MOJOK.CO – Nggak usah khawatir, tidak ada aturan yang melarang penerima beasiswa LPDP untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah.
Senin, 10 Februari, sampai Jumat, 14 Februari lalu saya berkesempatan untuk mengikuti acara Persiapan Keberangkatan (PK) yang diadakan oleh LPDP. Yhaa, sebagai orang yang (beruntung) lolos seleksi, PK ini adalah kegiatan lanjutan yang disyaratkan LPDP untuk bisa benar-benar terdaftar sebagai awardee alias penerima beasiswa.
Dalam 5 hari acara PK itu, selain bertemu dengan calon penerima beasiswa LPDP se-Indonesia, saya juga mendapatkan banyak materi dari orang-orang penting yang profesinya mulai dari professor, aktivis, ekspertis, sampai menteri. Tentu saja saya juga mendapat materi pengenalan nilai-nilai LPDP termasuk penjelasan tentang hak, kewajiban, dan larangan bagi kami sebagai penerima beasiswa.
Dalam materi pengenalan nilai-nilai LPDP itu, ada satu momen yang membuat saya (((tertohok))) dan berpikir cukup keras. Yaitu ketika kami diminta untuk mengenalkan diri, nama jurusan, dan kampus yang akan kami tuju beserta…
…besaran biaya yang harus dibayarkan untuk bisa kuliah di sana.
Ada satu orang peserta mengenalkan diri, dia lalu menyebutkan jurusan, dan nama kampus ternama yang ada di Inggris, lalu menyebutkan jumlah 2 Miliar sebagai uang masuk untuk bisa kuliah di sana. Sekali lagi saya ulangi 2 MILIARRR, dan itu baru biaya kuliah, belum biaya hidup dan biaya penunjang lainnya untuk bisa kuliah dengan khusyu di sana.
Si Bapak yang menyampaikan materi hanya tersenyum. Lalu mengatakan bahwa biaya 2 Miliar tadi, tidak ada apa-apanya. LPDP siap membayarkan (((berapa pun))) jumlah yang harus dibayar selama penerima beasiswa berkomitmen untuk kembali dan mengabdi untuk Indonesia.
MANTAPPP!!1!!
Saya kemudian lekas menghitung berapa banyak uang yang harus negara keluarkan untuk membayar kuliah S2 saya. Ternyata, Program magister dalam negeri yang saya ambil setidaknya menghabiskan 200 juta.
Saya menelan ludah, membayangkan negara seakan-akan sedang (((berjudi))) dengan risiko yang cukup tinggi karena berani mengeluarkan uang sebanyak itu demi membiayai saya yang di masa depan belum jelas seperti apa kontribusinya….
Kalau kita mau bermain hitung-hitungan, jika satu orang penerima beasiswa LPDP harus mengeluarkan uang sekitar 200 juta sampai 2 miliar, dan sekarang ada 24.936 penerima beasiswa, berapa uang yang sudah negara keluarkan?
Banyak, jumlahnya pasti banyak sekali.
Kalau dipakai untuk dana desa, berapa desa yang bisa menggunakan uang itu? Berapa kepala yang akan terdampak?
Tapi negara tidak melakukan itu semua, secara khusus mereka mengalokasikannya untuk menyekolahkan anak muda seperti saya.
Ooo jadi ini yang dinamakan investasi sumber daya manusia.
Baik, sekarang mari membahas apa yang saya tulis di judul. Apakah saya—yang kuliahnya dibiayai 200 juta oleh negara—boleh mengkritik pemerintah?
Saya akan dengan tegas menjawab “YA”.
Gini gini, sebelum membahas ini lebih jauh, saya tekankan dulu beberapa hal. Pertama, Indonesia itu negara demokrasi. Menyatakan pendapat/kritik diatur dalam konstitusi kita.
Kedua, kritik itu penting. Kritik yang betulan kritik lho ya. Bedakan kritik dengan ujaran kebencian. Pahami juga mengkritik bukan berarti membenci.
Mengkritik sebenarnya hanya menyampaikan (((keresahan))) dengan perspektif yang mungkin tidak dipikirkan oleh objek yang dikritik. Tentu saja dengan argumen-argumen yang logis dan berdasarkan fakta yang ada, bukan halu, mengada-ngada, atau sesuai perasaan saja (ingat, perasaan suka salah).
Ketiga, nasionalisme dan cinta terhadap negara bukan berarti tunduk buta pada negara, apalagi rezim. Ingat, pemerintah ituu bukan entitas yang Budiman. Mereka juga suka salah. Tentu tugas kita sebagai orang yang mengaku cinta pada negara untuk mengingatkan mereka supaya kembali ke jalan yang benar.
Dalam hubungan pacaran misal, kamu melihat pacarmu lippenan sampai ke gigi-giginya. Apakah kamu akan diam saja dan membuat dia jadi bahan tertawaan orang lain? Kan pasti tidak. Kalau kamu beneran cinta, kamu akan memberi tahukan itu semua. Kecuali ya kamu ada dendam terselubung, terus diem-diem aja biar pacarmu kena malu.
Terakhir, nggak usah khawatir, tidak ada aturan dalam LPDP yang melarang penerima beasiswanya untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah.
Mungkin banyak dari kalian yang punya pendapat yang berbeda dengan saya. Misal, penerima beasiswa mah harusnya belajar aja yang rajin, nggak usah ikut-ikutan ngomongin politik.
Ya bisa aja sih, kami, 25 ribu orang pilihan yang (inshaAllah) pinter-pinter ini menarik diri dari politik, tapi ya apa nggak rugi? Maksud saya, kami nih pinter-pinter dan kritis-kritis lhoo.
Kalau kami disuruh diam saja, lalu mengabaikan wacana publik termasuk politik sementara kebijakan digodok dalam wacana-wacana politik tadi. Kalau yang terlibat di sana, misal, tidak bekerja sebagaimana mestinya, ya yang kena dampak kita semua, Pak!
RUU Omnibus Law Cilaka kemarin misal, yang ngerjain lalai sekali sampai bisa ada salah ketiknya. Apa boleh dibiarkan begitu saja?
Penerima beasiswa, saya pikir memang harus tahu diri. Dia berutang budi pada negara, atau lebih tepatnya warga negara yang membayar pajak—yang kemudian dihimpun negara, dan dijadikan dana untuk membayar pendidikannya. Utang budi itu, tentu menjadi tanggung jawab moral penerima beasiswa untuk berusaha membalasnya dengan cara apa pun yang ia bisa.
Tapiiii, kalau semisal pejabat pemerintah bilang kita harus nurut-nurut aja, lalu bilang kalau penerima beasiswa nggak tahu diri karena tidak menuruti kebijakan pemerintah yang memang salah, kita berhak menjawab dengan bilang kalau kita sekolah bukan pakai uang pemerintah, tapi pakai uang rakyat!
Lagipula, bukankah memberikan akses Pendidikan tinggi memang tanggung jawab negara yang tercantum dalam UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Bukan sekadar “pinjaman” yang harus dibayar dengan loyalitas buta, kan?
BACA JUGA Pengalaman Saya Lolos Beasiswa LPDP, Tipsnya Mungkin Bisa Kamu Coba atau artikel POJOKAN lainnya.