MOJOK.CO – Setelah Pilpres 2019, kini muncullah dua golongan manusia gagal move on. Yang satu karena sebal harus kalah, yang satu lagi malah kelewat songong!
Selain melahirkan dua kelompok besar, yakni yang menang dan yang kalah, pemilu juga menciptakan golongan lain bernama: orang-orang gagal move on. Entah karena terlampau serius terlibat dalam helat politik lima tahunan itu atau karena teguh memegang prinsip “lebih-baik-gagal-move-on-karena-pemilu-daripada-karena-kamu”, bahasan soal pemilu seolah tak bisa berhenti dibahas sampai berbusa, selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun setelah what-so-called pesta demokrasi itu berlalu.
Sebagaimana jumlah kubu capres, orang-orang gagal move on ini (juga) terdiri dari dua pihak.
Pihak pertama adalah mereka yang ngotot berpendapat bahwa oemilu belum selesai sampai janur kuning melengkung di pelataran rumahmu dan aku menatap sedih dari kejauhan KPU mengumumkan hasilnya secara resmi. Atas dasar itu, mereka akan: (1) menolak percaya pada hasil hitung cepat, (2) menaruh dan menyebarluaskan rasa curiga—seperti cara semut-semut di dinding menatap Obbie Mesakh dalam lagu Kisah-Kasih di Sekolah—kepada penyelenggara pemilu, dan (3) merasa telah dirugikan dan dicurangi lawan sehingga tidak bersedia mengakui hasil pemilu.
Kita tahu, tipe gagal move on seperti ini adalah sesuatu yang jamak, milik orang-orang dari kelompok yang kalah. Sesuatu yang wajar, sungguh. Karena, siapakah yang dengan mudah melupakan bergepok-gepok rupiah yang telah dikeluarkan untuk membeli sepatu dan lipstiknya ketika sedang sayang-sayangnya biaya kampanye? Maksud saya, berada di pihak yang kalah, lalu gagal move on tentu adalah hal yang biasa-biasa saja.
Namun demikian, tetap saja ada yang tidak biasa pada golongan ini. Hal ini, barangkali ditunjukkan oleh kenyataan bahwa mereka telah dengan berani hati mengikuti pentas kontestasi (wuiiiih… istilah ini!) tanpa memikirkan kemungkinan bahwa siapa saja bisa jadi pecundang, bukan karena uang—eh, usaha—yang kurang, melainkan karena pihak lawan memang tampil lebih baik.
Jadi, yah, nasihat untuk tipe ini, agar mereka dapat lebih mudah mengalihkan emosinya sehingga situasi bangsa menjadi aman dan terkendali, adalah dengan menjelaskan secara p-e-r-l-a-h-a-n bahwa, dalam setiap pemilu, jumlah orang yang menjadi semakin cerdas dalam menentukan pilihannya terus meningkat.
Ya, saya ulangi sekali lagi: para pemilih cerdas. Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang dengan cerdas memilih uang daripada janji, yang cerdas membela agama daripada kemaslahatan bersama, dan yang cerdas memilih pekerja daripada penjual mimpi masa lalu.
Tapi ingat: kriteria yang terakhir itu “cerdas beneran”, ya, Kak. Yang sebelum-sebelumnya cuma satir. Hehe.
Namun bagaimanapun, tipe manusia gagal move on seperti ini dapat dimengerti keberadaannya, Saudari-saudara. Agar mereka segera melangkah maju, yang mereka perlukan adalah hiburan, pelukan, doa, serta kucing dan semut yang dapat diajak bicara. Risakan (bullying) hanya bakal memperpanjang lara, menyuburkan dendam nan membara, sekaligus memerihkan luka hingga rasa yang tak terkira.
Please, deh, mereka bukan binatang jalang dari golongannya yang terbuang. Paham? Terima kasih atas pengertiannya.
Kini, kita beralih ke pihak yang berikutnya: pihak kedua.
Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang ngotot merayakan kebahagiaannya secara berlebihan, bila perlu sampai masa pemilu berikutnya. Ini jelas pertanda gagal move on menahun. Atau, melima tahun?
Ini sungguhlah tipe gagal move on yang aneh. Maksudnya, mereka menang, tapi tidak puas jika merayakan kemenangannya secara biasa-biasa saja. Bikin tersinggung saja!
Duh, menang kok gagal move on? Sungguh tak berperasaan. Kalau kalian menang, lalu gagal move on, kami-kami yang ditinggal nikah ini apa??? Gagal maning???
Pihak kedua ini, selain berparade keliling kota atau menyebarkan video “Siap, Presiden” sebagai sindiran, juga akan terus mengolok-olok pihak gagal move on yang pertama. Entah apa manfaatnya, tapi barangkali memang tidak semua kegiatan harus bermanfaat. Aduh, Kaka e.
Orang-orang menang yang gagal move on ini adalah tipe manusia yang agak aneh. Kabarnya, golongan ini muncul karena pencapaian mereka melebihi ekspektasi. Maksudnya, sebelum pemilu, mereka tidak terlalu “siap menang,” tapi—eh, ternyata menang.
AKibatnya? Terciptalah kesenangan menahun. Pokoknya, terus terang, mereka terang senang terus. Seolah-olah, dengan berhasil menang pemilu, mereka juga telah menjadi menang di segala hal. Hadeeeeh!
Yang abai mereka pikirkan adalah kenyataan bahwa belum tentu dengan menang pemilu, mereka dapat akan berhasil menyelesaikan karut-marut persoalan di negeri kelapa ini. Tetapi coba lihat: lagaknya minta ampun! Angkat kepala macam su jago-jago sa.
Mana mau, sih, mereka berpikir bahwa mereka menang bukan karena mereka hebat, tapi karena lawan mereka memang tidak sepadan? Atau minimal berpikir: mereka menang karena yang berbondong-bondong memilih adalah orang-orang yang merasa kasihan karena si tokoh utamanya senantiasa diremehkan—yah, sederhananya, dipilih karena kasihan saja. Ciyeee~
Nasihat yang dapat diberikan untuk golongan ini rasanya tidak ada. Kalau toh ada, mungkin tidak akan berhasil. Pemenang, di mana-mana, memang boleh sombong. Bahwa ekspresi kegembiraan itu membuat mereka tampak songong, situ bisa apa kalau kemudian mereka hanya jadi sekumpulan pembohong?
Misalkan suatu saat mereka akhirnya meminta nasihat, jangan mau. Kalau nasihatmu sesuai dengan yang mereka pikirkan, mereka akan bilang, “Yang itu kami sudah tahu.” Tapi, kalau nasihatmu tidak sesuai dengan yang mereka pikirkan, yang kau dapat adalah cemoohan: “Memangnya kau pernah menang?” Matek kon!
Tetapi jangan khawatir. Dua tipe manusia gagal move on yang sungguh tak penting di atas itu tetap tidak apa-apanya dibanding kita, Kakak Ganteng. Gagal move on ala kita tetaplah yang paling abadi.
Kenapa? Ya tentu karena kita tidak akan pernah berhasil mengalihkan perhatian dari undangan pernikahan mantan. Tidak juga bakal rela berhenti mengetikkan namanya di kolom pencarian Facebook dan Instagram pada malam-malam yang tua nan sepi. Hiks….