Kemarin, saya menulis tentang orang bertahan di Jogja itu bisa jadi karena nggak punya pilihan lagi. Alasan tersebut kesannya amat hopeless. Ya mau gimana lagi, realitas hidup memang seringnya mengerikan. Tapi apakah tidak ada alasan lain kenapa orang-orang bertahan di Jogja? Ya banyak, banget.
Tulisan saya kemarin memang berangkat dari narasi aneh konten kreator yang bawa-bawa UMR Jogja, lalu disangkutkan ke kenyamanan. Ya nggak bisa. Miskin kok nyaman itu aneh. Coba misalnya dia tidak bawa-bawa perkara finansial, alasannya bisa jadi masuk akal. Sebab memang buanyak banget alasan hidup di Jogja, bila kita nggak ngomongin finansial sama sekali.
Misalnya, hidup di Jogja itu terjamin sehat. Ini beneran, serius.
Efek timnas plus diseneni Tirta di berbagai medsos bikin tren berolahraga di Jogja ini begitu tinggi. Nggak perlu kaget kalau tiap lapangan sekarang diisi orang main bola dan jogging. Lapangan badminton selalu penuh. Usaha mini soccer bertebaran, sekalipun sewanya begitu mahal. Toko sepatu olahraga selalu laku. Konten cara suami minta izin beli sepatu ke istri makin banyak.
Saya jelas tidak ketinggalan tren ini. Saya sejak Januari ini sudah bergabung ke salah satu komunitas mini soccer yang saya yakin, salah satu yang terbesar di Jogja. Waktu saya gabung, member masih 300-an, tapi kini membernya sudah 600 sekian. Kalau penasaran apa nama komunitasnya, namanya BGLN FC. Sumpah, ini komunitas paling fun yang saya ikut. Apalagi fotografernya ciamik waktu ambil foto. Feed IG saya makin estetik.
Tapi, kenapa saya bilang hidup di Jogja jaminan sehat? Ini ada kaitannya dengan kultur Jogja yang mendukung orang-orang FOMO.
Orang di Jogja suka banget bikin komunitas
Kalau kalian adalah mahasiswa baru di Jogja, pasti saya yakin kalian akan kaget karena banyak banget komunitas di sini, dan seluruhnya hidup. Ya pasti ada yang mati, tapi yang lestari ya banyak banget. Dari komunitas baca, komunitas standup, kopi, klub filsafat (yang sebenernya lebih tepat disebut orang sotoy berkumpul jadis atu), dan komunitas olahraga berkembang luas di sini.
Tapi kenapa bisa begitu?
Sepengalaman saya 14 tahun hidup di Jogja, ada satu habit orang-orang di Kota Istimewa ini yang nggak pernah mati. Yaitu, menginisiasi perkumpulan orang-orang yang sehobi. Misalnya, ada satu orang suka dengan Madrid. Dia tiba-tiba saja bikin pengumuman mau bikin klub Madrid Sleman, misalnya, di media sosial. Somehow, waktu hari H, banyak banget orang yang gabung.
Saling kenal? Nggak dong. Tapi mereka nanti jadi komunitas yang solid, punya banyak agenda, dan jadi saudara meski tak sedarah. Polanya selalu seperti ini. Amat mudah seseorang menemukan kawan sehobi di Jogja.
Makanya saya bilang hidup di Jogja jaminan sehat. Jika kalian pengin lari, yakin, pasti ada yang ngajak gabung ke komunitasnya, dan kalian akan diemong dan diajak terus-terusan untuk konsisten. Di komunitas di mana saya bergabung, lebih enak lagi. Fasilitas yang didapat lengkap, membernya ramah, fokusnya di fun, dan konsisten jadwalnya. Yang gabung jadi konsisten untuk berolahraga.
Awalnya sih, mulai karena iseng, tapi lama-lama berolahraga karena sekalian pengin guyub. Lha gara-gara itu, jadi konsisten olahraga. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Badan sehat, plus relasi selalu nambah. Enak to?
Daripada jualan kenangan terus, ya nggak?
Infrastruktur olahraga di Jogja juga mudah. Jika kalian suka sepak bola, duh, kelewat banyak lapangan yang bisa dicoba. Tempat lari juga banyak. GOR untuk badminto juga banyak banget. Gym apalagi, pating tlecek.
Jadi kalau misalnya kalian orang tua yang ingin mengirim anaknya kuliah di Jogja, tapi ragu apakah kultur olahraga di kota ini sekenceng di kampung atau tidak, sudah, sekarang jauh lebih lengkap. Saya dulu waktu kuliah sebenarnya kecewa, karena di Jogja kurang lapangan yang ramai. Olahraga adanya juga cuman futsal, itupun elitis banget. Kini, beda cerita, yang dicari justru fun. Makin hari makin inklusif.
Jadi, misal cari cara meromantisasi Jogja, para konten kreator bisa memulai dengan menyorot ramenya GSP dipenuhi orang lari, lalu JEC Mini Soccer yang dipenuhi bapak-bapak kepala tiga, lalu lapangan badminton yang dipenuhi karyawan kantor pulang kerja. Narasinya bisa dibikin begini:
Di Jogja, hatimu tenang karena suasana yang indah, dan ragamu akan selalu kuat, karena manusianya selalu berusaha menjadi insan yang sehat.
Pie? Cocok? Cocok lah. Mosok mung dodolan “Jogja itu nyaman”. Hash, kalau kayak gitu di postingan ICJ ya banyak.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jogja, Kota yang Keburukannya (Entah Kenapa) Selalu Dimaafkan dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.












