MOJOK.CO – Tanpa sadar, saya jadi pendengar Sheila on 7 paruh waktu. Momen-momen tak terduga, tetapi sangat menyenangkan kalau kembali merasaknnya. Aneh betul.
Kami adalah pria-pria kesepian
Jauh dari rumah dan ditinggalkan cinta
Coba dengar keluhan kami pria kesepian
Penggalan lirik “Pria Kesepian” pernah terdengar begitu menyebalkan. Tepatnya di hari-hari setelah ibu dari mantan saya menelepon sambil menangis. “Mas, dia menikah,” kata Ibu mantan saya. Mungkin Ibu dari mantan saya merasa kasihan. Kasihan ke saya, atau ke situasi yang tengah beliau hadapi. Tapi ya, namanya hidup selalu begitu. Ada kekecewaan yang perlu digelar dan digulung, kata orang Jawa. Ndak papa. Namaste.
Sedih, sih, sudah pasti. Namun, rasa kesal yang dominan. Makin kesal ketika lirik “Kami adalah pria-pria kesepian, jauh dari rumah dan ditinggalkan cinta,” datang begitu saja. Kebetulan, saya sedang ada di Gunung Kidul, memang jauh dari rumah saya di Kota Jogja. Dari niat plesiran dua hari, menjadi menetap sementara selama hampir 3 bulan di sana untuk menekan rasa kesal itu.
Sheila on 7 ini aneh buat saya. Musiknya, gaya setiap personilnya. Aneh. Saya cukup jarang mendengarkan lagu-lagu Indonesia, kecuali Dewa 19 dan Padi, dan belakangan Didi Kempot. Musik yang saya dengarkan seperti lingkaran membosankan. Berputar di antara Slipknot, Lamb of God, Eminem, J Cole, dan 2 Pac. Makanya, lagu-lagu Sheila terdengar “aneh”. Terdengar aneh, ya. Bukan lantas jelek dan saya tidak suka.
Saya sendiri tidak asing sama Sheila on 7 sebenarnya. Rumah teman SMA saya bersebelahan persis dengan basecamp Sheila on 7 di Pakualaman. Ketika saya mampir ke rumah teman untuk meminjam buku paket dan catatan, maklum saya sering malas mencatat di kelas, beberapa kali saya melihat entah Duta atau Eros wara-wiri di basecamp. Aneh betul.
Aneh, lagu-lagu dengan lirik puitis dan mudah dihapalkan itu diproduksi oleh orang yang kalau ngomong bahasa Jawa terdengar medok. Hehehe Mas Duta, hehehe….
Kecuali fans berat, kok kayaknya lagu-lagu Sheila on 7 bukan lagu yang “direncanakan untuk didengarkan”. Gambarannya kayak nemu begitu aja. Coba didengarkan. Kok enak ya rasanya. Dari rencananya mendengarkan satu lagu, jadi habis satu album penuh. Bisa jadi, kita semua sudah menjadi fans Sheila on 7 secara nggak sadar.
Sebetulnya kita nggak suka. Tapi, pada saat yang sama, kita juga tidak membencinya. Tidak bisa untuk tidak menyimak liriknya yang sederhana dan sing along tanpa disadari. Didi Kempot bisa membuat kita patah hati tanpa mencinta. Sementara itu, Sheila on 7 bisa membuat kita jatuh cinta meski awalnya tak peduli sama sekali.
Lalu datangnya “Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki”….
Lagu itu, bagi saya, adalah karya terbaik Sheila. Liriknya? Kembali, sangat sangat sederhana. Tapi kenapa begitu kuat melekat. Sekali dua kamu mendengarkannya, lagu itu bakal ada terus di dalam kepala. Dulu, MTV punya segmen yang namanya “stuck in my head” untuk lagu-lagu yang nempel banget di kepala. Dan “Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki” jelas salah satunya.
Tempo lagu ini pelan saja. Dinamikanya ya sama kayak lirik yang ditulis: sederhana. Aneh di telinga saya yang terbiasa dipacu oleh “Wait and Bleed” atau “People = Shit” dari Slipknot. Strange, yet very lovely.
Mereka juga sangat kuat di sisi konsistensi. Mereka jarang, atau mungkin bahkan tidak pernah, mengekor pasar. Jangan-jangan, malah mereka yang menciptakan pasar. Kenapa bisa begitu? Mungkin, karena keberanian dan kepercayaan diri untuk tidak meninggalkan identitas bermusiknya. Untuk alasan ini, saya kagum.
Sifatmu nan slalu
Redakan ambisiku
Tepikan khilafku
Dari bunga yang layu
Saat kau disisiku
Kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu
Anugerah terindah yang pernah kumiliki
Ketika saya kembali menemukan cinta beberapa tahun kemudian, sayup-sayup, penggalan “Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki” menyusup di dalam kepala. Lalu menyusul kemudian nama Sheila on 7. Aneh sekali, padahal saya membayangkan lagu-lagu melankolis Slipknot yang bakal datang. Jangan salah, meski keras dan ganas, Slipknot punya balada yang menggugah.
Tapi meski aneh, saya menikmatinya. Dari “Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki”, berlanjut ke “Kisah Klasik”, lalu “Saat Aku Lanjut Usia”, kemudian “Seberapa Pantas”, masih ada “Pemuja Rahasia”, terakhir “Kita”.
Tanpa sadar, saya jadi pendengar Sheila paruh waktu. Momen-momen tak terduga, tetapi sangat menyenangkan kalau kembali merasaknnya. Aneh betul.
Sheila on 7 sudah berkarya 24 tahun. Bukan waktu yang singkat. Saya yakin, konsistensi dan kreativitas yang sederhana itu bisa membuat Sheila on 7 lanjut sampai 50 tahun lagi. Biar jadi kisah klasik untuk masa depan, bukan.
Nderek bungah, Sheila on 7, 24 tahun!
BACA JUGA Benarkah Semua Orang Suka Sheila on 7? atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.