Kalaulah ada profesi yang bisa melatih untuk tidak silau kepada jabatan dan pangkat, maka boleh jadi, ia adalah tukang obras bordir.
Betapa tidak, dari mulai badge taruna tingkat 1, 2, 3, kolonel, perwira, bahkan dari yang dasar seperti OSIS hingga Pramuka, tukang obras bordirlah yang mengerjakan. Ia terbiasa berkutat dengan dunia pangkat, dan ia pun senantiasa sadar, bahwa perbedaan pangkat sejatinya hanyalah perbedaan warna dan bentuk badge, tidak lebih. Ia sadar betul, bahwa beraneka badge tersebut, kelak, tidak ada yang dibawa mati, ia hanya titipan. Di hadapan Alloh, Kopral dan Perwira sama saja, yang membedakan hanyalah iman dan taqwanya.
Namanya Widagdo (bukan nama sebenarnya), Pria setengah baya berusia hampir lima puluh tahun ini adalah seorang tukang obras bordir manual di bilangan daerah sekitar Akademi Militer Magelang. Ia sudah menggeluti profesi ini sejak tahun 90-an.
Widagdo biasa mengerjakan garapan badge pangkat, divisi, dan nama untuk seragam sekolah ataupun tentara. Kadang, ia juga mengerjakan garapan gaun atau pakaian lainnya yang membutuhkan sentuhan bordir dan obras.
Dulu, penghasilan menjadi tukang obras bordir manual bisa dibilang cukup besar. Maklum, jaman dulu belum berkembang teknologi bordir menggunakan komputer. Sekarang, di tengah maraknya teknologi bordir komputer, yang hasilnya tentu saja lebih halus dan presisi, para tukang obras bordir manual seperti Widagdo masih tetap bertahan dengan menerima garapan-garapan badge satuan dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Yah, begitulah hidup. Ia dibangun oleh banyak hal, dan kompetisi adalah salah satunya.
Tukang obras bordir cenderung menyukai orang-orang dengan nama yang pendek dan singkat. Maklum, untuk membordir badge nama, misalnya, nama “AGUS” ataupun nama “AGUSTINUS”, tarifnya sama saja.