Assalamualaikum warahmatullah… Assalamualaikum warahmatullah…
Tahiyat akhir salat jumat siang barusan usai sudah, belum ada tiga detik setelah saya menengok dua malaikat pencatat amal di atas pundak sebelah kanan dan kiri saya, bunyi gedebukan langsung terdengar dari arah belakang.
Buk… buk… buk…
Saya menoleh ke belakang, sejatinya saya sudah tahu bunyi apa itu, namun saya tetap saja tertarik untuk melihatnya.
Suara gedebukan itu tak lain tak bukan adalah suara anak-anak berlarian ke arah pintu keluar masjid. Tak ada tujuan lain selain berebut makanan jaburan yang memang disediakan gratis untuk para jamaah jumat setelah selesai salat.
Dengan semangat yang paling spartan, mereka para anak-anak langsung meraih makanan dan minuman yang tersedia. Tangan-tangan mereka lincah, terampil, dan trengginas mengambil apa saja yang bisa mereka ambil. Ada jus jambu, ada susu kedelai, ada arem-arem, ada tahu bakso, ada bakpao, ada gorengan. Semuanya boleh diambil sesuai selera masing-masing.
Wadah makanan yang penuh makanan itu dalam sekejap langsung menjadi bulan-bulanan. Ia tak ubahnya seperti hajar aswat yang dikerumuni oleh orang-orang yang ingin menjamahnya.
Beberapa anak-anak lain yang posisinya di belakang dengan gairah yang tak kalah besar dibandingkan anak-anak di depannya yang sudah lebih dulu meraih makanan cekatan menyibak kerumunan agar mereka memberi tempat untuk dirinya yang belum kebagian mengambil jatah makanan.
“Awas, awas…”
“Minggir… minggir, gantian woooooy…”
“Jangan banyak-banyak…”
“Wooo, nggragas, njupuk susu dele-ne njupuk telu…”
Saya dan beberapa orang dewasa baru kebagian jatah untuk mengambil makanan belakangan. Beberapa karena memang setelah tahiyat mereka berzikir dan berdoa dahulu. Beberapa sisanya memang sengaja menunggu belakangan karena malu kalau harus berebut dengan anak-anak, padahal dalam hati mah, mereka takut kehabisan juga.
Saya tentu saja masuk golongan yang saya sebut belakangan. Hehehe.
Pemandangan anak-anak berebut makanan sehabis salat ini selalu saya lihat setiap kali saya salat jumat di masjid dekat kantor Mojok.
Makanan-makanan itu sengaja disiapkan oleh orang-orang yang memang ingin bersedekah dengan cara yang demikian. Konon, cara sedekah yang demikian merupakan cara yang paling ampuh untuk menarik anak-anak agar mau ke masjid. Agar mau menjadikan masjid sebagai tempat yang nyaman. Tempat yang selalu layak untuk disambangi.
Anak-anak memang selalu tertarik dengan makanan gratis. Maka, tak heran jika makanan menjadi daya tarik utama yang kerap dijadikan sebagai senjata pemancing anak-anak untuk meramaikan masjid.
Di kampung saya, setiap ramadan, anak-anak yang ngaji TPA selalu mendapatkan jatah makanan cemilan takjil untuk berbuka puasa. Cemilan tersebut merupakan sumbangan dari warga desa yang memang dijatah bergilir harian tiap RT selama satu bulan penuh.
Dengan makanan gratis, anak-anak mendapatkan gairah yang lebih untuk bisa meramaikan masjid.
Itulah kenapa, saya jadi heran dengan ulah segelintir oknum dan takmir di banyak masjid yang kerap mengusir bahkan melarang anak-anak masuk masjid dengan alasan menganggu kekhusyukan salat karena mereka berlari-larian di dalam masjid dan menimbulkan bunyi yang berisik.
Saya jadi ingat dengan pesan legendaris Mohammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel itu, “Jika suatu masa kamu tidak mendengar gelak tawa anak-anak yang riang gembira di antara shaf-shat salat di masjid-masjid, maka waspadalah, sebab saat itulah kalian dalam bahaya.”