[MOJOK.CO] “Mengawali Senin pagi, marilah merenung perihal ayam bersama Koko~”
Beberapa hari lalu, timeline Twitter penuh dengan retweet-an orang tentang pemadaman listrik di Pekalongan.
Jadi ceritanya, ada orang yang mau mandi tapi airnya nga nyala karena doski pakai pompa air. Ternyata, sesuai penjelasan admin akun Twitter PLN Pekalongan, pemadaman terpaksa terjadi sebagai akibat dari seekor ayam yang lompat dari atap dan kena jaringan PLN.
Iya, ayam. A-y-a-m.
Ayam, yang kukuruyuk-kukuruyuk itu bunyinya.
Banyak netijen yang terpesona sama jawaban ini. Tyda sedikit yang me-reply dengan ujaran ketawa (“hahaha”), sementara sisanya khawatir pada kelangsungan hidup si ayam.
“Berita ini sudah kami konfirmasi. Memang benar, salah seorang keluarga kami, bernama Ruru, lompat dari atap dan menyundul trafo,” ungkap Koko, Kepala Aliansi Ayam Nasional Cabang Pekalongan.
Koko melanjutkan, kabar ini memang menyedihkan. Tapi di sisi lain, kaum ayam disebut-sebut bangga pada apa yang telah Ruru lakukan.
“Sejak tahun 1600,” lanjut Koko, “bangsa ayam selalu diidentikkan dengan sikap pengecut. Merupakan suatu penghinaan bagi kami karena harus hidup di bawah stigma tersebut.”
Isu pengidentikkan ayam dengan istilah “pengecut” memang sudah menjadi rahasia umum. Padahal, masih menurut Koko, kalau ayam benar-benar pengecut, apakah KFC akan didirikan? Apakah McDonald bisa beroperasi? Apakah mamang-mamang penjual ayam crispy bisa berwirausaha?
“Kuncinya adalah ayam. Ayam memegang seluruh aspek kunci kehidupan, tapi manusia tidak sadar akan hal itu.”
Dari kasus ini, Koko mengharapkan sebuah solusi.
“Tentu saja saya berharap akan adanya peningkatan kesejahteraan hidup untuk ayam.
“Mengutip rencana epic McDonald tahun 2024, kesejahteraan ayam bisa dilakukan dengan menentukan jumlah kecerahan cahaya di kandang ayam, menyediakan akses ke tempat bertengger yang mendukung perilaku alaminya, dan mengambil langkah lain untuk meningkatkan kesejahteraan yang diperlukan.
“Di Australia, kesejahteraan ayam dinilai dari proses bertelur. Bahkan, ada sebuah kelompok pemerhati binatang yang mendukung dihentikannya jalur distribusi telur ayam dari para peternak yang diketahui menaruh ayam-ayamnya di sebuah kandang sempit.
“Lalu di Indonesia, apa yang bakal ayam-ayam terima? Tolong diingat, ayam adalah sumber protein hewani. Kalau nga ada ayam, situ nga bisa rebutan kulit ayam crispy yang enak. Kalau ayam stres, listrik rumah situ bisa padam. Kita sundul-sundulin trafonya!” tambah Koko, agak emosi.
Selain dibukanya gerai fast food dengan menu utama berupa ayam, Koko juga menekankan pentingnya ayam dalam kehidupan manusia di aspek lainnya.
“Ayam rela bulunya dipreteli. Buat apa? Buat jadi kemoceng. Kemoceng buat apa? Buat bersih-bersih. Coba kalau nga ada kemoceng, manusia mau bersih-bersih pakai apa? Daun pisang?” keluh Koko.
“Bahkan,” tambah Koko berapi-api, “ayam buang air aja bermanfaat. Kotoran kami bisa dikumpulin dan diolah jadi pupuk kandang. Kurang apalagi kami sama manusia, bagi-bagi manfaat sepanjang hidup?”
Melihat keluhan-keluhan ayam yang diwakilkan oleh Koko tadi, kita sebagai manusia tentu perlu memikirkan kebijakan yang tepat bagi para ayam. Tyda lain, hal ini dimaksudkan demi menurunnya tingkat stres ayam agar tak lagi lompat-lompat dari atap dan menabrak trafo.
Tapi kira-kira, langkah-langkah yang bagaimanakah yang bisa kita berikan demi meningkatkan kesejahteraan ayam?
Satu hal yang pasti, saya tidak menyarankan pendidikan bagi ayam.
Bayangkan saja, kalau mereka diberi pendidikan, mereka tentu akan memulainya dari jenjang paling rendah. Mula-mula, mereka akan jadi ayam SD, ayam SMP, lalu ayam SMA. Semakin mereka pandai, mereka bisa menuntut masuk ke kampus-kampus dan jadi ayam kampus.
Umm, sorry. It’s a big no.