MOJOK.CO – Pedagang kecil-kecilan memang kelihatan sepele di matamu. Nggak tahu aja sebenarnya mereka sedang berenang di kolam cuan.
Saya sebenarnya sudah capek banget mendengar pertanyaan “kapan nikah” yang seringnya datang dari generasi boomer. Dari awalnya malas menjawab sampai benar-benar kebal. Topik bahasan macam ini juga sudah basi untuk dibahas lagi. Untungnya, generasi ini punya banyak amunisi menjawab pertanyaan itu secara logis. Sayangnya, sesekali “amunisi” itu tampak salah kaprah. Pernah sekali waktu seorang kawan mengatakan, “Dahlah, menikah itu ya kalau udah siap lahir batin. Itu jauh lebih baik ketimbang lu nikah, tapi habis itu lu jualan, jadi pedagang Pop Ice di depan rumah.”
Iya… iya. Saya setuju dengan kalimat “menikahlah ketika sudah siap lahir batin”, tapi kalimat selanjutnya kok agak kurang gitu ya, Say. Loh jangan salah, jualan Pop Ice itu duitnya seger.
Jangan salah, jualan cireng juga bisa bikin kaya kalo ditekuni 😌 pic.twitter.com/jA7LCpM0yv
— TXT OLCOP (@txtdarionlshop) September 21, 2021
Kebetulan, topik mendiskreditkan pedagang ini juga berseliweran di media sosial. Kadang saya merasa relate aja, walau saya nggak beneran punya dagangan dan fokus ke sana. Tapi, stigma pedagang harus “dibantu” karena “butuh bantuan” itu muncul terus. Kita kemudian mengajari diri kita sendiri untuk menghargai dagangan teman dan berusaha melarisinya, beberapa orang juga membela pedagang kecil, yang istilah kerennya UMKM itu, untuk didukung dalam hal promosi dan kalau bisa dimodalin sekalian.
Masalahnya gini. Pedagang itu bukan profesi yang identik sama orang susah. Nggak semua orang yang sedang membangun usaha, sedang terhimpit tagihan ekonomi dan banting setir sebab tak ada pilihan untuk kerja kantoran. Sebagian dari mereka berjualan ya karena melihat potensi penghasilan.
Lagian kenapa sih orang-orang harus malu berdagang?
Jika menilik dari segi penghasilan, kita semua bakal sepakat uang yang didapatkan dari jualan itu cenderung lebih cepat dan lebih banyak dari sekadar kerja kantoran atau jadi PNS. Misalnya jualan Pop Ice aja deh. Kalau satu bungkus aja labanya dua ribu rupiah dan yang beli orang se-RW (70 orang), si penjual sudah dapat Rp140 ribu. Dalam sebulan, laba bersihnya Rp4.200.000. Sudah dua kali lipat UMR Jogja. Padahal cuma jualan Pop Ice di depan rumah yang nggak perlu biaya marketing pajak ini-itu. Coba bayangkan kalau penjual itu buka franchise Pop Ice di setiap RW di kampungnya, lalu melebarkan sayap dengan menjual gorengan dan cimol buat melengkapi kebutuhan sobat jajan. Apa nggak puluhan juta tuh penghasilannya sebulan?
Dari segi finansial, jelas, pedagang juga punya banyak harapan akan penghasilan fantastis kalau mereka mau ngulik dan memperluas jaringan bisnis. Lha ketimbang nunggu appraisal kantor yang setahun sekali, mendingan buka franchise Pop Ice.
Dari segi jam kerja, pedagang juga jauh lebih fleksibel. Saat ada acara, warung Pop Ice-nya tutup dulu, saat PPKM Pop Ice bisa dipesan lewat WhatsApp, saat lagi banyak waktu luang bisa ngadain promo besar-besaran buat mendongkrak penjualan. Ini nih yang namanya jadi bos di perusahaan sendiri. Realistis bin praktis.
Meskipun “semudah” itu dapat cuan, profesi pedagang sebenarnya masih dianggap sepele. Rasanya bocah-bocah SD memang nggak pernah punya cita-cita kalau besar mau jadi pedagang. Sebab apa? Sebab profesi ini masih diremehkan. Nggak sedikit orang-orang malu dan gengsi untuk terjun langsung dalam bisnis jualan.
Standar kebanyakan orang tua konservatif memang membentuk pola pikir generasi sekarang buat malu berdagang. Kebanyakan orang tua menganggap kerjaan yang bagus itu ya kerja kantoran, jadi PNS atau pegawai BUMN, kalau tetap nggak bisa ya jadi karyawan swasta lah minimal.
Berangkat kerja rapi dan wangi. Lebih oke kalau pakai seragam dan sepatu pantofel, aduh ganteng pisan. Berangkat pagi, pulang sore, libur Sabtu Minggu, dan gajian di awal bulan. Hmmm, pada nggak tahu aja jadi budak korporat sekarang kerjanya kayak kuda pecut.
Anggapan tersebut memunculkan stigma samar berkaitan dengan wiraswasta, pedagang, dan semacamnya bahwa mereka adalah kaum pekerja yang rentan gagal, apalagi untuk mereka yang minim modal. Pedagang dianggap sebagai orang yang tidak punya pilihan lain untuk cari uang. Mereka dianggap tidak memenuhi standar atau kriteria tertentu yang diterapkan kantor-kantor korporat dan lembaga negara. Padahal kan nggak begitu konsepnya.
Makanya, resign dari pekerjaan dan membangun usaha di negara ini selalu dianggap sebagai sebuah keputusan berani. Seolah-olah setelah tak lagi menyandang status karyawan, penghasilannya bakal nggak tentu, dan ia menghadapi risiko yang benar-benar besar. Sayangnya, resign dari pekerjaan buat membangun usaha yang bakal berkembang adalah tanda-tanda kedewasaan dan kesadaran akan potensi cuan di tempat lain.
Intinya saya tetap heran sama yang menganggap pedagang itu profesi “kecil-kecilan”. Mereka punya potensi berkembang jauh lebih besar ketimbang saya yang cuma duduk dan mikir, “Nulis apa ya aku hari ini?”
BACA JUGA Membaca Karakter Pedagang saat Nggak Punya Uang Kembalian dan artikel AJENG RIZKA lainnya.