Demo tuntutan sopir truk ODOL meraih banyak perhatian. Seperti biasa, selalu ada kontra, dan yang pro malu-malu. Secara pribadi, saya tak bisa menyalahkan sopir truk karena merekalah korban sistem kacau yang selama ini dipelihara. Cuma, saya tak bisa setuju begitu saja dengan tuntutan mereka.
Kenapa? Karena saya tahu betul efek truk ODOL di jalanan. Saya melihatnya tiap minggu. Saya merasakan efeknya tiap minggu.
Tiap minggu, saya harus menempuh lebih dari 150 kilometer untuk berangkat ke-pulang dari Jogja. Saya tak mau sebut daerahnya, tapi bagi pembaca yang sering baca tulisan saya, pasti tahu yang saya maksud (petunjuk: kabupaten di antara Jogja dan Solo). Kebetulan, saya melewati jalur yang sama dengan truk-truk besar yang mengangkut pasir, batu, atau apalah itu. Hampir semua truk yang saya temui di jalan, selalu kelebihan muatan. Saya bilang hampir semua karena saya takut ingatan mengkhianati saya, juga saya tahu selalu ada orang waras di tengah dunia yang gila.
Terlebih ketika ada proyek seperti pengerukan pasir atau pembangunan infrastruktur, truk yang ada berlipat ganda, dan jalan beriringan. Yang terjadi selanjutnya tentu saja bisa ditebak: macet. Dan untuk jalan sekecil itu, kemacetan ini makin memuakkan.
Tapi, apakah hanya kemacetan yang saya lihat? Tidak. Efek truk ODOL tak hanya itu.
Efek truk ODOL yang saya rasakan
Sekitar 2022 akhir, jalan yang biasa saya lewati untuk berangkat ke Jogja akhirnya diperbaiki. Tak tanggung-tanggung, berkilometer yang diperbaiki. Aspalnya halus, rata, tak lagi ada lubang-lubang. Waktu perjalanan bisa berkurang begitu banyak. Yang biasanya saya harus pelan-pelan karena menghindari lubang, kini saya bisa membetot gas lebih dalam karena jalannya mulus.
Tapi, kebahagiaan tersebut hanya saya rasakan sekitar 6 bulan.
Tak hanya saya, pengendara motor saja yang melewati jalan itu (tentu saja). Mobil, bus besar, dan truk pun melewatinya. Masalahnya, seperti yang saya bilang di atas, hampir semua yang saya temui adalah truk ODOL. Dalam jumlah yang banyak, mereka berjalan beriringan, semuanya kelebihan muatan. Alhasil, jalannya pun rusak. Konyolnya, jalan rusaknya membentuk pola ban mereka.
Gini mudahnya. Jalannya jadi tak rata, tapi bentuknya menyerupai ban. Dan itu hanya ada di satu sisi jalan saja. Sisi sebelahnya aman-aman saja.

Hingga kini, jalan tersebut tak kunjung diperbaiki. Ya, saya paham sih kenapa tidak diperbaiki, karena rusaknya tidak hanya sepuluh-dua puluh meter, tapi sepanjang jalan yang direnovasi. Kita bisa berdebat kualitas jalannya memang buruk atau gimana. Tapi, melihat bentuk kerusakannya berpola, ya, mau gimana? Jelas truk ODOL punya andil yang besar. Amat besar, malah.
Inilah efek truk ODOL yang saya lihat dan rasakan selama bertahun-tahun. Beban yang diterima jalan begitu besar, sedangkan jalanannya tidak dirancang untuk menerima beban sebesar itu secara terus-terusan. Kita boleh menyalahkan kualitas jalan di Indonesia memang tidak bagus, tapi saya rasa, truk ODOL tetap menyumbang dosa.
Semoga selesai, tanpa pemakluman
Tak hanya merusak jalan, banyak keluhan yang orang-orang lemparkan terhadap truk ODOL. Kelakuan sopirnya yang ugal-ugalan, serta jika truknya rusak karena nggak kuat nerima beban juga banyak ditemukan di media sosial. Juga, kecelakaan yang terjadi karena kelebihan muatan tak hanya satu-dua kasus.
Saya sering tak setuju dengan pemerintah, tapi mau tak mau, saya paham kenapa aturan muatan ini harus ditegakkan. Praktik keliru ini memang harus segera diakhiri. Mungkin memang korban dari kebijakan adalah kita-kita yang terbiasa apa-apa murah. Tapi, ya mau bagaimana lagi?
Saya tidak sedang menekan dan menyudutkan sopir truk. Hanya saja, efek truk ODOL yang ada tidak bisa lagi diabaikan. Ini perspektif dari saya, pengguna jalan, yang menemui mereka tiap minggu, dan harus bertaruh nyawa gara-gara kondisi jalan yang remuk. Saya juga berhak mengutarakan pendapat, sebagaimana para sopir menyampaikan keluhan mereka.
Yah, perkara truk ODOL ini memang selalu ruwet. Mau tak mau, harus segera diselesaikan, dan dibicarakan secara terbuka. Semoga saja, tak lagi ada pemakluman begitu saja atau penegakan aturan yang setengah-setengah.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.











