MOJOK.CO – Meski diprotes, Pemerintah tetap menjalankan protokol new normal. Pada titik ini, kita harus menerima fakta bahwa argumen dan kritikan kita tak pernah masuk ke kuping mereka.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah resmi dicabut. Kurva yang belum melandai tidak membuat Pemerintah merevisi keputusannya. Pemerintah tetap bersikukuh, kita harus siap menjalani “new normal”. Siap tidak siap, dunia tetap harus berjalan meski virus bisa menyerang dari mana saja.
Pemerintah menyiapkan protokol-protokol yang diperlukan agar kegiatan tetap berjalan namun risiko terpapar dari virus tetap minimal. Kebijakan seperti hanya lima puluh persen karyawan yang masuk, membawa surat tugas sebagai syarat untuk naik kendaraan umum, dan membawa surat kesehatan jika datang dari kampung adalah jenis-jenis upaya yang dilakukan Pemerintah untuk menyambut “new normal”.
Kegiatan yang berjalan kembali alias new normal ini memang masih masa transisi. Tapi pada realitasnya, kehidupan kembali as if corona nggak pernah nyampe Indonesia. Banyak yang bilang ini bagus, karena makin lama PSBB diberlakukan, makin banyak kerugian yang akan ditanggung.
Intinya gini. Kebijakan itu (seakan-akan) adalah jalan terbaik yang diambil Pemerintah untuk mengatasi kerugian negara dan rakyat gara-gara pandemi ini. Meski risikonya besar, tapi tidak ada jalan tanpa kerikil, hidup terus berjalan.
Hash prek.
Jujur saja, new normal ini omong kosong. Nggak ada yang new dan normal dari ini semua. Apa yang new dari Pemerintah yang nggak becus tanggapi pandemi ini? Dan apa yang normal dari kerumunan pada masa pandemi? Ayolah.
Kita tahu new normal yang dilaksanakan pemerintah ini sebenarnya hanyalah memaksa kegiatan ekonomi tetap berputar. Pada saat yang bersamaan, penanganan pandemi ini nggak bisa dibilang bagus. Mau bilang jelek saja belum, tapi kok nggak tega. Eh ini dah bilang ya?
Banyak orang memberikan argumen yang bagus tentang kebijakan yang dipaksakan oleh Pemerintah ini. Salah satunya adalah jumlah tes yang tidak memadai tidak menunjukkan kesiapan pemerintah. Tanpa jumlah tes yang banyak, maka memberlakukan new normal tidak ubahnya mengirim para orang tak bersenjata ke medan perang.
Fakta bahwa angka kasus yang makin naik juga jadi salah satu alasan new normal bukanlah hal yang harus dilakukan dalam waktu cepat. Apalagi dipaksa seperti ini. Logikanya begini aja deh, banyak kasus positif berarti masih bahaya kan, terus ngapain memaksa orang-orang keluar dari rumah?
Saya sampai ngulang penjelasan dua kali, huvt.
Negara macam Korea Selatan dan Jepang, yang sempat melonggarkan protokol, harus menerima akibatnya yaitu ditemukan lagi kasus corona baru di negara tersebut. Kasus dari negara itu saja sudah cukup untuk dijadikan bukti, bahwa virus ini nggak bisa disepelekan sama sekali. Kayak gini yang disebut new normal?
Tapi Pemerintah tetap saja menjalankan kebijakan ini, terlepas dari argumen-argumen yang bagus dari banyak pihak. Pemerintah tetap ingin roda ekonomi berjalan, dan kita sebagai pion mau tidak mau melangkah keluar dari pintu.
Pada titik ini, kita semestinya menerima saja bahwa saat kita memberi argumen dan kritikan kepada Pemerintah, mereka menyumpal kupingnya dengan AirPods. Saat kita memberikan suara dari hati, Pemerintah meresponsnya dengan tutup kuping.
Kalau mau memetik pelajaran atau pesan moral dari ontran-ontran ini, bahwa kita hanya punya diri kita sendiri sebagai pertahanan diri sendiri. Kita hanya bisa berserah diri pada Tuhan, memakai masker, dan rela kulit tangan mlocot karena kebanyakan cuci tangan.
Silakan tetap di dalam rumah, itu hal terbaik yang bisa kalian lakukan. Jika kantor tidak memberimu izin bekerja di rumah, bekali diri dan jadilah sebersih mungkin. Ya mau gimana lagi, suka tidak suka, inilah new normal, walau tidak ada yang new dan normal dari ini semua.
Pada akhirnya, semua kembali ke diri kita masing-masing.
BACA JUGA Negara Boleh Goblok, Kita Jangan dan artikel menarik lainnya dari Rizky Prasetya.