Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Profesi Pedagang yang Kamu Pikir Remeh Itu, Nyatanya Gudang Cuan

Emang kenapa kalau habis menikah dagang cireng?

Ajeng Rizka oleh Ajeng Rizka
22 September 2021
A A
ilustrasi Profesi Pedagang yang Kamu Pikir Remeh Itu, Nyatanya Gudang Cuan mojok.co

peluang bisnis, esq, rokok mojok.co

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Pedagang kecil-kecilan memang kelihatan sepele di matamu. Nggak tahu aja sebenarnya mereka sedang berenang di kolam cuan.

Saya sebenarnya sudah capek banget mendengar pertanyaan “kapan nikah” yang seringnya datang dari generasi boomer. Dari awalnya malas menjawab sampai benar-benar kebal. Topik bahasan macam ini juga sudah basi untuk dibahas lagi. Untungnya, generasi ini punya banyak amunisi menjawab pertanyaan itu secara logis. Sayangnya, sesekali “amunisi” itu tampak salah kaprah. Pernah sekali waktu seorang kawan mengatakan, “Dahlah, menikah itu ya kalau udah siap lahir batin. Itu jauh lebih baik ketimbang lu nikah, tapi habis itu lu jualan, jadi pedagang Pop Ice di depan rumah.”

Iya… iya. Saya setuju dengan kalimat “menikahlah ketika sudah siap lahir batin”, tapi kalimat selanjutnya kok agak kurang gitu ya, Say. Loh jangan salah, jualan Pop Ice itu duitnya seger.

Jangan salah, jualan cireng juga bisa bikin kaya kalo ditekuni 😌 pic.twitter.com/jA7LCpM0yv

— TXT OLCOP (@txtdarionlshop) September 21, 2021

Kebetulan, topik mendiskreditkan pedagang ini juga berseliweran di media sosial. Kadang saya merasa relate aja, walau saya nggak beneran punya dagangan dan fokus ke sana. Tapi, stigma pedagang harus “dibantu” karena “butuh bantuan” itu muncul terus. Kita kemudian mengajari diri kita sendiri untuk menghargai dagangan teman dan berusaha melarisinya, beberapa orang juga membela pedagang kecil, yang istilah kerennya UMKM itu, untuk didukung dalam hal promosi dan kalau bisa dimodalin sekalian.

Masalahnya gini. Pedagang itu bukan profesi yang identik sama orang susah. Nggak semua orang yang sedang membangun usaha, sedang terhimpit tagihan ekonomi dan banting setir sebab tak ada pilihan untuk kerja kantoran. Sebagian dari mereka berjualan ya karena melihat potensi penghasilan. 

Lagian kenapa sih orang-orang harus malu berdagang?

Jika menilik dari segi penghasilan, kita semua bakal sepakat uang yang didapatkan dari jualan itu cenderung lebih cepat dan lebih banyak dari sekadar kerja kantoran atau jadi PNS. Misalnya jualan Pop Ice aja deh. Kalau satu bungkus aja labanya dua ribu rupiah dan yang beli orang se-RW (70 orang), si penjual sudah dapat Rp140 ribu. Dalam sebulan, laba bersihnya Rp4.200.000. Sudah dua kali lipat UMR Jogja. Padahal cuma jualan Pop Ice di depan rumah yang nggak perlu biaya marketing pajak ini-itu. Coba bayangkan kalau penjual itu buka franchise Pop Ice di setiap RW di kampungnya, lalu melebarkan sayap dengan menjual gorengan dan cimol buat melengkapi kebutuhan sobat jajan. Apa nggak puluhan juta tuh penghasilannya sebulan?

Dari segi finansial, jelas, pedagang juga punya banyak harapan akan penghasilan fantastis kalau mereka mau ngulik dan memperluas jaringan bisnis. Lha ketimbang nunggu appraisal kantor yang setahun sekali, mendingan buka franchise Pop Ice.

Dari segi jam kerja, pedagang juga jauh lebih fleksibel. Saat ada acara, warung Pop Ice-nya tutup dulu, saat PPKM Pop Ice bisa dipesan lewat WhatsApp, saat lagi banyak waktu luang bisa ngadain promo besar-besaran buat mendongkrak penjualan. Ini nih yang namanya jadi bos di perusahaan sendiri. Realistis bin praktis.

Meskipun “semudah” itu dapat cuan, profesi pedagang sebenarnya masih dianggap sepele. Rasanya bocah-bocah SD memang nggak pernah punya cita-cita kalau besar mau jadi pedagang. Sebab apa? Sebab profesi ini masih diremehkan. Nggak sedikit orang-orang malu dan gengsi untuk terjun langsung dalam bisnis jualan.

Standar kebanyakan orang tua konservatif memang membentuk pola pikir generasi sekarang buat malu berdagang. Kebanyakan orang tua menganggap kerjaan yang bagus itu ya kerja kantoran, jadi PNS atau pegawai BUMN, kalau tetap nggak bisa ya jadi karyawan swasta lah minimal.

Berangkat kerja rapi dan wangi. Lebih oke kalau pakai seragam dan sepatu pantofel, aduh ganteng pisan. Berangkat pagi, pulang sore, libur Sabtu Minggu, dan gajian di awal bulan. Hmmm, pada nggak tahu aja jadi budak korporat sekarang kerjanya kayak kuda pecut.

Anggapan tersebut memunculkan stigma samar berkaitan dengan wiraswasta, pedagang, dan semacamnya bahwa mereka adalah kaum pekerja yang rentan gagal, apalagi untuk mereka yang minim modal. Pedagang dianggap sebagai orang yang tidak punya pilihan lain untuk cari uang. Mereka dianggap tidak memenuhi standar atau kriteria tertentu yang diterapkan kantor-kantor korporat dan lembaga negara. Padahal kan nggak begitu konsepnya.

Iklan

Makanya, resign dari pekerjaan dan membangun usaha di negara ini selalu dianggap sebagai sebuah keputusan berani. Seolah-olah setelah tak lagi menyandang status karyawan, penghasilannya bakal nggak tentu, dan ia menghadapi risiko yang benar-benar besar. Sayangnya, resign dari pekerjaan buat membangun usaha yang bakal berkembang adalah tanda-tanda kedewasaan dan kesadaran akan potensi cuan di tempat lain.

Intinya saya tetap heran sama yang menganggap pedagang itu profesi “kecil-kecilan”. Mereka punya potensi berkembang jauh lebih besar ketimbang saya yang cuma duduk dan mikir, “Nulis apa ya aku hari ini?”

BACA JUGA Membaca Karakter Pedagang saat Nggak Punya Uang Kembalian dan artikel AJENG RIZKA lainnya.

Terakhir diperbarui pada 22 September 2021 oleh

Tags: berdagangbudak korporatpedagangpekerjaanUMKMwiraswasta
Ajeng Rizka

Ajeng Rizka

Penulis, penonton, dan buruh media.

Artikel Terkait

Nekat resign dari BUMN karena nggak betah kerja di Jakarta. MOJOK.CO
Liputan

Nekat Resign dari BUMN karena Lelah Mental di Jakarta, Pilih “Pungut Sampah” di Kampung agar Hidup Lebih Bermakna

10 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO
Ekonomi

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
WhatsApp dan UKMINDONESIA.ID gelar pelatihan digital untuk UMKM Jogja MOJOK.CO
Kilas

Pelatihan WhatsApp untuk Pelaku UMKM di Jogja, Adopsi Digital buat Hadapi Beragam Tantangan Usaha  

20 November 2025
Anggota LKS SAPADIFA di Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, Jogja belajar menganyam bambu. MOJOK.CO
Liputan

Penyandang Disabilitas di Bantul Manfaatkan Pohon Bambu yang Melimpah di Desanya Jadi Produk Bernilai Jual Tinggi

31 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Hari ibu adalah perayaan untuk seluruh perempuan. MOJOK.CO

Ironi Perayaan Hari Ibu di Tengah Bencana Aceh dan Sumatra, Perempuan Makin Terabaikan dan Tak Berdaya

24 Desember 2025
elang jawa.MOJOK.CO

Melacak Gerak Sayap Predator Terlangka di Jawa Lewat Genggaman Ponsel

23 Desember 2025
Olahraga panahan di MLARC Kudus. MOJOK.CO

Regenerasi Atlet Panahan Terancam Mandek di Ajang Internasional, Legenda “3 Srikandi” Yakin Masih Ada Harapan

23 Desember 2025
Warteg Singapura vs Indonesia: Perbedaan Kualitas Langit-Bumi MOJOK.CO

Membandingkan Warteg di Singapura, Negara Tersehat di Dunia, dengan Indonesia: Perbedaan Kualitasnya Bagai Langit dan Bumi

22 Desember 2025
Wisata Pantai Bama di Taman Nasional Baluran, Situbondo: Indah tapi waswas gangguan monyet MOJOK.CO

Pantai Bama Baluran Situbondo: Indah tapi Waswas Gangguan Monyet Nakal, Itu karena Ulah Wisatawan Sendiri

25 Desember 2025
Pasar Kolaboraya tak sekadar kenduri sehari-dua hari. Tapi pandora, lentera, dan pesan krusial tanpa ndakik-ndakik MOJOK.CO

Kolaboraya Bukan Sekadar Kenduri: Ia Pandora, Lentera, dan Pesan Krusial Warga Sipil Tanpa Ndakik-ndakik

23 Desember 2025

Video Terbaru

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

23 Desember 2025
Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

20 Desember 2025
SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.