MOJOK.CO – Para driver ojek online anggap perusahaan penyedia aplikasi tidak manusiawi, lalu minta pemerintah untuk menutup perusahaan tersebut.
Masalah ojek online seperti tak kunjung usai. Sebelumnya beberapa permasalahan yang terjadi dikarenakan adanya ketegangan antara pihak ojek online dengan ojek pangkalan. Mungkin permasalahan ini tidak lagi setegang dulu. Kehadiran ojek online pun sudah bisa lebih diterima di banyak tempat. Dengan beberapa kesepakatan tentu saja.
Sekarang, permasalahan yang muncul justru dari perusahaan ojek online itu sendiri. Pasalnya, para driver menganggap  perusahaan ojek online tidak dapat benar-benar menyejahterahkan.
Sebenarnya permasalahan ini sudah lama dan cukup sering dibahas khususnya oleh para pengamat ekonomi. Perusahaan aplikasi ini menganggap para drivernya sebagai mitra, namun ternyata hal itu hanyalah istilah belaka.
Sebagai mitra, para driver ini tidak memiliki hak suara dengan berbagai kebijakan yang dibuat oleh perusahaan transportasi online tersebut. Hampir setiap kebijakan ditetapkan dengan sepihak, tidak memberikan kesempatan untuk si mitra ini memberikan kritikan atau masukan. Tentu saja hal ini sangat tidak layak jika dalam kerja sama tersebut para driver ini adalah bagian dari mitra.
Banyak kebijakan yang diterapkan tersebut tidak menjamin keselamatan dan kesejahteraan para driver. Bahkan yang dirasakan oleh para driver, kebijakan tersebut lebih banyak yang merugikan dibandingkan memihak kepada mereka.
Mungkin dari awal, para driver transportasi online ini sudah merasakan ketidaknyamanan tersebut. Namun dikarenakan kondisi yang kepepet, mereka berusaha memaklumi apa yang terjadi. Berusaha untuk tetap bertahan walau kesabaran tentu ada batasannya.
Sehingga tidak mengherankan jika kemudian pada akhirnya para driver ini melakukan protes dengan melakukan aksi demo. Sejumlah pengemudi ojek online yang mengatasnamakan Gerakan Hantam Aplikasi Nakal (Gerhana), menggelar unjuk rasa di depan kantor Grab Indonesia di Kuningan, Jakarta Selatan pada Senin tadi (10/9).
Mereka menuntut perusahaan aplikasi transportasi online menghentikan eksploitasi terhadap para drivernya. Pasalnya, selama ini mereka merasa tidak diperlakukan sebagai mitra perusahaan. Selama ini mereka justru diperlakukan secara tidak manusiawi. Sehingga, para driver ini menuntut agar pemerintah menutup perusahaan aplikasi transportasi online tersebut bila memang sudah tidak mampu menyejahterahkan para drivernya.
Dalam demo tersebut, salah seorang driver ojek online mengungkapkan bahwa Grab Indonesia telah melakukan praktik kartelisasi bisnis transportasi online dengan promo-promo yang mencekik saingan. Driver pun tidak memiliki hak dan hanya dituntut untuk melakukan kewajibannya.
Mereka juga mengungkapkan, jika tuntutannya tidak dipenuhi maka mereka akan meminta pemerintah pusat segera menutup dan mengusir semua aplikasi yang menzalimi rakyat serta meminta segera dihadirkan aplikasi transportasi online yang profesional, adil, transparan dan menyejahterahkan rakyat.
Hadirnya aplikasi transportasi online, di awal memang dianggap sebagai angin segar bagi masyarakat di tengah sulitnya mencari pekerjaan. Masyarakat pun berbondong-bondong mendaftar untuk menjadi bagiannya. Dikarenakan adanya peluang pasar yang besar serta bonus-bonus menggiurkan yang ditawarkan.
Permasalahannya, setelah banyak pihak bergabung, ternyata bonus-bonus yang ditawarkan di awal tidak semudah itu bisa didapatkan. Awalnya, menjadi driver transportasi online memang menyenangkan, dapat dilakukan kapan saja dan sangat cocok jika dijadikan pekerjaan sampingan. Namun dengan berbagai kebijakan yang berkembang, ternyata tidak seringan itu. Ada banyak target yang harus diselesaikan agar bonus pun dapat dicairkan.
Menjadi driver transportasi online pun tidak sesederhana mengantar atau menjemput seseorang atau barang. Tetapi juga turut serta mempromosikan sebuah brand sponsor atau ikut menawarkan ke pelanggan untuk mengisi mengisi uang elektroniknya.
Nah, jika kemudian para perusahaan pemilik aplikasi ini justru berada di atas angin karena adanya ketergantungan masyarakat terhadap keberadaanya, kemudian membuat kebijakan seenaknya. Apakah bisa dibiarkan begitu saja? (A/L)