Yang Susah Itu Meyakinkan Orang Tua bahwa Kita Nggak Butuh Beasiswa Bidikmisi

Yang Susah Itu Meyakinkan Orang Tua bahwa Kita Nggak Butuh Beasiswa Bidikmisi mojok.co

ilustrasi Yang Susah Itu Meyakinkan Orang Tua bahwa Kita Nggak Butuh Beasiswa Bidikmisi mojok.co

MOJOK.CO – Kuliah gratis dan dibayar itu menggiurkan. Tapi, cobalah kuat iman, diskusikan peruntukkan beasiswa bidikmisi ini pada orang tua.

Saya ingat betul bagaimana beberapa kawan saya dulu mengurus beasiswa bidikmisi dan betapa bahagianya mereka ketika jatah mereka cair. Pikir saya ketika itu, enak banget ya kuliah dibiayai negara, dikasih uang saku pula. Kadang, kalau beasiswa bidikmisi kawan saya itu cair, ia tak ragu ngajak makan ke restoran yang agak fancy bagi sebagian mahasiswa: Pizza Hut. Dan, dia nggak ragu buat ngebayarin. Kan saya jadi girang.

Tepat sebelum masa-masa kuliah dimulai sebenarnya saya pernah membicarakan beasiswa bidikmisi dengan beberapa saudara, tetangga, dan tentu saja orang tua. Mungkin, bantuan ini kelewat populer dan bikin orang-orang tertarik. Perlu diketahui kalau orang tua saya adalah golongan mampu. Meski nggak kaya raya, tapi saya percaya dengan kemampuan ayah saya yang ketika itu masih aktif bekerja. Dalam hati saya merasa beasiswa Bidikmisi bukan buat saya, kalaupun mau cari beasiswa, tentu cari yang jalur prestasi saja. Sebab, salah satu syarat penerima beasiswa Bidikmisi adalah golongan tidak mampu. Banyak berkas yang harus dikumpulkan untuk memvalidasi hal itu.

Meski begitu, kadang saya juga merasa bersalah pada orang tua. Saya nggak telaten buat nyari beasiswa jalur prestasi meski nilai saya agak lumayan. Saya juga tipe yang nggak mau terikat beasiswa dengan embel-embel “balas budi”. Seringnya, beasiswa yang begitu mengharuskan mahasiswa bekerja kontrak sekian tahun setelah lulus. Lha ya nggak apa-apa kalau kerjaannya oke, kalau disuruh kerja rodi kan mampus juga.

Bodohnya saya juga bukan tipe mahasiswa mandiri yang bisa kerja paruh waktu sejak awal kuliah. Kesadaran itu justru baru muncul di saat saya seharusnya fokus ngerjain skripsi. Intinya saya cukup ngawur untuk nggak membantu meringankan beban orang tua selama kuliah. Uang saku dikirim rutin tiap bulan, uang semesteran juga nggak pernah telat. Memang agak pekok dan sedikit kurang ajar.

Namun, yang perlu dibanggakan dari itu semua adalah ketika saya berhasil meyakinkan orang tua bahwa beasiswa Bidikmisi bukan untuk saya, bukan untuk orang tua saya. Suatu hari sebelum saya benar-benar masuk bangu perkuliahan ibu saya menanyakan mengapa saya nggak berusaha mendaftar beasiswa Bidikmisi. Saya jawab santai, “…itu buat orang yang tidak mampu, harus minta surat ke RT dan RW, foto rumah, dan banyak lagi persyaratannya.”

Jawaban ibu saya sejenak bikin kaget, “Lho itu tetangga si A, saudara si B, mereka bikin surat keterangan tidak mampu juga kok, gampang ngurusnya. Foto rumah, ya foto rumah tetangga aja nggak apa-apa. Memangnya kamu nggak pengin meringankan beban orang tua?”

Mak tratap. Ya saya pengin lah meringankan beban orang tua, tapi caranya nggak begitu. “Ma, banyak orang di luar sana yang beneran nggak mampu, yang beneran rumahnya kecil dan ditinggali banyak orang, yang mungkin nggak jadi kuliah kalau nggak dapet beasiswa. Kalau ada yang begitu nggak dapet bantuan demi orang-orang kayak aku ini, apa aku nggak dianggap ngambil hak orang?”

Ibu saya tentu saja masih denial. Bahkan awalnya ayah saya juga punya pemikiran serupa. Mereka sebenarnya nggak tahu bahwa bantuan macam beasiswa juga punya mekanisme kuota dan banyak orang yang jauh lebih membutuhkan. Mungkin kebanyakan orang mikir, pokoknya beasiswa lah. Nggak peduli itu makan hak orang lain, nggak peduli kompleksnya ekonomi orang tua mahasiswa, pokoknya kalau dapat gratisan ya gas. Mental beginian memang susah.

Sekali waktu setelah kuliah beberapa semester akhirnya topik beasiswa Bidikmisi ini kami bahas lagi. Kali ini ayah saya juga ikutan nimbrung. Saya menceritakan temuan saya soal betapa njomplang kehidupan penerima beasiswa yang harusnya tidak menerima, dan kawan saya yang lain yang tidak mampu dan seharusnya menerima.

Si penerima beasiswa, datang ke kampus selalu berpakaian necis dengan sepatu mahal. Saya paham betul sepatu itu bukan hasil hedon dari cairnya beasiswa yang dia terima. Memang karena duit dia banyak aja. Ponselnya apel kroak keluaran terbaru. Nongkrongnya kadang pakai mobil, minimal pergi ke McD dan nggak cuma pesan McFlurry. Lingkar pertemanannya juga orang-orang tajir dengan gaya hidup di atas rata-rata mahasiswa lain. Entah, ini anak memang beneran nggak mampu atau tipe pemalsu dokumen dengan mental gratisan.

Kawan saya yang lain, yang tidak menerima beasiswa tapi seharusnya menerima, adalah seorang perantau yang bahkan di awal semester pernah melamun di pinggiran kampus saking nggak tahu harus bayar kuliah pakai apa. Keluarganya tidak utuh, ia harus hemat dengan makan nasi dan garam setiap akhir bulan. Ketika ditanya mengapa ia tidak mencari beasiswa Bidikmisi, pikirnya dia memang tidak cukup pintar.

Saya menceritakan ini semua pada orang tua dan mereka mengerti. Di momen itu saya sekaligus minta maaf karena harus sekali lagi menjadi beban keluarga, meminta uang saku secara rutin, dan uang semesteran yang lumayan. Tapi, jawaban orang tua saya akhirnya bikin lega. Mereka tidak menganggap saya beban, pun soal beasiswa Bidikmisi yang sebenarnya hanya “iseng” mereka bahas sebelum saya kuliah. 

Soal Pizza Hut yang saya makan dari uang Bidikmisi kawan, tidak ingin saya pikirkan. Toh itu hanya sekali dua kali dalam setahun. Lain soal jika makan beginian diinternalisasi sebagai gaya hidup si penerima beasiswa. 

Jika memang mereka yang menerima bantuan itu dari golongan tajir yang aslinya nggak pantas dapat beasiswa, saya kirimkan iba pada mereka semua. Kasihan sekali menjalani sisa hidup dengan perasaan bersalah yang walau tak begitu mengganggu itu tetap akan mengganjal. Kasihan sekali mereka tidak dapat mensyukuri apa yang mereka punya sehingga mengambil milik orang lain dengan cara paling tidak asyik.

BACA JUGA Sudah Tajir Kok Cari Beasiswa Bidikmisi, Kemaruk Amat Kayak Fir’aun dan tulisan AJENG RIZKA lainnya.

Exit mobile version