MOJOK.CO – Nggak semua orang yang lagi window shopping cuma lihat-lihat dan nggak beli karena bokek. Ini hak setiap orang buat sekadar “mengamati” display di toko, termasuk di IKEA.
Saat ada yang mengajak jalan-jalan ke mal padahal saya sedang bokek, saya adalah orang yang otomatis bakal menolak. Buat apa jalan-jalan dan pengin beli doang, bikin perkara aja. Begitu pikir saya dulu. Setelah seorang kawan saya menjelaskan, “Nggak ada salahnya window shopping buat lihat baju-baju bagus loh. Pemerhati fesyen pasti pernah window shopping.” Keimanan saya buat nggak ikut nge-mal pun goyah. Sejak saat itu saya memaklumi perilaku window shopping.
Singkatnya, window shopping adalah perilaku jalan-jalan doang di toko atau tempat perbelanjaan. Tapi, kalau kamu ke Indoapril buat cari es krim Hula-hula tapi kebetulan habis itu namanya bukan window shopping, ya, itu namanya nggak jadi beli. Perilaku ini memang perlu dibarengi niatan untuk “lihat-lihat”. Sebelas dua belas sama piknik melihat pemandangan indah gitu lah, bedanya yang kita lihat kali ini adalah barang yang bukan milik kita.
Banyak orang yang sebenarnya skeptis sama kebiasaan belanja ini. Beberapa karyawan toko baju juga bete setengah mati sama customer yang keliling gerai, pegang-pegang baju, dan banyak tanya, tapi ujungnya nggak beli apa-apa. Menyebalkan memang. Dan, sayangnya perilaku macam itu sah-sah saja dilakukan. Membeli barang bukan kewajiban, nggak jadi beli setelah obrak-abrik toko hanya bisa dibilang keliru secara etika. Meskipun tetap saja, kita nggak bisa menyalahkan model customer yang begini. Lha wong yang dia cari memang nggak ada, pemilik toko bisa apa?
Window shopping seringnya dipraktikkan orang untuk ke toko-toko baju atau ke outlet di mal. Beberapa orang perlu meng-update selera fesyen mereka tanpa perlu beli. Semacam baca-baca majalah fesyen, tapi nggak memiliki setiap item di dalamnya. Ya memang cuma penampilan seperti apa yang sedang tren. Lihat-lihat ke mal juga bisa ngasih pengetahuan soal berapa harga outfit kekinian yang dipakai orang-orang. Melihat bagaimana kondisi pasar bekerja. Hal kayak gini diperlukan banget buat orang-orang yang bekerja di bidang fesyen atau bidang lain yang juga membutuhkan banyak insight.
Sayangnya, sebagian masyarakat urban masih menganggap mereka yang window shopping itu semacam orang bokek kurang kerjaan. Ada kalanya memang pandangan orang-orang terhadap perilaku tersebut ya, semenjijikan itu. Niat piknik ke mal juga dianggap norak, padahal mal buat semua orang, bukan orang berduit doang.
Seorang netizen dirujak perkara ia protes karena IKEA tidak memperbolehkan anak-anak di bawah 12 tahun masuk dan berbelanja. Sebab, syarat masuk IKEA yang memang harus vaksin dulu, taat prokes pokoknya. Netizen jadi skeptis banget sama orang ini dan merasa seolah-olah niatnya piknik ke IKEA sekeluarga itu norak yang membabi buta.
IKEA tau tempatnya jadi alternatif tempat wisata keluarga, makanya mereka bikin peraturan yang ketat. Biar lu belanja terus pulang. Bukan tawaf berantakin display bareng bocil 💩 pic.twitter.com/KjGDgy7Usk
— ◯ (@imandani) September 15, 2021
Iya, betul, saya setuju sama netizen yang mengkritik orang itu karena dia seolah-olah sedang “protes” prokes. Aturannya memang begitu, masuk mal, masuk mana-mana sekarang masih pakai persyaratan vaksin yang otomatis bocil juga belum bisa. IKEA sendiri memang melarang anak-anak untuk masuk dan menutup arena bermain anak sementara waktu, menyusul pandemi di Indonesia yang nggak kunjung kondusif.
Tapi, peristiwa di atas sebenarnya nggak sekaligus membuat orang-orang “dilarang” ke IKEA karena cuma bakal mengobrak-abrik dan nggak beli. Ke IKEA buat lihat-lihat furnitur juga hak pembeli dong. Saya kira mengamini bahwa IKEA adalah toko yang menyenangkan buat window shopping itu nggak masalah. Istilah “tamasya” yang dipakai mas-mas di atas juga nggak sepenuhnya salah.
Menyoal doi yang nggak tahu aturan jelasnya, nggak baca lebih banyak informasi seputar pembatasan pengunjung, dan berasa mau nyinyir padahal salah tempat, ya memang layak disikat.
Kembali ke topik window shopping, pemilik toko atau gerai memang sebenarnya paham betul ada potensi sekian banyak pengunjung hanya akan melihat-lihat tanpa belanja. Banyak banget penelitian yang berkaitan sama persepsi pemilik toko atau pengunjung lainnya dalam memandang perilaku window shopping. Hasilnya kurang lebih sama, banyak yang bilang kegiatan ini nggak penting, tapi lebih banyak yang menganggap ini adalah sebuah alternatif hiburan. Ada nilai-nilai menyenangkan yang bisa dirasakan pengunjung dan calon pembeli saat melakukan kegiatan ini. Nggak sedikit juga dari mereka yang tadinya cuma berniat melihat-lihat, berujung memborong barang saking nggak tahannya sama godaan belanja.
Bagi pemilik toko, window shoppers itu justru bisa dilihat jadi sebuah potensi. Setidaknya semakin banyak audiens yang terpapar “penawaran” mereka, semakin besar kesempatan barang-barang jadi laku. Yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana trik mengubah window shopper jadi customer yang beneran belanja.
Jadi, ngapain sih nyinyirin orang yang cuma mau lihat-lihat ke mal tanpa belanja. Jika intensi mereka tidak mengganggumu, ya sudahlah. Belanjakan uangmu sendiri dan nggak usah jadi killjoy begitu. Kayak mal punya bapak kau aja, pakai melarang orang jalan-jalan doang.
BACA JUGA 3 Jenis Orang yang Bikin Saya Malas Belanja di Supermarket dan artikel AJENG RIZKA lainnya.