MOJOK.COÂ – Tiada aplikasi perpesanan dan media sosial lain yang melelahkan begini. WhatsApp bikin capek lahir dan batin. Membayangkan membuka pesan baru saja seram.
Di pertengahan pandemi, seorang kawan saya tiba-tiba ngajak bicara ngelantur. “Eh, aku pengin menghilang deh selama sebulan.” Tentu saya kaget sampai menebak raut wajahnya yang ternyata serius. Katanya dia benar-benar bosan dengan dunia medsos 4.0 dan ingin hidup di desa, tanpa diketahui siapa pun.
Saya pikir ini akan mustahil jika kita bawa smartphone karena kemana pun kalian pergi, masih bisa dilacak pakai GPS. Saya juga nggak membayangkan sepulang dia dari acara ‘menghilang’ betapa rimbun notifikasi ponselnya. Sebulan sebelum mengutarakan ingin menghilang, si kawan saya memang tipe orang ilangan yang susah dihubungi. Dia bilang sendiri kalau dia muak buka WhatsApp. WhatsApp bikin capek, katanya.
Tentu acara pengin menghilang dan hidup di desa itu adalah titik kulminasi dari stresnya pekerjaan dan kehidupannya yang terintegrasi dengan ruang virtual.
Mendengar itu saya tidak bisa mengelak pernyataan bahwa betapa stresnya membuka aplikasi WhatsApp belakangan. Notifikasinya selalu banyak, grupnya juga banyak, belum lagi ajakan telepon dan video call yang nggak pernah berakhir. Saya juga merasa capek perlahan-lahan.
Beberapa hari yang lalu ponsel saya mengalami problem yang sampai sekarang nggak bisa teratasi:Â notification bar tidak muncul. Kabarnya, satu-satunya jalan adalah dengan factory reset yang tentu saja sama dengan meribetkan diri sendiri. Awalnya saya terganggu dengan ini. Saya jadi nggak rajin buka email dan jadi nggak tahu kalau ada yang kirim pesan ke WhatsApp.
Lama-lama saya nyaman sendiri karena WhatsApp yang bikin capek itu, sekarang nggak berisik lagi. Saya hanya membukanya sesekali saat standby kerjaan dan ada janjian. Hidup terasa agak lite walau hanya sepersekian persen saja.
Sebelumnya, saya pernah ditegur sama kolega di WhatsApp grup hanya karena saya nggak pernah muncul. Padahal grup yang isinya lintas usia itu dikuasai sama boomer-boomer yang kalau saya maksa nimbrung justru bakal kikuk. Nggak tanggung-tanggung saya juga dikatain anak muda nggak proaktif, apatis, dan generasi penerus yang kurang tanggap. Cuma karena nggak pernah muncul di grup, Lur, fakta! Gimana nggak bikin capek lahir batin?!
Begini ya, bukannya saya antisosial dan nggak mau akrab sama orang-orang. Saya senang kok kalau ada kawan tanya kabar meski hanya via WhatsApp. Tapi bayangkan kalau yang nanya sampai seribu orang, kan PR juga balasnya. Kalau ada yang nggak dibalas nanti ngambek dan memutuskan tali pertemanan. Hilih, padahal definisi pertemanan nggak sesederhana ngobrol via WhatsApp tanpa konteks begitu sih.
Belum lagi kalau tiba-tiba ada yang telepon, tiba-tiba video call tanpa janjian sebelumnya. Woy, saya lagi ngabuburit sambil baca thread di Twitter tentang berita ‘Jokowi Kaget‘, mau ngangkat juga nanggung banget nih lagi on fire. Jelas akhirnya saya reject dengan rasa bersalah.
Nggak kebayang kalau ada yang lagi yang-yangan diteror video call sama kawan-kawannya. Duh, kepret aja Mz temennya. Aturan mah ngabarin dulu mau telepon, mau video call, mau ngobrol. Boleh apa nggak sama enaknya jam berapa. Gitu lho, Kisanak.
Tapi sungguh sulit meninggalkan aplikasi WhatsApp walau bikin capek nggak karuan. Jujur saja, saya kadang dapat duit ya dari WhatsApp. Nagih duit utangan juga lewat WhatsApp. Jadi meski sebenci dan secapek apa pun, saya selalu kalah.
Satu-satunya kekuatan yang tersisa adalah dengan mematikan jaringan untuk aplikasi WhatsApp saja lalu tetap scroll Twitter dan bukain Instagram Story teman yang nggak penting-penting amat. Biar nggak bikin capek.
Mungkin suatu saat kalau keadaan sudah lebih baik, kalau kerjaan saya nggak melulu haru via WhatsApo, saya bakal puasa medsos. Hidup dengan nontonin film, baca buku, dan masak. Betapa sederhananya sebuah ketenangan.
BACA JUGA Sebutan Jamet Kuproy, Jawir, Pembantu Jawa, dan Labelling Kurang Ajar Lainnya atau artikel AJENG RIZKA lainnya.