MOJOK.CO – “Pendapat yang bagus Jawa, sekarang kembali ngaduk semen.” Awalnya lucu, tapi lama-lama sebutan jamet kuproy, jawir, pembantu Jawa jadi labelling tidak berdasar.
Akhir Desember tahun lalu saya membaca sebaris lawakan dari seorang selebtwit yang kalian pasti tahu lah siapa. “Lihat kebunku penuh dengan pembantu Jawa.”
Tidak, saya tidak merasa sakit hati atau rasis. Saya justru ketawa ngakak sambil berkata dalam hati, “Sialan ada benernya!” Meski sempat terbersit perasaan keki karena kenapa lagi-lagi orang Jawa yang kena jatah labelling sebagai pembantu.
Rasanya agak rumit menghubungkan ini ke soal rasisme. Jujur saja rasisme adalah benang kusut dan fraktal yang saking ruwetnya saya selalu dibayangi ketakutan salah ngomong. Pembelaan bisa jadi bumerang, ngotot bisa backfired. Pada dasarnya apa yang kita lakukan sehari-hari juga bisa jadi potensi rasisme.
Jauh sebelum soal selebtwit dan pembantu Jawa, orang-orang di ibu kota sering bercanda dengan sebutan jamet kuproy (Jawa Metal Kuli Proyek) dan jawir (sebutan plesetan buat orang Jawa). Orang Jawa didentikkan dengan orang desa yang melakukan urbanisasi ke daerah ibu kota, cari kerja, dan berakhir menjadi pramuwisma atau pekerja bangunan.
Sebutan jamet juga mengarah pada dandanan orang Jawa yang ‘sering’ dianggap norak dan ketinggalan zaman. Kebanyakan dari tuduhan ini disebabkan karena beberapa orang Jawa dan kaum urbanisasi menghias rambut mereka dengan cat warna, cukuran rambut metal, sementara kulit mereka sawo matang. Yang mana seharusnya ini nggak masalah dong, hak masing-masing orang.
Untuk ukuran ‘fesyen ibu kota’ dandanan jamet kuproy tersebut memang nggak banget. Lebih pada mencoba melawan mainstream media tentang standar modis yang terbentuk di ibu kota. Tapi olok-olok tetap berlanjut.
Kemunculan orang-orang yang bejoget dengan lagu “Dindin Badindin” di TikTok juga sempat jadi bahan lawak. Saya nggak munafik, saya juga ikut tertawa melihat pemuda dengan potongan rambut mirip Sasuke, bertelanjang dada, disebut-sebut sebagai jamet padahal lagu iringan mereka aja dari Sumatera Barat.
Saya nggak bisa nyalahin siapa-siapa selain mainstream media yang memberikan framing demikian ndeso terhadap orang Jawa. Sebutan pembantu Jawa tentu saja ada hubungannya sama sinetron-sinetron di televisi yang sosok asisten rumah tangganya diperankan oleh seorang mbok-mbok dengan logat medok Jawa, kadang ngapak juga. Kalau dibahas lebih jauh, saya yakin tema ini bisa diangkat jadi bahan skripsi atau tesis.
Sebagian dari kalian bakal ngata-ngatain saya kayak kanebo kering, kaku, dan nggak bisa menerima bahwa jamet kuproy, jawir, dan pembantu Jawa adalah guyonan tongkrongan biasa. Iya saya tahu, saya juga nggak tersinggung kalau dibilangin begitu sama teman dekat saya dalam konteks yang santai. Bahkan nggak hanya soal Jawa. Papua, Tegal, dan Minang sering kena guyonan berbau labelling di tongkrongan.
Tapi bagaimana kalau sebutan ini dialamatkan oleh orang Jawa secara random dari sosok di luar suku Jawa yang punya streotip bahaya bahwa orang Jawa memang identik ndeso, pembantu, dan kuli proyek berdandanan norak? Tentu isunya bakal menyeramkan.
Biar gampang, kita analogikan aja sama budaya ngerap deh. Orang kulit putih sampai mati pun bakal dihujat habis-habisan kalau nyebutin orang kulit hitam sebagai nig*a. Sementara orang kulit hitam sendiri bakal termaafkan kalau nyebut nig*a ke teman tongkrongan karena konteks mereka nggak ngejek suatu budaya. Lha wong mereka pemegang budayanya sendiri. Setidaknya inilah yang dibela para SJW rap kulit hitam setelah muncul gelombang rapper dari kulit putih sampai kulit kuning.
Di sisi lain ada tuduhan cultural appropriation yang tumpang tindih saking banyaknya orang kulit putih dan orang Asia yang mulai ngerap. Apakah budaya nyanyi ngerap orang kulit hitam di jalanan juga nggak boleh dijajaki sama Rich Brian? Tentu jawabannya tentatif dan masih banyak pro dan kontra sampai sekarang. Sebagian menganggap siapa aja boleh ngerap, ada juga yang mensyaratkan asal sopan dan nggak pakai nyebut nig*a-nig*a ke orang-orang.
Hampir sama dengan penyebutan jamet dan jawir yang kalau diucapkan orang-orang di luar suku Jawa apalagi dalam konteks publik seperti di media sosial, bakal memicu kesalahpahaman lebih besar. Orang ibu kota yang ngatain orang norak adalah jamet bakal terbawa pada stereotip atau labelling kedaerahan terhadap orang Jawa.
Saya nggak berusaha menghakimi orang-orang yang sedang berbahagia dengan guyonan jamet nih, ngomong-ngomong. Ketidaktahuan masyarakat memang terkadang membuat hidup lebih ringan. Tapi ketidakpedulian akan rasisme dan labelling ini bakal lebih bahaya lagi.
Nyatanya nggak semua orang Jawa itu potongan rambutnya metal, nggak semua ART berasal dari suku Jawa, nggak semua pekerja bangunan adalah orang Jawa. Saya nggak ingin, sebagai orang Jawa saya diidentikkan dengan perilaku norak dan nggak gaul. Toh orang-orang berbahasa Sunda atau Betawi mungkin susah memahami betapa nikmatnya misuh Suroboyoan ketika ngatain teman. Apalagi ngomel-ngomel pakai bahasa ngapak, haduh the best.
Jadi mendingan tahan-tahan lah ngatain jamet kuproy, jawir, dan sejenisnya sama orang Jawa buat mengurangi kesalahpahaman. Kalau terlanjur ruwet, diserang orang satu pulau jelas bakal mengerikan.
BACA JUGA Akui Saja, Sejak Kecil Kita Memang Dididik untuk Rasis atau artikel lainnya di POJOKAN.