MOJOK.CO – Para perantau yang akan kembali ke kota diwajibkan untuk membawa surat sehat dari kotanya masing-masing beserta hasil rapid test. Masalahnya adalah, tes tersebut nggak gratis sama sekali.
Semalam, Bang Renal, pemilik kos tempat saya numpang boker, mengirim pesan di grup kosan. Isi pesan itu mengatakan bahwa bagi para anak kos yang mudik dan berniat kembali ke kos diharuskan membawa surat kesehatan. Saya yang membaca pesan itu sembari main Valorant langsung panik. Sedetik kemudian saya baru sadar, haaa saya kan nggak mudik, goblok.
Usut punya usut, ternyata imbauan itu nggak hanya ada di RT tempat saya ngekos. Hal ini berlaku hampir di seluruh Indonesia, sebagai upaya untuk mencegah penyebaran COVID-19 dari para perantau yang balik dari kampung. Beberapa daerah bahkan mewajibkan adanya lampiran hasil rapid test.
Yah, lampiran hasil rapid test itulah masalahnya. Sebentar, sebentar, kok rapid test jadi masalah? Bagus dong harusnya.
Gini. Untuk rapid test, harga paling murah yang harus dibayar adalah 300 ribu. Murah? Untuk beberapa orang, iya. Tapi tidak buat yang lain. Itu yang paling murah, masih ada paket lain yang bisa menyentuh jutaan.
Tapi sebentar, tidakkah kalian mencium bau amis?
Begini. Sampai sekarang kita minta diadakannya tes massal yang menyeluruh di Indonesia tapi nggak terwujud kan? Kenapa tiba-tiba jika kalau kita mau balik rantau kita harus bawa surat keterangan berisi hasil tes? Kenapa tiba-tiba tes massal bisa terjadi kalau kita bayar?
Smelly smell, isn’t it?
Nggak usah bertele-tele, yang saya permasalahkan adalah tesnya itu bayar, dan mau nggak mau kita harus tes. Syarat dapat kartu sehat tersebut, setahu saya, setelah kita melakukan rapid test. Kalau memang menjadikan surat tersebut adalah syarat wajib, harusnya pemerintah sudah mengantisipasi ini dengan, setidaknya, menyunat harga tes yang lumayan mencekik itu.
I get it, ini adalah upaya untuk memotong jalur penyebaran virus. Tapi di saat yang bersamaan, negara membuka lagi akses tempat-tempat yang berpotensi menciptakan kerumunan. Mal dibuka, transportasi umum dibuka, dan perantau yang harus kuliah atau bekerja harus ribet-ribet ngeluarin uang buat bayar rapid test untuk syarat bisa masuk kota?
Lagian yang ngebet new normal itu siapa sih kalau bukan pemerintah?
Pada titik ini, tes massal harusnya adalah langkah paling masuk akal untuk dilakukan. Saya tahu, rapid test serentak untuk 260 juta penduduk Indonesia adalah permintaan ngawur. Tapi setidaknya, lakukan tes massal untuk kebutuhan orang-orang yang merantau bisa kembali ke kantor.
Kalau alasannya adalah keterbatasan alat rapid test, saya masih akan tetap memegang argumen saya sebelumnya. Apakah yang dimaksud adalah alat tes yang gratis itu nggak ada, tapi yang nggak gratis itu buanyak? Bukan tidak mungkin lho, orang-orang jadi berasumsi kalau selama ini alat rapid test itu tersedia dan mencukupi, cuma memang rakyat harus membiayai sendiri.
Indonesia kan negara demokrasi. Dari (duit) rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat, begitu bukan?
Makanya, argumen kekurangan alat itu bagi saya nggak masuk akal. Nggak mungkin juga pemerintah daerah dan pusat nggak tahu jumlah alat yang tersedia. Kalau mereka nggak tahu, nggak mungkin juga mereka berani bikin aturan ini. Kita sedang bicara potensi jumlah tes yang nggak hanya sepuluh dua puluh ribu, tapi bisa ratusan ribu dalam satu waktu.
Bilang saja kalau rapid test sebenarnya ada, tapi nggak gratis. Bilang saja kalau kita memang harus membayar karena negara nggak cukup duit. Makanya nggak ada lockdown, soalnya negara harus mencukupi rakyatnya, lalu diberlakukanlah darurat sipil.
Atau bilang saja, pemerintah memang lagi butuh sumbangan dari rakyatnya.
BACA JUGA Negara Boleh Goblok, Kita Jangan dan artikel menarik lainnya dari Rizky Prasetya.