Saatnya Jurnalis Bekerja untuk Keluarga Korban Pesawat Lion Air yang Jatuh - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Home
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Politik
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Pojokan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Politik
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Pojokan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Logo Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Beranda Pojokan

Saatnya Jurnalis Bekerja untuk Keluarga Korban Pesawat Lion Air yang Jatuh

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
29 Oktober 2018
0
A A
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Media massa kita masih saja ada yang mengeksplorasi kesedihan korban pesawat Lion Air yang jatuh. Beruntung sudah ada beberapa media yang tidak melakukan itu.

Seorang keluarga korban pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610 diwawancarai oleh reporter salah satu media ternama. Ada tangisan dari si keluarga korban yang ditahan ketika proses wawancara tersebut.

Anehnya, si jurnalis “dengan halus” mendesak si keluarga untuk mencari jawaban kapan kontak terakhir dengan korban, dalam bentuk apa kontak tersebut, dan detail-detail pertanyaan yang sebenarnya cukup mengganggu.

Keluarga korban yang diwawancarai merupakan keluarga dari salah satu korban sebanyak 189 penumpang Lion Air yang berangkat dari Bandara Seokarno Hatta, Jakarta, menuju Pangkal Pinang, Bangka. Dalam keterangan resminya, BASARNAS sudah memberi keterangan bahwa tidak ada satu pun korban yang selamat.

Pertemuan kumpulan keluarga korban yang mencari informasi memang jadi pemandangan yang cukup potensial untuk “dijual”. Dalam proses keriuhan keluarga korban itulah para jurnalis merasa perlu untuk mewawancarai salah satu keluarga korban pesawat Lion Air yang jatuh.

Lalu peristiwa yang diceritakan di awal tulisan ini tadi bermula. Alih-alih memberi informasi kepada mereka, para jurnalis malah kadang memilih mereka sebagai salah satu muatan berita yang layak jual untuk diberitakan dari bencana pesawat Lion Air ini.

Baca Juga:

Lion Air JT610 jatuh MOJOK.CO

5 Fakta Terbaru Jatuhnya Lion Air JT610

30 Oktober 2018

Hal-hal semacam ini seringkali terjadi—terlebih—ketika sebuah media sudah kehabisan amunisi pemberitaan data-data lanjutan proses evakuasi. Data korban sudah diketahui, kronologi kejadian sudah didapat, bahkan posisi jatuhnya pesawat pun sudah diperoleh dan proses pengangkatan jenazah maupun puing-puing pesawat sedang dilakukan.

Ketika semua hal tersebut sudah diinformasikan. Praktis, sudah tidak ada lagi yang bisa diberitakan oleh media selain menunggu update terbaru dari pihak yang mengevakuasi. Dan dalam proses menunggu itu apa yang dilakukan media? Mencari isu lain untuk diberitakan? Oh tidak.

Bencana atau peristiwa kecelakaan besar merupakan salah satu isu yang sangat potensial untuk mendapatkan pembaca sebanyak-banyaknya. Lebih-lebih, tidak seperti isu lain yang bisa berulang, informasi mengenai bencana sering tidak mendapatkan ketahanan keterbacaan yang cukup panjang. Benar memang pengaruhnya besar, tapi sangat pendek sekali durasinya.

Ketika jenazah korban sudah kembali ke keluarga masing-masing, rata-rata isu ini akan menurun tensinya secara perlahan lalu tertutup oleh isu lain yang lebih aktual.

Masalahnya, dalam jurnalisme bencana, informasi yang dibutuhkan sering bertumpuk dengan kisah-kisah tragis penuh empati yang menguras air mata. Keluarga korban seringkali jadi sasaran di sela-sela tidak adanya kebaruan informasi di lapangan.

Ya, hal semacam ini sebenarnya bisa dipahami juga. Nalar bisnis yang sederhana saja: Saya sudah kirim reporter di sana, daripada media saya tidak dapat berita baru, cari apa saja yang bisa dijadikan berita!

Lalu terjadilah peristiwa bagaimana perasaan Anda, ada firasat tidak, sampai kapan kontak terakhir dengan korban, dan sebagainya. Sebuah penggalian informasi tak perlu yang menambah pengalaman traumatis dari keluarga korban.

Dalam beberapa tahun ke belakang, hal seperti ini lumrah saja terjadi dalam dunia media massa kita. Menjual kesedihan jadi komoditas yang paling menjanjikan karena umumnya pemberitaan atau sebuah informasi akan semakin renyah dikonsumsi jika sifatnya ada dua: memancing amarah atau memancing kesedihan.

Itulah kenapa informasi mengenai penangkapan koruptor selalu ramai, karena ada rasa amarah yang saling menular dengan cukup cepat. Hal yang sama juga berlaku dengan rasa empati. Kesedihan juga sama gampangnya menular untuk dibagikan dari satu grup whatsapp ke grup whatsapp yang lain.

Hal semacam ini juga jadi sebab kenapa program seperti Rumah Uya atau acara reality show hampir selalu punya rating yang menakjubkan. Karena program-program seperti ini menggabungkan keduanya: rasa marah dan rasa sedih. Efek yang didapatkan pun jadi dobel. Belakangan sinetron azab juga laris karena pakai formulasi yang sama.

Sekarang kamu bisa bayangkan saja sendiri, ketika pemirsa atau pembaca media di Indonesia setiap hari selalu disuguhi hal demikian, lalu mendapatkan informasi yang merangsang kembali hal yang sudah “dilatih” oleh media kita, maka apa yang mereka harapkan?

Ya betul, mereka akan terus meminta drama.

Meski begitu, kita juga tidak bisa menampik bahwa setiap media membutuhkan dana untuk operasional mereka. Dalam hal ini, media tidak sepenuhnya salah karena dalam dunia industri, bukan kualitas yang jadi jualan utama, melainkan sebanyak apa kamu bisa menjual barang. Dalam hal ini yang dijual tentu saja rating.

Akan tetapi, yang sebenarnya perlu dipahami adalah media melakukan itu karena sudah mengawali proses tersebut sebelumnya. Pembaca, pemirsa, atau penikmat informasi di Indonesia ini sudah dibiasakan untuk mendapatkan drama di segala lini kehidupan. Lha gimana? Tak ada bencana sekalipun televisi kita dipenuhi oleh acara-acara reality show yang menguras amarah atau air mata kok.

Lalu apakah mata rantai ini tidak bisa diputus? Apakah eksplorasi kesedihan keluarga korban benar-benar bisa dinafikan untuk mencari informasi lain yang lebih punya etika? Oh, ada.

Kita bisa belajar banyak dari media Jepang dalam memberitakan gempa bumi dan tsunami Tohoku yang terjadi pada 2011. Dari banyaknya media massa Jepang yang memberitakan bencana yang menelan 5 ribu korban jiwa tersebut, tak ada satu pun media Jepang yang mengangkat foto atau video jenazah korban. Wawancara keluarga korban pun dilakukan dengan upaya yang jelas: membangkitkan optimisme, alih-alih mengumbar air mata.

Yang diberitakan justru wajah-wajah lantang, hal-hal heroik yang dilakukan warga untuk menyelamatkan diri, sampai para relawan yang bahu-membahu tanpa henti mencari korban. Wajah-wajah mereka inilah yang dimuat oleh media-media Jepang. Menciptakan rasa optimisme bersama ke seluruh bangsa sehingga membuat Jepang selalu jadi negeri terbaik dalam proses penanganan bencana.

Jika pun ada wajah-wajah korban, paling banter juga cuma foto keluarga yang tersisa di puing-puing bencana. Itu pun foto yang dipilih adalah foto dengan senyuman yang ingin menularkan rasa ketegaran dari si korban. Bukan ekspresi kesedihan, ketakutan, atau kengerian yang malah bisa menularkan rasa traumatis ke orang lain.

Selain hal itu, langkah yang bisa dilakukan adalah konsentrasi pada penyebab bencana. Dalam kasus kecelakan pesawat Lion Air ini, penyebab kecelakaan harus dicari dengan seksama lalu media-media ramai menekan pembuat kebijakan transportasi untuk meningkatkan standar keamanan. Memberi solusi konkret agar hal semacam ini tidak pernah terulang.

Agar keluarga korban pesawat Lion Air yang jatuh di Perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat ini bisa menjadi kecelakaan terakhir yang pernah terjadi oleh maskapai penerbangan di Indonesia.

Dan dalam posisi demikian, sudah saatnya media massa bekerja untuk para keluarga korban. Menginformasikan apa yang tidak bisa keluarga korban dapatkan di lapangan dengan informasi-informasi penting lainnya.

Bukan malah menjadikan mereka jadi bahan berita hanya untuk kepentingan kelangsungan hidup media tersebut dengan perhitungan rating, tanpa memikirkan kelangsungan hidup rasa kemanusiaan para pembacanya.

Terakhir diperbarui pada 30 Oktober 2018 oleh

Tags: Jurnalis Mediajurnalisme bencanaLion Air Jatuh
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Lion Air JT610 jatuh MOJOK.CO
Kilas

5 Fakta Terbaru Jatuhnya Lion Air JT610

30 Oktober 2018
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
kebelet

Urusan Buang Air yang Mempengaruhi Harga Diri di Masa Depan

Tinggalkan Komentar


Terpopuler Sepekan

Suara Hati Pak Bukhori, Penjual Nasi Minyak yang Dihujat Warganet - MOJOK.CO

Suara Hati Pak Bukhori, Penjual Nasi Minyak Surabaya yang Dihujat Warganet

24 Januari 2023
PO Haryanto Bikin Perjalanan Cikarang Jogja Jadi Menyenangkan MOJOK.CO

PO Haryanto Sultan Bantul Bikin Perjalanan Cikarang-Jogja Jadi Sangat Menyenangkan

27 Januari 2023
Seandainya Prabowo Menjadi Presiden

Saatnya Jurnalis Bekerja untuk Keluarga Korban Pesawat Lion Air yang Jatuh

29 Oktober 2018
Suara Kader Muda NU untuk 100 Tahun NU / satu abad yang Gini-gini Aja MOJOK.CO

Suara Kader Muda NU untuk 100 Tahun NU yang Gini-gini Aja

28 Januari 2023
Suara Hati Petani di Gunungkidul Karena Monyet yang Marah Kena JJLS

Suara Hati Petani di Gunungkidul karena Monyet yang Marah Kena JJLS

26 Januari 2023
kecamatan di sleman mojok.co

5 Kecamatan Paling Sepi di Sleman yang Cocok untuk Pensiun

27 Januari 2023
Cak Nun Salah, Jokowi Bukan Firaun karena Firaun Tidak Setuju UU Cipta Kerja MOJOK.CO

Cak Nun Salah, Jokowi Bukan Firaun karena Firaun Tidak Setuju UU Cipta Kerja

21 Januari 2023

Terbaru

Mencoba Lawson yang Baru Buka- Oden Enak yang Harganya Nggak Enak Buat UMR Jogja MOJOK.CO

Mencoba Lawson yang Baru Buka: Oden Enak yang Harganya Nggak Enak Buat UMR Jogja

29 Januari 2023
tsamara erick thohir

Manuver Tsamara Setelah Keluar dari PSI: Ogah Gabung Parpol, Dukung ET Jadi Ketum PSSI

29 Januari 2023
aplikasi lari dan jogging mojok.co

10 Aplikasi Lari dan Jogging Terbaik yang Cocok Buat Pemula

29 Januari 2023
Waspada Penipuan Online Bermodus Tautan Paket! Duit Bisa Lenyap dengan Sekali Klik

Waspada Penipuan Online Bermodus Tautan Paket! Duit Bisa Lenyap dengan Sekali Klik

29 Januari 2023
Uneg-uneg untuk Persahatan: Akhirnya Aku Mengerti Dunianya Bukan Aku Lagi

Uneg-uneg Persahabatan: Akhirnya Aku Mengerti Dunianya Bukan Aku Lagi

29 Januari 2023
Untuk Dosen di Surabaya: Kalau Dosen Senior Memangnya Boleh Seenaknya Sendiri? MOJOK.CO

Untuk Dosen di Surabaya: Kalau Dosen Senior Memangnya Boleh Seenaknya Sendiri?

29 Januari 2023
Uneg-uneg untuk Masjid yang Tutup di Luar Jadwal Salat MOJOK.CO

Uneg-uneg untuk Masjid yang Tutup di Luar Jadwal Salat

29 Januari 2023

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Kanal Pemilu 2024
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Pojokan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-Uneg
  • Movi
  • Kunjungi Terminal
  • Mau Kirim Artikel?

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In