MOJOK.CO – Apakah betul, nikah itu menyenangkan seperti yang dikatakan orang-orang yang telah menikah?
Setiap kali saya berkumpul dengan teman-teman saya—khususnya ketika kondangan—dan bertemu dengan teman saya yang sudah menautkan hati dalam ikatan pernikahan, kesan yang selalu mereka tampilkan kepada saya: menikah sungguh menyenangkan adanya. Membuat si istri terlihat lebih sumringah dan sang suami memiliki tampilan yang lebih terawat. Selamat tinggal semua kegalauan yang melanda hamba-hamba miskin cinta dan kasih sayang.
Biasanya, teman-teman saya yang sudah menikah tersebut, akan mengobrolkan tentang lika-liku pernikahan—yang tentu saja mengesankan kebahagiaan macam Keluarga Cendana Cemara. Membuat saya, diam-diam menjadi outgroup dalam pergaulan tipis-tipis tersebut. Sebetulnya, saya berniat menyambung. Sayangnya, saya sudah berpikir keras untuk berbasa-basi pun, akhirnya tetap nggak kepikiran apa-apa. Saya betul-betul nggak nyambung dengan pembicaraan mereka yang terlihat sangat seru itu.
Dalam kondisi seperti ini, saya memilih untuk melipir ngambil es krim—lagi. Terus fokus dalam mengunyah, membuat saya tidak harus mengatakan apa-apa. Setidaknya, saya tak terlihat nganggur dan punya aktivitas nyendok-nyendoki es krim.
Bla, bla, bla. Akhirnya kalimat menyebalkan itu datang juga, “Jadi, kapan kamu nyusul kami? Jangan lama-lama lah. FYI, enak loh, ada partner halal untuk teman berdiskusi,” dengan senyum menyeringai, tatapan sok meyakinkan, yang sebetulnya…
…meremehkan. Tatapan yang seolah menunjukkan bahwa dengan menikah, mereka memiliki status sosial yang lebih tinggi. Mereka berhasil naik kelas. Hal ini tidak mengherankan, pasalnya masyarakat pun menganggap seseorang yang telah menikah adalah sosok-sosok yang lebih dewasa, lebih berani, lebih mapan secara ekonomi dan pekerjaan, dan punya tabungan yang mencukupi.
Kami yang belum menikah, dianggap berada di kelas bawah yang halal-halal saja untuk ditindas dengan guyonan ‘lucu’, yang seolah hanya bakal dipahami oleh orang-orang yang sudah menikah saja. Ketahuilah, Anda-anda yang telah menikah, berada di tengah kondisi tersebut, sungguh sangat memuakkan dan terasa sangat tidak nyaman.
Belum lagi komentar di sosial media—Instagram lebih tepatnya, yang sering kali menyematkan kata ‘laku’ pada seseorang yang—akhirnya—memutuskan untuk menikah dalam waktu dekat. Tapi, kenapa kok, pakai ‘laku’ sih? Macam orang-orang yang belum menikah ini dagangan aja!!11!!
Kenapa nggak menyematkan kata ‘tertaut’, gitu? Toh keputusan menikah itu kan bukan perkara jual beli—di mana hanya salah satu pihak saja yang punya kuasa. Ia adalah kuasa kedua belah pihak untuk saling menautkan hatinya. Halah.
Yang mengherankan, pernyataan tentang bahagianya menikah, selalu saya dapatkan dari teman-teman saya yang—setidaknya baru 2 tahun menikah. Sebetulnya, postingan di Instagram mereka saja sudah cukup bikin saya ngiler. Jadi, nggak usahlah mereka bercerita hingga berbusa-busa tentang betapa bahagianya mereka. Pernyataan yang diungkapkan berulang-ulang, malah membuat saya tidak yakin: itu betul-betul dirasakan.
Ataukah mengulang-ulang adalah cara terbaik untuk meyakinkan diri sendiri bahwa hidupnya memang betul-betul baik-baik saja?
Hal ini berbeda dengan yang disampaikan oleh teman saya—tepatnya senior—yang sudah menikah sekitar 4-5 tahunan. Mereka sih, justru mengingatkan saya untuk nggak cepat-cepat menikah. Apalagi terburu-buru dan grusa-grusu untuk segera menambatkan hati. Katanya, menikah punya konsekuensi lebih besar, bukan sekadar kebahagiaan yang tampak dalam postingan Instastory mereka.
Katanya, seharusnya saya justru berbahagia. Pasalnya pertanyaan yang diutarakan kepada saya, paling pol cuma, “Kapan nikah?”
Sementara mereka yang telah menikah, harus menghadapi pertanyaan berderet-deret lainnya, yang tidak ada habisnya. Semacam,
“Kok nggak hamil-hamil? Mandul, ya?” atau “Kok cepat banget udah lahiran? Seks sebelum nikah, ya?”
“Kapan beli rumah? Apa ya enak, terus-terusan menumpang orang tua?”
“Kapan beli mobil? Apa ya enak, boncengan bertiga, gitu? Kasihan, loh, anaknya.”
“Kapan nambah momongan, nih? Biar si kakak punya temen main di rumah.”
“Istrinya kerja? Kok nggak di rumah aja ngurus suami dan anak?” atau “Istrinya S2, kan? Kalau jadi ibu rumah tangga, nganggur dong, ijazahnya?”
“Kok anaknya minum susu formula? Memang asinya nggak keluar?”
“Kok bapaknya nggak pernah ikut ronda?” atau “Kok ibunya nggak pernah ikut arisan dan pengajian?”
Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tidak perlu saya teruskan. Tidak ada pertanyaan yang cukup untuk memuaskan hati orang di luar kita dengan alibi perhatian tersebut. Dengan kondisi beratnya tanggung jawab ketika telah berumah tangga, saya jadi curiga. Jangan-jangan, ajakan orang yang baru menikah dan meminta si lajang untuk segera menikah, diam-diam adalah…
…jebakan batman???!!!!
Iya, pasalnya mereka-mereka ini, tidak ingin menderita sendiri, sehingga memutuskan untuk ngajak-ngajak orang lain yang sebetulnya sudah terlihat bahagia dan merasa cukup dengan hidupnya. Jadi, pertanyaan tersebut dilontarkan untuk memperdaya konsep bahagia yang dimiliki masing-masing orang dan memaksa orang lain berbahagia dengan cara mereka.
Dengan melihat realita di balik pertanyaan, ‘kapan nikah?’, seharusnya kita—kaum-kaum tertindas hanya karena masih lajang—bersikap maklum. Setidaknya kita hargai cara yang mereka lakukan untuk menunjukkan diri sedang baik-baik saja untuk menutupi betapa beratnya tanggung jawab yang sedang mereka pikul.
Jadi, lebih baik tersenyum saja jika mendapat pertanyaan semacam itu. Kalem saja. Tidak perlu marah apalagi dendam dan mendoakan yang aneh-aneh. Paling tidak, dengan mendengarkan pertanyaan tersebut tanpa mengeluarkan emosi negatif, kita dapat membantu mereka yang katanya sudah naik kelas itu, untuk terlihat seolah-olah lebih bahagia dibandingkan hidup kita yang masih sendiri.
Uuuh, sungguh luhur sekali perilaku kita ini~