“A woman’s heart is a deep ocean of secrets,” begitu kata Rose dalam film legendaris Titanic.
Sebuah kalimat sederhana yang saya kira ingin menunjukkan satu pesan bahwa ia adalah makhluk yang sangat susah sekali ditebak.
Di dalam keluarga, misalnya, ibu selalu punya mekanisme sistematik yang kadang kita anak lelaki tak pernah bisa memahaminya. Betapa ia bisa dengan mudah menunjukkan letak barang yang sudah berjam-jama kita cari-cari tapi tak ketemu-ketemu. Betapa ia bisa memahami perasaan anak-anak dan suaminya dengan pemahaman yang tak bisa dilakukan sebaliknya.
Tak bisa dimungkiri, bahwa emang susah memahami bagaimana cara kerja hati dan pikiran wanita. Ia seperti punya lintasannya sendiri, lintasan pendek yang seringkali justru tak bisa dinalar oleh logika-logika berpikir sederhana laki-laki.
Sebuah peristiwa sekira dua tahun lalu memberikan gambaran yang jelas pada saya tentang hal ini.
Suatu ketika pernah menemani pacar saya membeli baju di salah satu pasar tradisional di bilangan Jogja.
Cukup lama ia memilah dan memilih baju yang ingin ia beli, dan ia belum juga menentukan pilihannya, padahal sudah sibak sana, sibak sini. Bahkan sampai kemudian ia berpindah ke lapak lain yang ndilalah sama-sama menjual baju.
“Gimana? sudah dapat?” tanya saya dengan agak tidak sabar.
“Belum, Mas.”
“Kok lama, sih. Bukannya lapak satu dengan lapak yang lain model dan motif baju yang dijual nggak jauh berbeda?”
“Beda lah, Mas. Aku mau cari baju yang motifnya agak feminim,” terangnya.
Saya manut dan tak bisa berbuat banyak selain menunggu.
Seperminuman kopi saya menunggu, akhirnya ia selesai juga memilih baju yang ia inginkan. Alhamdulillah, sabar saya menemukan jalannya.
Saya tak tahu, baju yang mana dan yang bagaimana modelnya yang ia pilih, sebab tahu-tahu, penjaga kios sudah membungkusnya di tas kresek dan memberikannya kepada si wanita pemilih yang saya cintai ini.
Sesampai di kos, ia langsung memotret baju yang baru saja ia beli dan mengirimkannya ke saya lewat wasap.
Saya terperanjat kaget. Semacam gabungan rasa ingin tertawa dan prihatin pada porsi yang nyaris seimbang.
Betapa tidak, “baju feminim” hasil seleksi dalam durasi yang tak sebentar itu rupanya adalah baju berwarna kuning macan yang begitu rawrrr dengan motif semut ngangkrang.
Dan sungguh, saya sama sekali tak bisa menemukan, dimana letak feminimnya daster tersebut.
Kali lain, saya kembali menghadapi lintasan berpikir berbeda pacar saya.
Hal tersebut saya alami setelah dia pulang dari Jepang.
Sebagai lelaki yang kebal wirang dan tidak tahu diri, saya tentu saja berharap mendapatkan oleh-oleh darinya walaupun saya tidak menyumbang uang saku.
Alhamdulillah, harapan saya tercapai. Saya dikasih oleh-oleh sepasang sepatu merek Puma. Sepatunya (uhuk) nyaman setengah mampus.
“Tadinya aku mau belikan Mas yang merek Adidas, modelnya lebih bagus dari yang Puma ini…” kata dia.
“Lha, trus kenapa nggak jadi Adidas?”
“Soalnya yang Adidas tu setelah aku cek ternyata made in Indonesia. Percuma dong aku jauh-jauh ke Jepang kalau beliin oleh-oleh produk yang buatan Indonesia.”
Alasan yang sangat masuk akal. Benar-benar perempuan cerdas.
“Oh, begitu. Ya sudah, yang ini aku juga suka kok, yang penting made in Japan.”
“Eh, sepatu yang Puma ini bukan made in Japan, Mas.”
“Lah, trus made in mana?”
“Vietnam!”
Saya diam sejenak. Mencoba menarik pujian saya soal perempuan cerdas tadi.
Sikapnya membuat saya yakin, bahwa kalau suatu saat dia umroh, maka oleh-oleh yang akan dia bawakan untuk saya bukanlah korma atau kacang arab, melainkan peyeum dan dodol Garut.
Sekali lagi, wanita memang susah ditebak.
Saya jadi ingat dengan anekdot stereotipe tentang ibu-ibu yang sein motor ke kiri tapi beloknya ke kanan.
“Ibu, kenapa Ibu belok ke kanan, padahal seinnya ke kiri?” Kata seorang pengendara setelah jatuh karena menghindari motor milik si ibu setengah baya yang belok mendadak ke kanan padahal seinnya ke kiri.
“Lho, salah sampeyan sendiri, Mas. Saya ini nyalain sein kiri buat ngasih tahu sampeyan, biar sampeyan ambil kiri, sebab saya mau belok ke kanan.”