Laptop Asus yang berat dan bongsor
Salah satu alasan saya jatuh cinta kepada MacBook Air adalah bentuknya yang simpel dan ringan. Maklum, setelah lama pakai Acer, saya ingin laptop yang bobotnya lebih ringan. Namun, seperti yang saya ungkapkan di atas, akhirnya saya memilih laptop Asus.
Jadi, laptop Asus yang saya beli dengan harga Rp5 juta itu punya bobot 2,1 kilogram. Awalnya sih saya nggak terlalu mempermasalahkan bobot itu karena terbiasa pakai Acer yang sama-sama berat. Namun, seiring waktu, salah satunya ketika saya mulai aktif penelitian lapangan, bobot laptop ternyata se-menyiksa itu.
Penelitian menuntut saya lebih aktif di lapangan. Untuk menyingkat waktu selama proses wawancara, saya selalu membawa laptop Asus itu. Jadi, setelah wawancara, saya mencari tempat yang enak untuk menuliskannya. Selama hampir satu bulan di lapangan dan 10 hari menyusun laporan, pundak saya tersiksa betul.
Sudah berat, laptop Asus itu jadi terlihat makin “menyebalkan” karena tingkah saya sendiri. Sebetulnya saya punya satu paket alat membersihkan laptop. Namun, karena malas dan selalu kelelahan ketika sampai rumah, kotoran di laptop jadi menumpuk. Laptop itu terlihat jadi lebih kumuh.
Sampai di sini saya sering berpikir kenapa nggak “nekat” saja beli MacBook Air. Selain ringan sehingga mudah dibawa penelitian, ternyata MacBook Air lebih mudah dibersihkan ketimbang Asus. Ini sejauh pengalaman saya, sih. Selain itu, honor penelitian bisa saya pakai untuk menutup kredit MacBook. Ah, menyesal sudah.
Mulai memakai MacBook Air di 2021
Setelah memakai laptop Asus selama 6 tahun, akhirnya saya harus mengucapkan selamat tinggal. Saya harus mengganti laptop karena sambungan antara bodi dan layar Asus saya tiba-tiba “semplok”. Sudah begitu, layarnya jadi semakin buram gara-gara saya malas membersihkan. Maaf ya, Asus.
Akhirnya, di 2021 akhir, saya membeli MacBook Air 2017 dengan harga Rp10 juta. Tentu saja saya membeli yang bekas.
Perbedaan antara laptop Asus dengan MacBook Air sangat terasa tentu saja. Misalnya, dari bobot saja sudah sangat jomplang. Kalau Asus di 2,1 kilogram, MacBook Air cuma 1,3 kilogram. Mungkin saat itu pundak saya menyanyi gembira karena nggak lagi harus memanggul laptop yang berat.
Saya memang memakai laptop bekas, tapi MacBook Air jauh lebih tangkas untuk saya ajak multitasking. Beda dengan laptop Asus yang ketika menginjak di tahun keempat, sudah ngos-ngosan kalau saya buka banyak tab di Google Chrome.
Satu hal lain yang membuat saya lebih mobile adalah daya tahan baterai. Saya tidak begitu tahu soal kapasitas atau kekuatan baterai laptop. Perbandingannya, baterai Asus lebih cepat jatuh di pemakaian yang cukup intens. Sementara itu, untuk MacBook Air, saya hanya satu kali menambah daya dalam satu hari kerja.
Ringkih tapi dapat diandalkan
Iya, sekali lagi, tulisan ini adalah preferensi pribadi berdasarkan pengalaman. Tentu banyak laptop yang oke selain MacBook Air atau Pro di luar sana. Namun bagi saya, secara kebetulan, berjodoh dengan MacBook Air.
Betul sekali, MacBook memang ringkih. Mungkin sama seperti produk Apple dalam kategori hape. Makanya, karena tahu laptop ini ringkih, saya jadi lebih hati-hati memperlakukannya. Memang masih “kumuh” juga, sama seperti laptop Asus saya dulu, tapi lebih mendingan.
Makanya, sekarang saya menyesal sama MacBook Air. Menyesal karena kenapa nggak dari dulu saya lebih bernyali untuk membelinya. Mungkin, jika lebih berani menutup mata sama laptop Asus itu, saya bisa lebih produktif.
Namun, pada akhirnya, penyesalan tidak ada gunanya. Laptop Asus yang bongsor dan berat itu tetap berjasa. Namun kini, saya sudah kadung cinta sama MacBook Air. Mau bagaimana lagi.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Penyesalan Saya Setelah Menggunakan MacBook Pro M1 dan iPhone 6s dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN.












