MOJOK.CO – Kalau mau bikin poster gerakan, apalagi gerakan menolak berita Covid-19 itu mbok ya dipertimbangkan materi dan estetikanya.
Entah siapa yang memulai dan mengawali gerakan aneh ini, namun yang jelas, di media sosial, kini mulai beredar poster-poster terkait pernyataan yang mengatasnamakan masyarakat daerah tertentu untuk tidak mengupload berita tentang Covid-19. Alasannya klasik: untuk menciptakan ketenangan dan ketenteraman masyarakat.
Sepintas lalu, gerakan ini tampak seperti gerakan kolektif yang benar-benar diinisiasi oleh masyarakat. Namun menjadi agak mencurigakan sebab kata-kata dalam poster pernyataan tersebut isinya sama semua.
“Warga XXX kompak untuk tidak upload berita tentang covid biar masyarakat aman dan tentram.”
Begitu pesan yang tertulis dalam poster tersebut, di mana xxx dalam pesan tersebut merupakan nama daerah perwakilan masing-masing warga. Banyak daerah utamanya di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang sudah tertulis dalam poster. dari Kudu, Purbalingga, Nganjuk, sampai Surabaya.
Kalau mau melacak lebih lanjut, sebenarnya bisa saja diketahui siapa penyebar pertama poster-poster menolak berita Covid-19 tersebut, namun tentu saja itu bukan kapasitas saya. Saya justru lebih tertarik mengomentari bagaimana konsep desain dalam aneka poster yang beredar luas tersebut dan mencoba memberikan masukan.
Tentu saja ini dalam kapasitas saya sebagai orang yang pernah bekerja sebagai layouter dan pernah sangat terkenal gara-gara suka ngedit foto bareng artis. Insya Allah, analisis visual saya bisa dipertanggung-jawabkan.
Warna yang terlalu ngejreng
Dalam teori desain baik yang aliran minimalis maupun semarak, warna ngejreng sebenarnya bukan pilihan yang bagus untuk dipilih. Ia mengurangi estetika. Warna ngejreng dianggap norak dan sangat tidak DKV. Banyak desainer grafis yang sekarang lebih menyukai warna-warna pastel. Warna yang soft. Hijau tapi nggak hijau banget. Merah muda tapi nggak merah muda banget, Biru tapi nggak biru banget.
Ibarat warna hijau, desainer lebih suka pakai hijau lime (lime green), bukan hijau neon (neon green) yang bikin mata amat tercolok sebab hijaunya mirip rompi polisi dan Pak Ogah. Atau ibarat warna kuning, desainer umumnya lebih suka kuning tuscany atau kuning bumblebee, bukan kuning lemon yang memang lagi-lagi amat mencolok. Bahkan penggunaan warna hitam pun desainer grafis yang baik cenderung tidak memakai hitam full, melainkan hitam 80 persen atau 90 persen, sebab memang hitam full itu juga sangat mencolok. Tentu “mencolok” dalam hal ini adalah dalam konotasi negatif.
Nah, poster pernyataan menolak berita Covid-19 yang beredar di media sosial ini jelas tidak dibikin oleh desainer grafis. Dari warnanya saja sudah kelihatan. Kuningnya ngejreng banget. Posternya dibikin asal bisa kontras antara warna background dan tulisannya tanpa memperhatikan unsur estetika.
Tentu saja ini harus dievaluasi. Maklum, sebagai orang yang agak paham desain dan sering ikut program kampanye digital, saya mudeng banget kalau banyak orang sebenarnya tertarik ingin membagikan sebuah konten di media sosial karena sepakat dengan gagasannya, namun kemudian ia urung membagikannya karena desain visualnya yang amat buruk, norak, dan tidak enak dipandang.
Saran saya, kalau memang ini gerakan kolektif yang memang diniatkan untuk menjadi besar, mbok ya rangkul satu dua orang yang bisa mendesain, atau minimal paham komposisi warna.
Kurang riset dan eksplorasi materi desain
Ini hal yang juga layak diperhatikan. Dalam salah satu poster pernyataan, tertulis “Warga Lamongan kompak untuk tidak upload berita tentang covid biar masyarakat aman dan tentram.” Namun background poster tersebut adalah gambar visual Taman Asean lengkap dengan Monumen Ringin Contong.
Ini bukan hanya aneh, tapi juga goblok. Lha Taman Asean dan Monumen Ringin Contong itu landmark-nya Jombang, bukan Lamongan. Ini kan jadi bukti kalau visual tersebut dibikin bukan oleh warga Lamongan sendiri, melainkan oleh orang luar.
Besar kemungkinan ia cuma googling-googling saja dan ndilalah nemu Ringin Contong. Saya menebak, pembikin poster ini nggoglingnya terlalu polos. Sebab, setelah saya coba telusuri, satu-satunya hubungan antara Lamongan dengan Ringin Contong adalah Depot Soto Ayam Kampung “Ringin Contong” di Kepanjen, Jombang. Kebetulan, soto yang dijual memang soto khas Lamongan.
Nah lho. Berat para rawuh. Dari kasus poster yang ngawur inilah kita belajar, bahwa dalam sebuah gerakan, sepalsu apa pun gerakan itu, tetap penting untuk merangkul putra daerah. Biar nggak kelihatan goblok-goblok banget.
Tidak paham vocal point
Dalam prinsip desain grafis, ada term yang amat populer, yakni vocal point. Vocal point ini dalam desain diartikan sebagai elemen yang tampak lebih mencolok sekaligus lebih menarik perhatian dibandingkan elemen yang lainnya.
Nah, dalam poster-poter penolakan berita tentang Covid-19 di atas, desainer tidak mempertimbangkan elemen vocal point ini. Atau yang lebih buruk, malah tidak mudeng sama sekali tentang apa itu vocal point.
Pesan yang disampaikan benar-benar dibikin serampangan. Gambar landmark kota atau kabupaten yang dipakai hanya sekadar sebagai penghias atau validasi daerah. Tidak ada tulisan yang lebih ditonjolkan. Semuanya menonjol. Kalaupun ada yang menonjol, posisinya menutupi sebagian area visual landmark daerahnya. Padahal landmark ini seharusnya bisa menjadi vocal point sekunder.
Dalam hal ini, saran saya satu: kalau memang tidak mampu merangkul desainer grafis yang andal, cobalah cari tahu apa itu Canva.
Semrawut
Pemilihan warna sembarangan, asal tumpuk, font sedapatnya, shadow semampunya, singkat kata, desain poster menolak berita Covid-19 ini semrawut.
Dalam hal ini, saran saya satu: Wis tho, Mas. Rasah mekso. Tensimu, lho.
BACA JUGA Analisis Kesalahan Desainer Grafis UI sekaligus Mengapresiasinya sebagai Taktik Viral dan tulisan AGUS MULYADI lainnya.