MOJOK.CO – Berbasa-basi sama driver transportasi online saat kita menggunakan jasa mereka terkadang memang bikin malas. Apakah ini semata-mata hanya karena “perbedaan kelas”?
“Berangkat ke kantor ya, Mbak?”
“Masih kuliah atau kerja, Mbak?”
Beberapa template pertanyaan yang sering ditanyakan driver transportasi online saat saya menumpang kendaraannya ke tempat yang saya tuju.
Terkadang, saya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Terkadang juga tidak, atau lebih tepatnya pura-pura tidak mendengar. Ada yang saya jawab dengan antusias, ada yang sekenanya, ada pula yang saya jawab dengan singkat dan dingin. Sebuah cara yang saya yakini paling ampuh untuk sekadar menunjukkan bahwa saya sedang tidak ingin diganggu. Saya ingin berdiam diri selama perjalanan ini dengan pikiran-pikiran saya.
Sikap dingin ini bukan sekadar persoalan “kelas”. Akan tetapi, betul-betul keinginan untuk diam saja tanpa perlu berbasa-basi dengan orang asing—yang saya yakin tidak hanya saya rasakan sendiri. Saya ingin diam bukan karena saya merasa sebagai “bos” sebab telah membayar jasa mereka. Percayalah, saya diam karena saya memang hanya ingin diam saja. Diam untuk merenung, melamun, dan memikirkan kembali apa yang telah terjadi atau rencana-rencana yang akan saya lakukan nanti. Semisal, makan mie ayam gerobak biru atau yang gerobak coklat saja?
Mungkin kemudahan teknologi saat ini membuat saya lupa. Bahwa mereka bukan mesin. Para driver transportasi online ini juga manusia yang memang caranya dipertemukan dengan saya melalui “tik-tok” teknologi. Ya, harus diakui saya sering kali lupa.
Saya lupa bahwa mereka juga manusia yang sama-sama punya kebutuhan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Manusia yang butuh didengar ceritanya. Manusia yang butuh mendengar cerita orang lain untuk menambah wawasannya. Mereka bukan sekadar mesin yang bisa melakukan segala sesuatu secara otomatis. Mereka juga punya akal, perasaan, dan keinginan untuk diperlakukan sebagaimana kita ingin diperlakukan.
Lantas apa yang terjadi kalau para driver transportasi online ini bertemu dengan banyak klien yang dingin macam saya? Mereka bukan hanya tidak berani berbasa-basi dengan pertanyaan yang harus diakui sering kali terasa sok akrab. Akan tetapi, para driver ini bahkan tidak berani bertanya tepatnya titik yang ingin saya tuju.
Sebaliknya, mereka justru rela ribet-ribet membuka map hanya untuk memastikan apakah kendaraannya sudah berhenti di titik yang saya inginkan? Meski kalau dipikir-pikir, ketika mereka tahu tempat yang saya tuju ini sering saya kunjungi, mereka tinggal menanyakan ke saya titik tepatnya. Akan tetapi, demi rating yang stabil, risiko bertanya-tanya semacam itu lebih baik diminimalisir. Biar nggak dianggap menganggu klien, biar dianggap sebagai driver sangat profesional, dsb, dsb. Padahal, itu sungguh ekspektasi yang berlebihan.
Saya misalnya, pernah menggunakan jasa taksi online menuju travel langganan. Berangkat di waktu yang mepet, pesan taksi online juga mepet-mepet. Eh, tak dinyana ternyata jalanan saat itu macetnya naudzubillah. Jelas, perasaan saya jadi tidak baik-baik saja. Saya pengin segera sampai tempat travel supaya nggak ketinggalan, tapi mau diusahakan macam apa pun kendaraan yang saya tumpangi ini hanya mentok sanggup melaju di angka 30 km/jam.
Rasa bete saya kali itu berimbas ke driver yang tanya, “Biasanya lewat mana, Kak?” dan hanya mendapat jawaban, “Lewat mana aja, Pak yang penting nggak macet dan cepet sampai.”
Ya, sebuah jawaban yang sama sekali nggak menjawab apa-apa. Seolah-olah driver ini kalau tidak diingatkan akan mengajak saya masuk ke jalur kemacetan supaya lebih lama bersama. Padahal mah. Kalau bisa memilih, siapa juga yang mau berlama-lama berjibaku dengan jalanan sumpek penuh asap?
Saya kesal karena kemungkinan besar saya akan tertinggal. Lantas saya meletakkan tanggung jawab besar pada driver supaya bisa menemukan jalan yang paling efisien. Padahal dari awal saya yang memang bersiap terlalu lama dan berangkat dengan tergesa-gesa.
Ah, memang dasar saya yang dingin dan egois. Siapa tahu kalau sebetulnya kami sama-sama lelah, sama-sama letih, dan justru butuh mengobrol sebagai orang asing atau sebagai sesama manusia untuk saling mengusap peluh dan menguatkan? Siapa tahu, justru dari sana banyak informasi yang didapat, ada jaringan pertemanan yang diperluas, dan bisa jadi tabungan rezeki bagi kami di suatu saat?
Namun lagi-lagi, cara bertemu melalui sebuah aplikasi terkadang membuat kita lupa bahwa para driver transportasi online ini juga manusia. Mereka bukan tool yang bisa kita “atur” semau kita. Bukan mesin yang bisa disuruh-suruh sedemikian rupa hanya karena kita punya kewenangan untuk “menilainya”.
Tapi, yah, kadang masalahnya memang cuma satu sih: mau apa pun kalimat tanya dari driver, yang terdengar di kuping kita cuma “Ahksgwgwhwyshwgsy?” Terutama kalau kita numpangnya ojek online.
BACA JUGA Simalakama Driver Gojek Sebagai Mitra Perusahaan dan artikel menarik lainnya di POJOKAN.