Saat saya makan, saya merasa baksonya memang beda. Ya iyalah. Tapi maksud saya, bakso Malang berbeda jauh dengan bakso Wonogiri yang sering saya makan. Tidak sekenyal Wonogiri, bagi saya, juga tidak segurih itu. Tapi tetap saja enak.
Makin lama saya makan, saya malah makin pusing membandingkan. Keduanya begitu beda, dan begitu enak. Rasanya, baru kali itu saya menemukan makanan yang dibandingkan, tapi tidak bisa diketahui mana yang menang.
Tidak perlu dipertarungkan
Kalau ada yang berdebat mana yang lebih enak, bakso Malang atau Wonogiri, bagi saya itu adalah tindakan yang sia-sia. Makanan ini emang bener-bener berbeda, dan mencari mana yang superior itu kek muspro. Ibarat manusia, Malang dan Wonogiri akan duduk di meja yang sama, dan saling berjabat tangan, sebab memang mereka tak ada yang lebih superior, tapi mengakui kehebatan masing-masing.
Pada hari itu juga, saya merasa membandingkan makanan itu kadang hal yang sia-sia. Padahal bisa saja saya menikmati, dan tak perlu berpikir apa-apa lagi. Sebab, kata Theodore Roosevelt, “Comparison is the thief of joy.” Kita tidak bisa menemukan kebahagiaan selama yang kita cari mana yang kalah, mana yang menang.
Secara pribadi, tentu saja, bakso Wonogiri adalah pilihan hati. Ia sudah mengalir di dalam nadi. Tapi kalau saya disuguhi bakso Malang, dengan senang hati akan saya santap dengan suka cita.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Bakso Jogja Sulit Memenuhi Standar Enak Lidah Orang Malang dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.












