MOJOK.CO – Alih-alih fokus meliput betapa aksi 212 berjalan damai, berita soal intimidasi wartawan malah mendominasi. Sebal, ini gara-gara si copet sialan!
Berita di banyak media nasional hari ini temanya serupa: aksi 212. Lebih spesifik lagi, aksi 212 ini disandingkan dengan dugaan-dugaan mobilisasi massa dan kampanye, mengingat yang hadir kebanyakan adalah tokoh oposisi. Belum lagi, ada sebuah kabar yang berembus soal peristiwa serius di tengah-tengahnya. Apakah itu?
Kalau kamu belum tahu, kabarnya massa 212 ini mengintimidasi wartawan yang sedang meliput kisruh yang terjadi di tengah aksi gara-gara seorang copet tertangkap. Intimidasi yang dimaksud di sini adalah adanya pelarangan wartawan meliput dan permintaan untuk wartawan agar menghapus foto.
[!!!!!!!!!1!!1!!!!!!]
Orang-orang langsung kebakaran jenggot. Mereka mengutuk aksi premanisme yang mengintimidasi wartawan, apalagi beredar pula kutipan massa 212 yang meminta agar wartawan meliput berita yang baik-baik saja, jangan yang jelek-jelek. Duh, apa-apaan, sih???, batin masyarakat yang kadung emosyen.
Padahal, kalau kita cukup berkepala dingin dan mencoba sok bijaksana dan adil, rasanya ya nggak salah-salah amat, loh, kalau massa 212 itu minta diliput yang baik-baik saja. Maksud saya, siapa sih yang di zaman sekarang nggak perlu ditunjukkan kebaikan hatinya??? Lagi pula, harap diingat: aksi 212 ini kan aksi damai, masa harus terdistraksi sama kasus pencopetan??? Bisa-bisa, nanti di media massa malah kasus pencopetan ini yang di-blow up, bukan soal tujuan aksi 212 digelar!
Ya kayak sekarang ini, nih, buktinya: alih-alih fokus meliput betapa acara 212 berjalan damai dan seluruh massa yang terlibat mengirimkan munajat yang baik, berita soal intimidasi wartawan malah mendominasi. Sebal, ini gara-gara si copet sialan itu, sih!
Padahal, massa 212 itu kan sudah menunggu momen ini datang. Ingat, kan, betapa geramnya Pak Prabowo waktu tahu acara Reuni 212 tidak diliput media dan televisi, bulan Desember lalu? Yah, walaupun kita juga bertanya-tanya kenapa Pak Prabowo harus ngomel-ngomel—dia kan cuma undangan, bukan panitia—tapi yang jelas dari sini kita harusnya bisa memahami perasaan orang-orang yang terkumpul dalam kelompok 212.
Udah mah mereka kesal karena dulu nggak diliput, eh giliran diliput malah pas ada kisruh gitu. Duh, please, deh, tolong pahami mereka kali ini aja!
Kalau sudah begini, masyarakat pasti menjadikan massa 212 sebagai bulan-bulanan karena dianggap cuma mau terekspos dengan berita baik. Padahal…
…ya memangnya kenapa, gitu??? Ada masalah??? Hmm???
Nih, ya, ada sebuah analogi menarik soal 212 dan Instagram. Situ pasti pernah, kan, ambil foto selfie dan ingin mengunggahnya ke Instagram dengan segera? Lantas, apa yang situ lakukan biar hasil fotonya tampak lebih bagus?
Ya, tentu saja: dengan memanfaatkan filter.
Pun demikian dengan aksi 212—dan banyak aksi lainnya. Agar beritanya tampak lebih indah dan menarique, apa salahnya kalau mereka ingin mengantisipasi bahwa berita-berita buruk yang terjadi tak turut diberitakan??? Memangnya nggak boleh, gitu, merasa insecure dan meminta para wartawan menghapus foto demi stabilitas nasional (halah)???
Ah, sudahlah, kamu tak perlu pura-pura marah dan membenci massa 212. Kamu pun kalau lagi insecure sama pacarmu juga minta doi menghapus fotonya bareng teman-temannya yang terlihat terlalu ‘intim’, kan? Ngaku aja~
Ta-tapi, kan, massa 212 benar-benar mengintimidasi! Ngapain coba mereka bilang, ‘Kalian dari media mana? Dibayar berapa? Kalau rekam yang bagus-bagus aja, yang jelek nggak usah!’ kalau nggak bermaksud buruk ke kita-kita—para wartawan???
Januari lalu, Jubir FPI sekaligus Penasehat Persaudaraan Alumni 212, Slamet Ma’arif, pernah menanggapi kasus serupa. Kala itu, ia meminta maaf pada media massa atas tindakan intimidasi kepada sejumlah awak wartawan yang berlangsung dalam aksi 212 berjilid-jilid. Kilahnya, intimidasi terjadi karena sebagian demonstran tidak berkenan dengan pemberitaan media.
Nah itu, loh!!! Itu!!! Mereka-mereka itu cuma tidak berkenan, Saudara-saudara. Sekali lagi: tidak berkenan. Jadi, ya, apa solusinya?
Ya silakan kita semua saling introspeksi satu sama lain, lah. Kok bisa-bisanya ada yang tidak berkenan sama media situ sampai harus diintimidasi??? Siapa tahu yang salah itu kamu, bukan mereka….
Eh, apa? Kamu juga nggak berkenan sama mereka?
Yaaaa, masuk akal, sih, tapi kalau kamu balas mengintimidasi juga, kamu sama dong sama mereka. Memangnya mau?
Hehe.