MOJOK.CO – Pelaku diskriminasi kok nggak mau didiskriminasi. Idih, manja. Kalau emang mau poligami ya nggak usah daftar jadi PNS atau kader PSI dong. Gitu aja kok repot.
Hai, Mbak Grace Natalie, perkenalkan saya cucu dari kakek yang berpoligami. Meski begitu, saya tidak pernah suka dengan praktik poligami, dan karena nggak suka—jauh di lubuk hati terdalam, saya selalu merasa tidak nyaman jika ada orang yang koar-koar mempromosikan poligami di ruang publik. Berteriak lantang kalau melakukan poligami dianggap lebih sempurna keislaman seseorang ketimbang yang tidak poligami.
Oleh karena itu, saya mendukung langkah Mbak Grace Natalie yang menyatakan PSI akan membawa aspirasi menolak praktik poligami dalam kampanyenya. PSI juga akan memperjuangkan bahwa kadernya harus bebas poligami. Tidak sampai di situ, Mbak Grace juga akan melanjutkan ide ini sampai tataran undang-undang yang bakal dipraktikkan ke PNS. Poinnya, PNS harus bebas dari poligami.
Wah, luar biasa konsisten ya Mbak Grace ini. Pembelaannya terhadap isu-isu diskriminatif perempuan selalu dikampanyekan dengan gegap gempita. Kalau kemudian ide ini malah mendiskriminasi para pelaku poligami, ya itu kan nggak urusan dong. Soalnya bagi PSI dan Mbak Grace poligami itu pasti 100% melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Udah pasti itu. Sepasti Pagoda Pastilles.
Ya nggak peduli dong meski tafsir soal dalil poligami ini beragam di kalangan ulama Islam, bagi Mbak Grace Natalie membela yang dianggapnya benar adalah yang utama. Kalau kemudian ada pihak-pihak yang terdiskriminasi ya salah sendiri melakukan poligami. Pelaku diskriminasi kok nggak mau didiskriminasi. Idih, manja. Kalau emang mau poligami ya nggak usah jadi PNS atau kader PSI dong. Gitu aja kok repot.
Jadi mau poligami itu dilakukan untuk menyelamatkan janda-janda dan secara keimanan serta rasa keadilan sudah terpenuhi, tapi karena itu bentuknya nggak material dan cuma bisa dibaca dari luar, ya tentu nggak ada ukuran pastinya. Pokoknya semua yang poligami itu salah. Karena udah pasti nggak adil. Karena konsep keadilan itu cuma boleh pakai parameter Mbak Grace dan PSI. Nggak boleh kalau dari parameter lain—apalagi parameter keyakinan.
Meski si perempuan yang dipoligami merasa ikhlas, rela, dan nggak masalah dipoligami. Ya itu kan pasti karena sudah terdoktrin sama dalil-dalil dengan tafsir-tafsir yang nggak sesuai dengan konsep keadilan PSI dan Mbak Grace. Si perempuan pasti menderita, merasa cemburu, merasa hak-haknya sebagai istri terbagi dengan istri lain.
Persetan kalau si perempuan itu beneran ikhlas atau si suami betul-betul memenuhi kebutuhan lahir dan batin. Tapi kan karena kadar ikhlas dan adil itu tataran abstrak, maka yang begitu-begitu nggak ada ukuran logisnya. Dan karena cuma PSI dan Mbak Grace yang punya ukuran itu, jadi ukuran keadilan merekalah yang harusnya dipakai.
Pembelaan Mbak Grace Natalie ini juga keren punya. Apalagi banyak poligami yang tidak menjamin kebahagiaan keluarga. Lebih banyak bikin kehidupan keluarga jadi berantakan. Anak jadi banyak, tanggungan banyak. Dan sebagaimana banyak tafsir yang sepakat kalau konsep keadilan dalam poligami itu hampir mustahil, maka sudah haqqul yaqin konsep poligami itu nggak relevan.
Jadi kalau kakek saya poligami dan kehidupan keluarga besar saya baik-baik saja sampai sekarang, ya itu nggak masuk itungan dong. Kan itu anomali. Satu banding sejuta. Soalnya lebih banyak yang nggak merasa bahagia. Gimana Mbak Grace tahu? Ya karena ukuran kebahagiaan keluarga itu kan cuma boleh kalau dari Mbak Grace. Gimana seh?
Pandangan ini juga membuat kita nggak perlu menaruh hormat sama pelaku poligami. Mau dia seorang yang berjasa untuk orang banyak, prestasinya banyak, menolong banyak orang, kalau dia poligami ya berarti dia salah (hanya karena banyak pelaku poligami yang bermasalah). Kayak seperti rokok Bu Susi Pudjiastuti. Karena rokok dianggap sesuatu yang buruk, mau prestasi Bu Susi bejibun menjaga kedaulatan laut Indonesia, ya dia salah karena merokok. Titik.
Nggak ada urusan kalau dalam Islam, praktik ini masih diperdebatkan. Nggak urusan kalau ada golongan yang sepakat dengan ulama pendukung poligami dan ada ulama yang mensyaratkan berat untuk poligami (semi-semi melarang) itu ada. Semuanya tafsir itu hidup di bumi Indonesia. Lalu untuk umat yang percaya sama tafsir poligami dihukumi mubah (atau bahkan sunah), nah itu masalah. Karena keyakinan mereka itu bermasalah bagi kehidupan bangsa—utamanya perempuan.
Meski tidak pernah ada ulama yang secara lantang berani bilang bahwa poligami itu haram apa pun kondisinya. Uniknya, justru Mbak Grace Natalie dan PSI yang berani bilang itu dengan menciptakan gerakan anti-poligami tersebut, sampai jadi rencana kebijakan pemerintah kalau mereka jadi ke Senayan.
Dalam narasi PSI, Negara benar-benar harus turun langsung ikut overlap wilayah-wilayah tafsir agama soal poligami ini. Mereka nggak percaya sama ulama-ulama di Nusantara yang berdakwah soal tafsir poligami yang sebenarnya syaratnya sangat berat. Mereka nggak percaya kalau ulama di Indonesia itu masih banyak yang nggak pro sama poligami. Nggak mendukung, tapi bukan berarti memfatwakan haram lho ya?
Oleh karena itu, PSI dan Mbak Grace Natalie merasa perlu turun gunung langsung. Luar biasa memang inisiatifnya ini. Membantu dan mendukung salah satu tafsir agama serta menyingkirkan yang nggak senada. Pakai tangan pemerintah lagi. Luwar biyasa moderat radikal ya?
Eh, tapi bukannya PSI sudah komitmen nggak bakal politisisasi agama ya dalam kampanyenya ya? Lha ini apa terus ya namanya?
Ah, tahu deh. Pokoknya orang poligami itu pasti salah. Maka dari itu mereka nggak layak kalau jadi PNS atau kader PSI yang oke punya. Mereka salah karena keyakinan dan kepercayaan mereka, persis seperti PKI yang selalu salah sejak mereka lahir. Oleh karena itu, dua-duanya tidak layak melayani negara yang menjunjung keadilan bagi seluruh rakyatnya seperti Indonesia ini.