MOJOK.CO – Media massa kita masih saja ada yang mengeksplorasi kesedihan korban pesawat Lion Air yang jatuh. Beruntung sudah ada beberapa media yang tidak melakukan itu.
Seorang keluarga korban pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610 diwawancarai oleh reporter salah satu media ternama. Ada tangisan dari si keluarga korban yang ditahan ketika proses wawancara tersebut.
Anehnya, si jurnalis “dengan halus” mendesak si keluarga untuk mencari jawaban kapan kontak terakhir dengan korban, dalam bentuk apa kontak tersebut, dan detail-detail pertanyaan yang sebenarnya cukup mengganggu.
Keluarga korban yang diwawancarai merupakan keluarga dari salah satu korban sebanyak 189 penumpang Lion Air yang berangkat dari Bandara Seokarno Hatta, Jakarta, menuju Pangkal Pinang, Bangka. Dalam keterangan resminya, BASARNAS sudah memberi keterangan bahwa tidak ada satu pun korban yang selamat.
Pertemuan kumpulan keluarga korban yang mencari informasi memang jadi pemandangan yang cukup potensial untuk “dijual”. Dalam proses keriuhan keluarga korban itulah para jurnalis merasa perlu untuk mewawancarai salah satu keluarga korban pesawat Lion Air yang jatuh.
Lalu peristiwa yang diceritakan di awal tulisan ini tadi bermula. Alih-alih memberi informasi kepada mereka, para jurnalis malah kadang memilih mereka sebagai salah satu muatan berita yang layak jual untuk diberitakan dari bencana pesawat Lion Air ini.
Hal-hal semacam ini seringkali terjadi—terlebih—ketika sebuah media sudah kehabisan amunisi pemberitaan data-data lanjutan proses evakuasi. Data korban sudah diketahui, kronologi kejadian sudah didapat, bahkan posisi jatuhnya pesawat pun sudah diperoleh dan proses pengangkatan jenazah maupun puing-puing pesawat sedang dilakukan.
Ketika semua hal tersebut sudah diinformasikan. Praktis, sudah tidak ada lagi yang bisa diberitakan oleh media selain menunggu update terbaru dari pihak yang mengevakuasi. Dan dalam proses menunggu itu apa yang dilakukan media? Mencari isu lain untuk diberitakan? Oh tidak.
Bencana atau peristiwa kecelakaan besar merupakan salah satu isu yang sangat potensial untuk mendapatkan pembaca sebanyak-banyaknya. Lebih-lebih, tidak seperti isu lain yang bisa berulang, informasi mengenai bencana sering tidak mendapatkan ketahanan keterbacaan yang cukup panjang. Benar memang pengaruhnya besar, tapi sangat pendek sekali durasinya.
Ketika jenazah korban sudah kembali ke keluarga masing-masing, rata-rata isu ini akan menurun tensinya secara perlahan lalu tertutup oleh isu lain yang lebih aktual.
Masalahnya, dalam jurnalisme bencana, informasi yang dibutuhkan sering bertumpuk dengan kisah-kisah tragis penuh empati yang menguras air mata. Keluarga korban seringkali jadi sasaran di sela-sela tidak adanya kebaruan informasi di lapangan.
Ya, hal semacam ini sebenarnya bisa dipahami juga. Nalar bisnis yang sederhana saja: Saya sudah kirim reporter di sana, daripada media saya tidak dapat berita baru, cari apa saja yang bisa dijadikan berita!
Lalu terjadilah peristiwa bagaimana perasaan Anda, ada firasat tidak, sampai kapan kontak terakhir dengan korban, dan sebagainya. Sebuah penggalian informasi tak perlu yang menambah pengalaman traumatis dari keluarga korban.
Dalam beberapa tahun ke belakang, hal seperti ini lumrah saja terjadi dalam dunia media massa kita. Menjual kesedihan jadi komoditas yang paling menjanjikan karena umumnya pemberitaan atau sebuah informasi akan semakin renyah dikonsumsi jika sifatnya ada dua: memancing amarah atau memancing kesedihan.
Itulah kenapa informasi mengenai penangkapan koruptor selalu ramai, karena ada rasa amarah yang saling menular dengan cukup cepat. Hal yang sama juga berlaku dengan rasa empati. Kesedihan juga sama gampangnya menular untuk dibagikan dari satu grup whatsapp ke grup whatsapp yang lain.
Hal semacam ini juga jadi sebab kenapa program seperti Rumah Uya atau acara reality show hampir selalu punya rating yang menakjubkan. Karena program-program seperti ini menggabungkan keduanya: rasa marah dan rasa sedih. Efek yang didapatkan pun jadi dobel. Belakangan sinetron azab juga laris karena pakai formulasi yang sama.
Sekarang kamu bisa bayangkan saja sendiri, ketika pemirsa atau pembaca media di Indonesia setiap hari selalu disuguhi hal demikian, lalu mendapatkan informasi yang merangsang kembali hal yang sudah “dilatih” oleh media kita, maka apa yang mereka harapkan?
Ya betul, mereka akan terus meminta drama.
Meski begitu, kita juga tidak bisa menampik bahwa setiap media membutuhkan dana untuk operasional mereka. Dalam hal ini, media tidak sepenuhnya salah karena dalam dunia industri, bukan kualitas yang jadi jualan utama, melainkan sebanyak apa kamu bisa menjual barang. Dalam hal ini yang dijual tentu saja rating.
Akan tetapi, yang sebenarnya perlu dipahami adalah media melakukan itu karena sudah mengawali proses tersebut sebelumnya. Pembaca, pemirsa, atau penikmat informasi di Indonesia ini sudah dibiasakan untuk mendapatkan drama di segala lini kehidupan. Lha gimana? Tak ada bencana sekalipun televisi kita dipenuhi oleh acara-acara reality show yang menguras amarah atau air mata kok.
Lalu apakah mata rantai ini tidak bisa diputus? Apakah eksplorasi kesedihan keluarga korban benar-benar bisa dinafikan untuk mencari informasi lain yang lebih punya etika? Oh, ada.
Kita bisa belajar banyak dari media Jepang dalam memberitakan gempa bumi dan tsunami Tohoku yang terjadi pada 2011. Dari banyaknya media massa Jepang yang memberitakan bencana yang menelan 5 ribu korban jiwa tersebut, tak ada satu pun media Jepang yang mengangkat foto atau video jenazah korban. Wawancara keluarga korban pun dilakukan dengan upaya yang jelas: membangkitkan optimisme, alih-alih mengumbar air mata.
Yang diberitakan justru wajah-wajah lantang, hal-hal heroik yang dilakukan warga untuk menyelamatkan diri, sampai para relawan yang bahu-membahu tanpa henti mencari korban. Wajah-wajah mereka inilah yang dimuat oleh media-media Jepang. Menciptakan rasa optimisme bersama ke seluruh bangsa sehingga membuat Jepang selalu jadi negeri terbaik dalam proses penanganan bencana.
Jika pun ada wajah-wajah korban, paling banter juga cuma foto keluarga yang tersisa di puing-puing bencana. Itu pun foto yang dipilih adalah foto dengan senyuman yang ingin menularkan rasa ketegaran dari si korban. Bukan ekspresi kesedihan, ketakutan, atau kengerian yang malah bisa menularkan rasa traumatis ke orang lain.
Selain hal itu, langkah yang bisa dilakukan adalah konsentrasi pada penyebab bencana. Dalam kasus kecelakan pesawat Lion Air ini, penyebab kecelakaan harus dicari dengan seksama lalu media-media ramai menekan pembuat kebijakan transportasi untuk meningkatkan standar keamanan. Memberi solusi konkret agar hal semacam ini tidak pernah terulang.
Agar keluarga korban pesawat Lion Air yang jatuh di Perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat ini bisa menjadi kecelakaan terakhir yang pernah terjadi oleh maskapai penerbangan di Indonesia.
Dan dalam posisi demikian, sudah saatnya media massa bekerja untuk para keluarga korban. Menginformasikan apa yang tidak bisa keluarga korban dapatkan di lapangan dengan informasi-informasi penting lainnya.
Bukan malah menjadikan mereka jadi bahan berita hanya untuk kepentingan kelangsungan hidup media tersebut dengan perhitungan rating, tanpa memikirkan kelangsungan hidup rasa kemanusiaan para pembacanya.