Tulisan Arsi Imam Baihaqi hari ini tentang bapaknya yang jago judi togel mau tak mau ikut melemparkan ingatan saya pada bapak. Bapak saya, seperti halnya bapaknya Arsi, juga (setidaknya pernah menjadi) seorang maniak togel. Bedanya, bapak saya tak jago-jago amat, atau, ehm… lebih tepatnya, tak punya peruntungan yang bagus.
Bapak saya pernah berada dalam fase di mana ia terus-menerus membeli kupon Kuda Lari (salah satu brand togel pilih tanding pada lintas zaman yang masih tetap lestari sampai sekarang), dan terus-menerus pula ia blong. Kalah. Nomor yang ia beli tidak pernah tembus. Jangankan tembus, sekadar nyaris pun hampir tak pernah.
Pada titik itulah saya sadar betapa bapak saya memanglah pria yang punya semangat dan daya juang yang tinggi. Pada dunia yang keras saja dia tak pernah menyerah, apalagi hanya kepada kupon yang blong.
Apakah ini jenis kemalangan tersendiri? Saya pikir iya. Ehm… Tadinya saya tak pernah menganggapnya demikian, namun sebuah peristiwa meyakinkan saya.
Saya tak tahu persis kapan tahunnya. Namun yang jelas, saat itu, bapak menjalani laku ritual togel yang begitu aneh dan unik, yakni mengunci satu nomor yang ia yakin bakal membawa peruntungan baik baginya. Nomor yang ia kunci waktu itu adaah 212.
Jadi setiap hari, bapak saya selalu membeli satu kupon togel dan memasang nomor 212. Hal tersebut ia lakukan selama berbulan-bulan lamanya. Dasar memang tak berbakat menang, walaupun sudah dibeli terus-menerus setiap hari selama berbulan-bulan, tapi nomor 212 itu ternyata tak kunjung keluar.
Bapak tentu saja tak menyerah. Ia terus bertahan dengan kuncian nomornya itu. Situasi yang sebenarnya membuat saya agak bimbang. Antara harus malu atau malah harus bangga.
Titik puncak sial bapak terjadi saat ia mendapatkan pekerjaan yang mengharuskan ia merantau ke Lampung. Perjalanan menggunakan bus dan kapal itu butuh waktu seharian. Perjalanan itulah yang membuat bapak harus menghentikan sementara laku ritual mengunci nomor 212 yang selama ini sudah ia lakukan selama berbulan-bulan itu. Maklum, sebab tak mungkin ada bandar togel yang membuka lapaknya di bus atau di kapal.
Dan inilah yang terjadi. Nomor 212 ternyata keluar. Ya, keluar saat bapak berada dalam perjalanan ke Lampung dan tak sempat membeli kupon togelnya.
Mungkin itulah momen yang membuat bapak paham bahwa di dunia ini ada yang namanya konsep “Sakit tapi tak berdarah”.
Sejak saat itulah, bapak sadar bahwa ia memang tak berjodoh dengan togel. Hal yang seharusnya saya syukuri sebab setidaknya, makanan yang saya makan merupakan makanan yang dibeli dengan uang halal.
Bertahun-tahun lamanya, bapak hampir tak pernah lagi memasang togel. Ia tobat. Insaf.
Hingga kemudian, kemarin, saya pulang ke rumah di Magelang. Saat saya mencari handuk di kamar bapak, saya menemukan satu kertas berukuran kecil terselip di ujung kasur.
Saya mengambil kertas tersebut, mengamatinya sejenak. Bibir saya melebar, saya merenges kecil. Setelah sekian tahun, bapak akhirnya kembali ingin menguji semangat juangnya lagi.
Agaknya ia memang sedang belajar untuk mengamalkan apa yang pernah dikatakan oleh Sutan Syahrir: “Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan.”