berisiknya minta ampun lagi. Eh, ternyata Milanisti berbaris rapi di belakang keduanya sebagai kaum paling edan dan hipokrit nomor tiga.
Mau menyadarkan sembari mengajak bertobat kok rasanya percuma alias buang-buang tenaga, lha gimana, mereka kan penyembah iblis laknatullah. Karakter dan sifatnya pasti mirip junjungannya. Terkutuk!
Peppino Prisco pernah bilang kalau di kota Milan memang ada dua kesebelasan. Mereka adalah Internazionale Milano dan Internazionale Milano Primavera. Di derbi Milan besok, ucapan Prisco pasti terbukti sekali lagi.
Lantas AC Milan ada di mana? Ya di gua!