MOJOK.CO – Partai Demokrat (PD) memberikan izin kader untuk mendukung Jokowi dan Ma’ruf Amin ketika partai menyatakan akan mendukung Prabowo dan Sandiaga Uno.
Politik adalah dunia yang lentur. Pagi berstatus lawan, malam bisa menjadi kawan. Di satu sisi, politik bisa menjadi benda yang mudah ditebak. Namun, di sisi yang berbeda, politik menyimpan misterinya sendiri. Pilpres 2019, bahkan ketika masa kampanye resmi belum dimulai, kelenturan itu sudah terasa. Tiada kawan dan lawan abadi di dunia ini, yang langgeng adalah negosiasi.
Minggu ini, Partai Demokrat (PD) tengah sibuk merespons keganjilan Roy Suryo yang dianggap menggondol tiga ribu lebih aset Kemenpora. Saking gentingnya masalah ini, Ketum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sampai mengultimatum mantan Kemenpora itu untuk mengembalikan aset dalam waktu satu minggu. Kamu heran? Saya apalagi.
Urusan kader ini memang tengah menjadi konsentrasi penuh bagi PD minggu ini. Selain Roy Suryo yang menjadi bahan meme paling panas selain film The Nun, PD juga sedang memikirkan sikap beberapa kader mereka yang “tidak searah” dengan laju partai. Beberapa kader memilih mendukung Jokowi dan Ma’ruf Amin ketika partai sendiri mendukung Prabowo dan Sandiaga Uno. Tidak ingin kehilangan sokongan kader (dan suara di daerah), PD tengah “bernegosiasi”.
Nama pertama yang menyeruak adalah Gubernur Papua, Lukas Enembe. Sang gubernur (dan banyak kader PD di Papua) lewat rakornas, lebih ingin mendukung Jokowi dan Ma’ruf Amin ketimbang duet Prabowo dan Sandiaga Uno. Suara di Papua cukup penting bagi PD. Oleh sebab itu, dari pusat partai sendiri sudah menyatakan akan bersiasat.
Ferdinand Hutahaean, Kadiv Advokasi Hukum PD, memberikan penjelasan. “Justru kami akan carikan formulanya supaya tidak disebut dua kaki ya. Tapi kepentingan partai, caleg-calegnya di daerah itu kan harus di ini ya mungkin kita akan meminta kader kami untuk tidak usah masuk secara resmi di tim pemenangan. Mungkin itu salah satu cara kami nanti.”
Menarik untuk mencermati bagian “supaya tidak disebut dua kaki”. Kalimat ini bisa diterjemahkan bahwa elite PD sendiri sudah menyadari bahwa anggapan politik dua kaki akan disematkan banyak orang ke pundak mereka ketika ada kader yang tidak sejalan dengan partai dan diberi semacam dispensasi.
Sikap PD ini bisa dimaklumi lantaran tidak satu kader penting saja yang “tidak sejalan dengan partai” soal dukungan ke capres dan cawapres. Kader-kader Partai Demokrat di Sulawesi Utara juga satu suara dengan kader di Papua untuk mendukung Jokowi dan Ma’ruf Amin. Untuk Sulawesi Utara, partai juga siap bernegosiasi.
Daripada kehilangan suara di daerah-daerah dengan kantong suara yang tidak kecil, kembali, Ferdinand menyampaikan partai akan memberikan dispensasi. “Kami akan tanya kader kami di bawah dulu, baru kami akan membuat keputusan ini,” tegas Ferdinand.
Kader penting ketiga PD yang menyatakan mendukung Jokowo dan Ma’ruf Amin adalah eks Wagub Jawa Barat, Deddy Mizwar. Bahkan, politikus yang juga aktor senior tersebut sudah resmi menjadi juru bicara tim pemenangan Jokowi dan Ma’ruf Amin. PD tidak bisa bersikap tegas melarang karena Deddy Mizwar sendiri sudah kadung menegaskan lebih dulu bahwa dirinya tetap akan bekerja keras memenangkan Partai Demokrat di Jawa Barat. Ini janji penting.
Kembali, partai berlambar merci ini hanya bisa bersiasat supaya bisa mengakomodir kepentingan partai, kader, caleg, dan masa depan mereka sendiri. Tidak menyerang secara frontal pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin lewat palarangan kader untuk mendukung adalah pilihan yang masuk akal. Politik memang lentur, dan PD menunjukkannya dengan baik.
Hal kedua yang juga menarik adalah ketika Ferdinand juga menegaskan bahwa PD akan terus mengingatkan bahwa kader tidak boleh “menanggalkan dukungan” untuk Prabowo dan Sandiaga Uno. Jadi, intinya, PD ini mau bagaimana? Kader boleh mendukung Jokowi dan Ma’ruf Amin, namun di sisi lain juga tidak boleh tidak mendukung Prabowo dan Sandiaga Uno. Pusing? Kalau tidak pusing, bukan dunia politik namanya.
Apakah Partai Demokrat bermain dua kaki menjelang Pilpres 2019? Atau, kita bisa menyebutnya sebagai “politik lentur” saja supaya lebih halus? Apapun namanya, yang pasti negosiasi adalah seni tersendiri. Untuk politik, negosiasi harus cantik.