MOJOK.CO – Di Indonesia, perkara menentukan tanggal pernikahan ribetnya bisa nggak karuan. Ternyata, dalam pernikahan, tanggal bukan lagi sekadar masalah angka.
Salah seorang teman dekat saya, sedang merencanakan pernikahan dengan pacarnya. Semua rencana yang mereka jalani sebelumnya, bisa dikatakan lancar-lancar saja. Sampai akhirnya, mereka kepentok dalam perkara menentukan tanggal pernikahan. Teman saya ini, tidak menduga kalau menentukan tanggal pernikahan ternyata bisa sangat ribet dan sealot itu.
Kesulitan pertama, kedua keluarga belum ada kesepakatan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan pernikahan. Keluarga pasangannya ingin menyelenggarakannya sesegera mungkin. Mereka menganggap, nggak baik kalau jarak antara lamaran dan akad terlalu jauh. Sementara keluarga dia sendiri, merasa kesulitan untuk mempersiapkan jika harus dilaksanakan dalam waktu dekat. Apalagi, kalau diselenggarakan dalam waktu dekat dan seolah terburu-buru, takut orang lain mikir-mikir macam-macam. Yak, maksudnya takut dikira udah hamil duluan~
Kesulitan kedua, belum lagi masalah menentukan tanggal pernikahan ini, harus menyesuaikan izin cuti kedua orang tua mereka. Termasuk mereka sendiri—yang sama-sama bekerja. Apalagi kedua keluarga bisa dikatakan memiliki background pekerjaan berbeda. Tentu saja, hal ini semakin menyulitkan dalam mempertimbangkan kapan bisa cuti, dan kapan betul-betul nggak bisa ambil cuti.
Kesulitan ketiga, usut punya usut, ternyata segala masukan tersebut bukan hanya berdasarkan keluarga inti saja. Namun juga kedua keluarga besar. Ya, keluarga besar punya suara yang sama untuk ikut urun usul. Pasalnya, semua anggota keluarga penginnya ikut datang dalam pesta pernikahan tersebut. Tidak ingin melewatkannya hanya karena ada urusan lain yang betul-betul tidak dapat ditinggalkan.
Kesulitan keempat, ini menjadi semakin ruwet kalau ternyata keluarga tersebut punya pantangan terhadap tanggal-tanggal tertentu untuk dijadikan tanggal pernikahan. Padahal kan, bukannya semua tanggal itu baik, ya? Kok ada yang jadi pantangan? Misalnya, weton meninggalnya Kakek atau Neneknya. Atau kalau di Jawa, punya anggapan nggak boleh nikah di Bulan Suro—soalnya menjadi pembuka bulan yang disakralkan sehingga nggak boleh ada perayaan pesta. Hadeeeh, jika seperti ini, semakin panjang urusannya.
Kalau udah kayak gini, boro-boro mau mikirin tanggal yang punya nilai historis bagi romansa hubungan mereka. Misalnya, kayak tanggal kencan pertama atau tanggal jadian. Apalagi mau bayangin bisa nikah di tanggal cantik biar epic? Sudah tentu tidak mampu. Perkara yang krusial aja masih belum kelar dan belum ada kesepakatan, kok malah mikir soal epic-epic an. Hasssh!
Teman saya ini juga cerita, kalau hubungannya sama pacar jadi agak renggang hanya karena ribut tentang menentukan tanggal pernikahan. Tapi, ya, mohon maaf, nih. Masalah tanggal ini, bukanlah sesuatu yang ‘hanya karena’. Pasalnya, kepastian tanggal ini adalah suatu hal inti yang kemudian menentukan hal-hal berikutnya. Misalnya booking venue, pesen katering, sewa dekorasi, dan bab pesen-pesen yang lainnya.
Kecuali kalau kamu memang sudah punya wedding organizer sendiri plus punya gedung atau venue sendiri. Jadi, nggak perlu ribet-ribet amat booking sana-sini. Eh, tetep ribet, ding. Kalau di tanggal itu, ternyata jasanya udah kadung di-DP sama orang lain, gimana? Jadi, sama aja, kan?
Tapi, kenapa harus ribet, sih? Kan yang nikah cuma dua orang, aja.
Memang betul, menikah adalah urusan si pasangan. Pun yang menjalaninya juga si pasangan. Namun, masalahnya, dalam budaya kita (((iya, budaya kita))), menikah dengan seseorang berarti juga menikahi seluruh keluarganya, Sayang. Makanya, jangan lupa sebelum nikah cari tahu dulu, apakah keluarganya betul-betul menerimamu. Atau nggak. Apalagi dalam penghelatan pernikahan tersebut—bagaimanapun juga—pihak keluarga ikut berperan dalam membantu dan mendukung keberlangsungan acara tersebut.
Maka menjadi wajar-wajar saja, kalau mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Tentu saja, supaya semuanya berjalan dengan lancar, penuh restu, dan berkah. Tanpa ada gerundelan di belakang. Meskipun lagi-lagi, kita tidak akan pernah bisa menyenangkan semua orang, sih~
Mungkin keadaan yang dialami oleh teman saya ini, akan berbeda jika keluarganya punya budaya yang lebih individualis. Mereka nggak terlalu memikirkan apa-kata-keluarga-besar. Mungkin, (((mungkin loh, ya))) kesepakatan yang diambil nggak bakal terlalu ribet-ribet amat. Lantaran, musyawarah untuk mencapai kata mufakatnya hanya merunut dari pertimbangan keluarga inti saja.
Tapi teman saya juga menyadari, di tengah kehiruk-pikukan menyelaraskan pikiran banyak kepala, dia harus tetap menjaga kepalanya tetap dingin. Meski diam-diam, hal tersebut menguras emosinya. Apalagi, dia tipe orang yang cenderung selalu menginginkan segala hal berjalan sesuai dengan yang dia rencanakan. Hmmm, makin tambah-tambah sumber kesumpekannya.
Saya yang bukan siapa-siapa, sebetulnya hanya bisa mendengar ceritanya. Serta memastikan kalau dia nggak jadi Bridezilla karena ribet ngurusin nikahannya sendiri—tapi harus bisa memenuhi keinginan seluruh keluarganya.
Melihat keribetan teman saya ini, saya merasa cukup beruntung. Di saat teman-teman saya yang lain lagi ribet nyari-nyari tanggal nikah. Saya justru sibuk nyari tanggal liburan yang tepat untuk menghilang dari tuntutan kerja dan peradaban.