MOJOK.CO – Memetik buah dengan cara memanjat pohonnya tentu saja lebih asyik, lebih ada adrenalinnya, lebih ada tantangannya.
Jujur, semasa saya kecil, saya hampir tak pernah membeli rambutan. Kalaupun saya makan rambutan, itu biasanya karena dikasih atau dapet metik dari pohon tetangga yang dengan sukarela rambutannya dipetiki oleh anak-anak kiri-kanan rumah, atau pohon “tak bertuan” di pinggir kali dekat perumahan akademi militer tak jauh dari kampung saya.
Saya tak pernah bermimpi punya pohon rambutan sendiri. Maklum saja, halaman rumah saya terlalu sempit, sehingga lebih masuk akal bagi bapak dan ibu saya untuk menanam pohon toge alih-alih pohon rambutan.
Kemiskinan lahan yang terjadi secara struktural itu memaksa untuk punya jiwa eksplorasi yang tinggi. Saya punya semacam kemampuan untuk memetakan, siapa saja tetangga yang punya pohon rambutan yang sekiranya bisa diminta. Kemampuan berburu buah ini tentu saja penting, utamanya untuk memenuhi asupan vitamin C bagi tubuh saya.
Almarhum Mbok Melik, tetangga saya satu RT menjadi salah satu tetangga yang paling sering saya mintai rambutannya. Setelah itu ada Pak Yunus, yang punya pohon rambutan dengan bentuk dahan yang aneh dan eksploratif, yang membuat saya begitu suka untuk berakrobat di atasnya. Lalu ada Pak Totot yang walau pohon rambutannya tampak sangat buruk, tapi rambutannya manisnya ngaudubillah setan.
Terbiasa memanjat dari satu pohon satu ke pohon yang lain, membuat skill memanjat saya kemudian terasah. Memanjat pohon menjadi semacam gaya hidup saya di masa kecil.
Bertahun-tahun kemudian, roda waktu membawa saya untuk tinggal di Jogja. Saya tinggal di sebuah rumah kontrakan di bilangan Jalan Kaliurang.
Di rumah kontrakan inilah, untuk pertama kalinya, saya punya kesempatan untuk punya pohon buah saya sendiri. Yah, walau tidak sepenuhnya milik saya sendiri, namun pemilik rumah yang saya kontrak sungguh amat baik hatinya sehingga mengizinkan saya untuk memanfaatkan pohon buah yang ada di pekarangan rumah. Ada dua pohon rambutan di halaman depan, dan masing-masing satu pohon mangga dan kelengkeng di halaman belakang.
Maka, tatkala pohon rambutan di depan rumah kontrakan saya berbuah, sungguh, bukan main girangnya hati saya.
Saya menatap nanar pada sedompol-dua dompol rambutan ranum yang menggantung di pohon depan rumah kontrakan saya. Saya menjadi sangat sentimentil.
Saya ingin memetik barang satu dompol untuk kemudian saya kasih ke kawan-kawan kantor.
“Rambutan di rumah sedang panen,” begitulah kalimat yang ingin saya katakan pada kawan-kawan saya. Kalimat yang selama bertahun-tahun saya tak punya hak untuk mengatakannya.
Maka, beberapa hari yang lalu, benar pula, saya tak butuh waktu yang lama untuk memanennya. Tentu saja tidak dengan genter alias galah, tapi langsung saya panjat. Memetik buah dengan cara memanjat pohonnya tentu saja lebih asyik, lebih ada adrenalinnya, lebih ada tantangannya.
Saya langsung memasang kuda-kuda. Mencoba memetakan pang alias dahan mana saja yang kira-kira potensial dan bisa dijadikan pegangan untuk manjat.
Begitu selesai memetakan pang, saya segera memulai langkah awal saya. Dengan kesigapan dan keterampilan serupa kukang, saya mulai naik. Namun sayang, keterampilan memanjat yang saya peragakan tersebut rupanya hanya sampai setengah jalan. Belum juga sampai di dahan atas, saya sudah mlorot.
Saya melirik kaki saya. Ada sobekan yang lumayan lebar. Tampaknya terkena bagian dahan yang tajam.
Ternyata usia tidak bisa menipu. Kemampuan memanjat saya sudah berkurang sangat drastis. Daya tahan kulit saya juga sudah sangat ringkih. Saya tidak lagi lincah. Kemampuan memanjat pohon yang dulu begitu saya kagumi sekarang sudah luntur.
Kelak, beberapa kawan kantor yang saya tawari untuk ikut memanen rambutan saya ternyata juga punya kondisi yang sama. Kemampuan memanjat mereka sudah berkurang jauh. Jangankan memanjat pohon, untuk sekadar memanjat tangga pun mereka harus sangat berhati-hati.
Pada akhirnya, saya pun mengalah dengan keadaan. Saya lantas memetik rambutan-rambutan tersebut dengan genter. Cara memetik buah yang sangat tidak lelaki. Dan sangat tidak nyeni.
Saya harus menerima keadaan, bahwa bakat saya sekarang bukanlah pemanjat pohon, melainkan pemanjat sosial.
BACA JUGA Jangan-Jangan Benar, Buah yang Enak Adalah Buah Hasil Nyolong atau esai AGUS MULYADI lainnya.