Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Sepeda Bertarung dengan Perubahan Stigma dan Hobi yang Bikin Kesal Banyak Orang

Yamadipati Seno oleh Yamadipati Seno
29 Mei 2021
A A
tilang sepeda

Sepeda Bertarung dengan Perubahan Stigma dan Hobi yang Bikin Kesal Banyak Orang MOJOK.CO

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Lama-lama, hobi naik sepeda yang asik itu, mulai lekat dengan stigma kelas menengah ngehek, arogan, dan anti minta maaf.

Sekitar 11 tahun yang lalu, saya pernah naik sepeda untuk berangkat kerja. Bukan untuk gegayaan, fyi aja ya. Saya memutuskan naik sepeda dalam rangka menurunkan berat badan. Meski “hobi” itu nggak bertahan lama karena sebuah kejadian berulang yang menyebalkan.

Saya udah nggak ingat lagi merek sepeda yang saya pakai saat itu. Pokoknya warnanya putih dan terlihat cukup kuat untuk menderita membawa seonggok manusia dengan berat badan sekitar 100 kilogram. Sayangnya, anggapan saya ternyata sangat tidak akurat.

Nggak ada satu minggu, sepeda yang saya tunggani mulai bermasalah. Ban belakang tiba-tiba bocor. Stang mulai nggak stabil. Ruji-ruji depan dan belakang terlihat nggak simetris lagi. Kayanya sepeda itu lagi melancarkan sebuah perlawanan kepada berat badan saya. Sebuah protes karena kerjanya kayak orang lembur terus-terusan tapi nggak dapat duit tambahan.

Saya nggak mau menyerah dong. Kejadian-kejadian yang berulang itu nggak saya pedulikan. Kalau bannya bocor, ya tinggal ditambah. Kalau stangnya nggak enak ya bawa ke bengkel. Ketika terlihat sudah waras lagi, saya nggak pikir panjang untuk menungganginya ke kantor saya waktu itu.

Namun, you know what, kejadian yang sama terulang lagi. Hingga pada saatnya saya sudah malas naik sepeda. Saya seperti netizen-netizen polos yang jadi sasaran prank Atta Halilintar. Waktu enak ngegowes, eh kena prank ban bocor lagi.

Lantaran semakin jengah, saya memutuskan jalan kaki saja sebagai bentuk olahraga. Dan ajaibya, saya menemukan olahraga yang tepat demi usaha menurunkan berat badan. Berkat jalan kaki dan diet OCD, berat saya turun sampai 22 kilogram.

Tapi ya, bukan soal sepeda sebagai “alat” yang pengin saya ceritain ke kamu. Saya pengin cerita soal pendapat dan celotehan teman-teman saya waktu itu soal ada orang yang tiba-tiba memilih sepeda sebagai alat transportasi.

Banyak teman saya yang berpendapat bahwa dengan naik sepeda, saya seperti lagi kampanye go green aja. Ada yang bilang kalau saya keren. Wait, ini saya nggak bikin-bikin, ya. Kebanyakan dari mereka merasa sepeda itu udah nggak kompatibel sama zaman yang bergerak cepat. Apalagi di Jogja, naik motor sore-sore itu enak banget. Itu dulu, sebelum macet melanda.

Ada juga teman saya yang mendukung saya melanjutkan “kampanye go green”. Termasuk teman saya lainnya yang juga sama-sama naik sepeda ke kantor karena kosnya dekat banget. Padahal ya, saya naik sepeda cuma karena lagi diet aja. Nggak ada rasa pengin kampanye mengurangi polusi karbon, apalagi go green.

Kini, ketika lagi ramai soal pengendara Honda Beat vs rombongan gowes saya jadi kepikiran lagi. Dulu, kalau ada yang naik sepeda sebagai alat transportasi sehari-hari, segala pujian pasti diterima. Dianggap keren, suka bekerja keras, dan sadar akan lingkungan.

Sayangnya, kalau memantau timeline Twitter dua hari ini, kamu akan menemukan bahwa stigma positif akan sepeda sepertinya mulai sedikit bergeser. Eits, jangan salah. Menurut saya, fenomena ini bikin sedih, lho. Bahkan berbahaya.

Iya, berbahaya, karena sepeda itu seharusnya bisa jadi jawaban akan usaha mengurangi polusi karbon. Bisa juga jadi solusi mengurai kemacetan, misalnya di Jogja, di mana ruas jalannya nggak lebar banget dan agak wagu kalau malah ada banyak Trans Jogja. Toh jarak di Jogja itu nggak bisa dikatakan jauh banget dan bisa ditempuh dengan sepeda.

Perlu kamu ingat bahwa peminat gowes di Jogja itu tinggi banget. Waktu demam sepeda fixie melanda, hampir semua saudara dan teman saya punya satu di rumah. Tiap malam mereka riding keliling kota. Dan di hari Jumat di ujung bulan, dengan sangat antusias, mereka ikut acara Jogja Last Friday Ride (JLFR). Waktu itu gesekan antara ratusan pengendara sepeda dengan pengguna jalannya lainnya sudah terjadi, tapi masih dalam taraf biasa saja.

Iklan

Nah, kita sampai di titik di mana saya jadi agak khawatir. Arogansi rombongan gowes yang menyerang, bahkan sampai doxing ke pengendara Honda Beat, bisa menimbulkan efek berantai. Kalau masalah ini nggak reda juga, takutnya, pengendara sepeda di kota lain akan kena stigma yang sama.

Coba saja cek kolom trending Twitter. Perhatikan bagaimana netizen mulai bersuara. Mereka mulai membenci pesepeda yang arogan. Mereka nggak benci sama sepeda, tapi ke pesepeda. Ini penting untuk ditegaskan. Jangan sampai, akhinya terjadi pukul rata ke semua pesepeda; dianggap arogan dan anti minta maaf.

Pergeseran stigma itu berbahaya, lho. Butuh waktu lama dan tanpa kecacatan untuk mengubah stigma negatif menjadi positif. Padahal, mengubah dari positif ke negatif itu gampang banget. Lama-lama, hobi naik sepeda lekat dengan stigma kelas menengah ngehek, arogan, dan anti minta maaf.

Hobi yang awalnya asik banget, mulai mengusik banyak orang. Bikin banyak orang kesal karena kelakuan segelintir orang.

BACA JUGA Pengendara Honda Beat vs Rombongan Gowes: Doxing dan Perang Analogi Si Miskin vs Si Kaya dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Terakhir diperbarui pada 29 Mei 2021 oleh

Tags: doxinggoweshobi gowesHonda Beatsepedasepeda fixie
Yamadipati Seno

Yamadipati Seno

Redaktur Mojok. Koki di @arsenalskitchen.

Artikel Terkait

Naik Sepeda Jogja Lamongan demi Menunaikan Rindu pada Ibu MOJOK.CO
Esai

Menuntaskan 640 Kilometer Jogja Lamongan Bersepeda demi Ziarah Batin dan Menunaikan Rindu pada Ibu

12 September 2025
Rasanya Ditipu Suami Naik Sepeda Lewat Jalur Biadab MOJOK.CO
Esai

Rasanya Ditipu Berkali-kali sama Suami Saat Naik Sepeda Jarak Jauh, Menempuh 55 Kilometer via Jalur Biadab Menuju Waduk Sermo

18 Juli 2025
Cangkringan, Kecamatan Paling Cantik di Sleman (Foto oleh Mohammad Sadam Husaen)
Pojokan

Ketika Klub Sepeda Bahagia Cycling Comedy Membelah Cangkringan Sleman, Kecamatan Paling Cantik yang Membuat Kecamatan Lain Minder

10 Juli 2025
Honda BeAT, Motor Tangguh yang Bakal Tewas di Jalanan Bekasi
Pojokan

Honda BeAT, Motor Tangguh yang Bakal Tewas di Jalanan Bekasi

23 Juni 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.