MOJOK.CO – Guru yang melakukan pelecehan terhadap siswa di SMP Wonogiri, pernah melakukan hal serupa di tempat mengajar sebelumnya. Lantas, apakah sekadar ‘hukuman mutasi’ dianggap dapat menyelesaikan masalah?
Ada sebuah kejadian yang jarang terjadi, yakni siswa SMP di Wonogiri dengan sangat lantang dan berani, mereka mendemo guru Bahasa Inggrisnya sendiri. Aksi demo ini dilakukan karena guru tersebut diduga telah melakukan pelecehan seksual kepada teman perempuan mereka, ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. Kejadian itu membuat mereka marah dan tidak terima. Hingga akhirnya mendemo sang guru pada Sabtu (26/01) lalu. Mereka meminta guru berinisial HM tersebut, tak mengajar lagi di sekolah tersebut. Sampai-sampai, polisi datang dan meminta siswa untuk tenang.
Namun ternyata, meski sudah didemo, guru tersebut masih terlihat mengikuti upacara pada haru Senin (28/01). Akhirnya, karena merasa geram, para siswa SMPN 1 Slogohimo Wonogiri bersama perwakilan wali murid, mendemo kembali, HM segera diamankan oleh pihak kepolisian untuk dilakukan penyelidikan.
Seperti yang diulas oleh Vice, aksi solidaritas pelajar SMP ini perlu diapresiasi. Pasalnya, tidak banyak yang memiliki keberanian untuk menyuarakan pelecehan seksual yang terjadi di lingkungannya. Apalagi jika hal tersebut sudah membawa-bawa nama baik instansi. Lha kalau ini malah instansi pendidikan, je. Salah satu instansi yang disebut-sebut bertanggung jawab untuk menjaga moral generasi masa depan bangsanya. Tapi kalau pejabat di instasinya korupsi, ya nggak apa-apa.
Dalam aksi tersebut, tidak hanya siswa perempuan saja yang bersuara. Namun, di banyak foto yang beredar, justru banyak siswa laki-laki yang ikut serta menyuarakan kegeramannya atas apa yang terjadi pada teman mereka sendiri. Dengan membawa kertas asturo warna-warni, tuntutan tersebut diungkapkan. ‘Baiknya’ lagi, mereka tidak dengan terang-terangan menyebut nama sang guru. Cukup dengan inisial HM.
Hal ini tentu menjadi sebuah pelajaran yang diterima secara nyata oleh para siswa, bahwa: kita harus menghargai tubuh orang lain seperti kita menghargai tubuh kita sendiri. Bukan hanya karena kita merasa memiliki kuasa atas orang lain, lantas kita bisa bertindak seenaknya.
Aksi para siswa SMP ini juga menjadi sebuah angin segar bagi kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi selama ini. Ternyata, masih ada sebuah harapan, kita bisa memiliki generasi yang memahami bahwa tidak sepantasnya perilaku semacam ini dilakukan dan dibiarkan jika terjadi di sekitar kita. Semoga sikap gentleman semacam ini bisa terus dipertahankan sampai gede ya! Semoga keberanian untuk menyuarakan tersebut terus menyala dan semoga kita semua pun dapat meneladaninya.
Meski yang disayangkan, masih saja ada yang memberikan komentar nyinyir atas aksi solidaritas yang dilakukan tersebut—khususnya yang dilakukan oleh para siswa laki-laki. Katanya, mereka—para siswa laki-laki—ikut demo tersebut hanya karena mereka merasa iri hati terhadap gurunya. Soalnya, mereka nggak dikasih kesempatan buat ‘remas-remas’, juga. Omaigat, excuse me, netizen yang budiman? Beneran nih, wujud apresiasinya semacam ini??!11!!!1
Ternyata, apa yang dilakukan oleh HM ini, bukanlah yang pertama kalinya. Usut punya usut, dia pun pernah melakukan perilaku serupa di SMPN Puhpelem Wonogiri, tempat ia mengajar sebelumnya. Kasus tersebut sempat ditangani oleh pihak kepolisian dan Dinas Pendidikan setempat, namun dikarenakan tidak ada korban yang berani melapor ke pihak kepolisian, akhirnya kasus tersebut tidak dilanjutkan dan Dinas Pendidikan Wonogiri memindahtugaskan HM ke SMPN 1 Slogohimo dengan harapan bisa jera.
Sebetulnya, awal kedatangan HM ke SMPN 1 Slogohimo, ia sudah ditolak oleh para guru. Pasalnya, mereka takut HM akan melakukan hal yang serupa di sekolah yang baru. Betul apa yang dikhawatirkan, meski dia tahu sedang dalam pengawasan dan baru enam bulan mengajar…
…ia melakukan pelecehan seksual lagi di tempat baru. Di dalam kelas, di depan siswa-siswanya yang lain, di saat pelajaran tengah berlangsung. WTF!!!11!11
Padahal dia sedang dalam keadaan diwanti-wanti oleh pihak sekolah, loh. Eh ternyata nggak jera juga dan masih nggak bisa mengontrol hasrat seksualnya. Sepertinya, Dinas Pendidikan memang seolah menyepelekan apa yang HM lakukan sebelumnya. Seakan-akan dengan dimutasi semua permasalahan selesai. Semua konflik yang terjadi antara pelaku dan korban menjadi selesai dengan sekadar menjauhkan keduanya. Padahal, pertama, korban belum tentu dapat mengatasi traumanya. Kedua, mutasi bukanlah hukuman yang bisa membuat pelaku jera. Mutasi nyatanya, justru berpotensi memunculkan perilaku itu lagi.
Saya nggak paham, kok bisa-bisanya HM melakukan hal yang serupa bahkan ketika masih dalam tahap pengawasan? Ini HM-nya yang goblok atau memang hukumannya yang ramashook??!11!!!!
Lagipula, dilihat dari mana pun, mutasi itu bukan hukuman. Ingat, mutasi ini berbeda dengan penurunan pangkat atau jabatan. Untuk mutasi, jika kita mengacu pada aturan PNS, ya semua PNS dapat dimutasi dalam bertugas. Intinya, pangkatnya tetap, jabatannya tetap, cuma tempat kerjanya saja yang pindah. Dalam mutasi, sebetulnya tidak ada semangat sebagai sanksi atau mengefek jerakan pelaku supaya tidak berbuat serupa.
Sementara penurunan pangkat atau jabatan adalah salah satu bentuk hukuman disiplin berat PNS. Selain pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tapi bukan atas permintaannya sendiri, serta pemberhentian secara tidak hormat.
Jika seperti ini, apakah kita masih akan menyebut bahwa mutasi HM ke SMPN 1 Slogohimo adalah bentuk hukuman supaya ia merasa jera? Oooh, saya rasa tidak. Mutasi ini hanyalah sekadar cuci tangan dari kasus pelecehan seksual yang terjadi sebelumnya, supaya seolah-olah semua itu memang sudah selesai.
Kabar terakhir nih, katanya jika HM memang terbukti melakukan pelecehan seksual—untuk kedua kalinya—Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Wonogiri akan memberhentikannya sebagai guru. Lalu, ia akan ditarik ke Disdikbud untuk bertugas menjadi staf biasa.
Lantas, apakah dengan menariknya sebagai staf biasa, bisa dianggap sebagai hukuman atas pelecehan seksual kedua yang ketahuan, sih dilakukan oleh HM? Apakah hal ini betul-betul dapat membuatnya jera? Lalu, bagaimana jika ternyata dia melakukan hal serupa lagi di tempat kerja selanjutnya? Apakah dengan sekadar memindahtugaskan pelaku—membuat pelaku dan korban berjarak, betul-betul membuat masalah menjadi beres dan korban akan baik-baik saja seiring waktu? Tidakkah menyadari tentang potensi trauma yang akan dialami korban—yang bisa terjadi sepanjang usianya?!