MOJOK.CO – Bagi saya mancing itu bukan soal melatih kesabaran. Memancing ikan adalah salah satu keterampilan yang harus dikuasai untuk bertahan hidup.
Mengapa memancing bukan soal melatih kesabaran? Kalau mancing adalah berlama-lama soal menunggu umpan disambar ikan, itu melatih kesabaran. Saya bukan tipe orang yang seperti itu.
Bagi saya, mancing adalah upaya bertahan hidup. Misal saya, tidak punya uang lalu bingung mencari lauk untuk makan. Saya tinggal mancing ikan saja di sungai dekat rumah.
Itu mengapa, saya mencari rumah yang tak jauh dari sungai dan sawah. Beruntung pulung itu saya dapatkan. Rumah yang tentu saja saya beli dengan mencicil ini berada persis di pinggir sungai dan tak jauh dari sawah.
Syarat tersebut merupakan jaga-jaga seandainya ada krisis pangan. Darurat bahan pangan itu saya rasakan saat berbagai kebijakan yang membatasi aktivitas diputuskan oleh pemerintah akibat virus Covid-19. Warung dan penjual sayur keliling berhenti jualan.
Saya mengecek kondisi sawah dekat rumah. Tanaman genjer melimpah ruah. Keong masih banyak saya temukan. Artinya pasokan protein dan serat saya perkirakan cukup.
Kondisi sungai di samping rumah masih seperti biasa. Airnya tidak terlalu besar. Kalapun air meluap karena curah hujan yang berlebihan, akan segera surut.
Beberapa saat setelah menempati rumah, saya sempat gogoh di sungai. Saya masih banyak menemukan kijing. Bukan batu penutup makam, tapi sejenis kerang yang biasanya ada di dasar sungai. Bentuknya pipih panjang. Seperti kerang hijau.
Ikan-ikan yang ada di sungai dekat rumah juga beberapa kali terlihat pamer diri, seperti ikan gabus dan jenis ikan putihan seperti bader dan wader. Ini membuktikan bahwa ikan di sungai dekat rumah menjanjikan ketersediaan gizi yang cukup.
Masalahnya adalah, saya nggak jago-jago amat soal memancing ikan di sungai. Lebih jago mancing belut atau ngurek-urek di sawah. Di keluarga saya, ayah sayalah yang mumpuni soal memancing ikan di sungai.
Ilmu memancing ikan sungai ini kelihatannya belum tuntas diberikan ayah saya. Masa kecil saya habiskan di Cilacap, ketika ikan-ikan masih melimpah. Kalau cuma mau cari ikan gabus, lele atau kating, cukup manjer pancing di malam hari, paginya kami sekeluarga bisa makan ikan.
Nah kalau ingin lauk yang lebih istimewa, seperti ikan sidat, perlu mancing ke sungai. Iya, ikan sidat, yang biasanya jadi menu di restoran Jepang dengan nama unagi, yang harganya selangit itu.
Baca Juga : Pemancing Biasa Mencari Ikan, Pemancing Sejati Mencari Kesabaran
Hobi ayah memancing ikan sidat saya yakin juga merupakan keterampilan bertahan hidup yang ia pelajari sejak kecil. Rumah kakek saya tak jauh dari anakan Kali Progo, di Minggir Sleman. Saya yakin, hobinya keluyuran mancing di malam hari itu meruoakan upayanya mencukupi kebutuhan gizi keluarga.
Sebenarnya saat masih kecil, keterampilan memancing ikan di sungai tidak perlu-perlu amat. Lah, asal kailnya ada umpan, mau ikan di sawah atau di sungai, gampang nyarinya. Ikan-ikan itu seperti datang sendiri minta dipancing. Kalau sampai ada orang mancing di sungai tidak dapat ikan, alasan yang paling aman disampaikan adalah sedang sial saja.
Pengetahuan soal memancing dari ayah saya sangat minim. Lebih ke soal pemilihan tempat saja. Pakan yang digunakan juga tidak macam-macam. Cuma cacing. Tidak ada yang namanya pakan oplosan pelet dicampur telur ayam kampung, kukusan daging tuna seperti yang saya lakukan saat ikut lomba mancing di kolam.
Soal tempat memancing, ayah saya ini jagoan. Pernah kami mendapatkan tempat di dekat rimbunnya hutan bambu. Malam itu kami kewalahan meyelamatkan sidat dari air sungai. Hampir tidak ada waktu istirahat karena pancing kami selalu disambar ikan ini.
Hanya soal tempat mancing ini ada hal yang saya benci. Tempat favorit ayah saya mancing adalah tempat yang ‘singup’ alias angker.
Biasanya kami berangkat dari rumah habis maghrib. Setelah berjalan satu hingga dua jam kami akan sampai di sebuah sungai yang rimbun dengan pohon nipah. Kami menyebutnya daonan. Lain waktu di tempat yang rimbun pohon bakau.
Nah, di seberang sungai itu adalah kuburan. Waktu memancing paling bagus adalah saat saat langit tanpa bulan. Hanya bermodalkan cahaya senthir. Bayang-cayang cungkup makam dan pepohonan sering berubah menjadi hal-hal yang mengerikan dalam imajinasi anak kecil seperti saya waktu itu.
Pernah suatu kali saya sampai berlari meninggalkan joran yang seharusnya saja jaga menuju tempat ayah yang sedang mancing di bagian lain di sungai itu. Hasilnya saya diomelin karena pancing yang harusnya saya jaga sudah hilang dibawa ikan.
Pernah juga saya diajak menyusuri anakan Kali Progo dimana dia menghabiskan masa kecil hingga dewasa untuk memberi saya ilmu memilih tempat memancing. Dari aroma sungai ia bisa memperkirakan ikan apa yang ada di sungai itu. Namun, mungkin saja ilmu itu tidak lagi berguna karena aroma ikan sudah berganti aroma deterjen.
Kemampuan mancing saya tidak maju-maju amat saat selepas sekolah dasar merantau ke Kutoarjo, Purworejo. Persis di depan rumah pakde saya adalah Kali Jali. Salah satu sungai paling populer di Purworejo.
Hanya saja orang tua saya sudah wanti-wanti ke Pakde saya, jangan sampai main ke sungai. Untuk menakut-nakuti, keluarga pakde saya bilang kalau di Kali Jali ada pasir hisapnya. Alhasil, saya yang dulunya suka mandi di sungai langsung mengkeret nyalinya.
Nah, keresahan soal skill memancing ini kian menjadi setelah melihat ada orang-orang yang sepertinya mudah sekali mendapatkan ikan di sungai samping rumah. Saat renovasi rumah, tukang di tempat saya setiap jam istirahat meminjam pancing dan pergi ke samping rumah. Ia selalu mendapatkan ikan, mulai ikan bader, wader, lele, kutuk atau gabus, dan kating berhasil ia selamatkan dari sungai untuk dipindahkan ke wajan penggorengan.
Hal yang tidak pernah saya alami. Padahal joran dan mata pancingnya adalah barang yang sama yang saya gunakan untuk mancing. Pakannya juga sama dengan yang saya gunakan. Cacing, laron, kadang udang hidup.
Saya mulai khawatir dan ingat istilah, ayam mati di lumbung padi.
Suatu hari ada pemancing yang pakannya aneh. Ia cuma membawa belimbing busuk. Ia memancing dengan pakan belimbing, dan dapat ikan! Selain belimbing, kadang ia juga bawa mangga busuk. Saya tanya rahasia mancingnya sebenarnya apa. Dia jawab. “Sabar mas.”
Tapi tidak ada yang paling menjengkelkan selain seorang pemancing tua. Awalnya, saya tengah tiduran sambil baca buku di kursi pingir sungai. Ada bau busuk yang menganggu aktivitas syahdu pagi itu.
Saya pikir berasal dari komposter. Saya cek, bukan. Lantas saya menengok di pinggir sungai ada seorang pemancing tua yang tengah melepaskan ikan dari mata kail.
Saya perhatikan, ia memasukan mata kail itu ke sebuah tas kresek hitam kemudian melemparkannya lagi ke air. Nyot.…langsung disambar ikan.
Penasaran saya turun dan bertanya kepadanya. Saya lihat ia sudah mendapatkan ikan putihan cukup banyak.
“Mbah, ikannya angsal kula tumbas?” tanya saya.
Dia cuma mesem-mesem. Tersenyum.
Saya ajukan pertanyaan lagi.
“Wah pak, dapat terus, pakannya napa njih?” tanya saya ketika senar pancingnya bergerak ditarik ikan.
“Anu mas…Te A,” katanya masih tersenyum.
“Te A napa pak,” tanya saya belum paham.
“Te A 1, mas,” kata simbah tersebut sambil malu-malu menunjukan isi tas kresek hitam yang ia pegang.
“Asem, pantes brang breng ket mau mbah..mbah,” kata saya antara pingin ketawa tapi mangkel.
“Kok kuat mancing pakai pakan TA 1 mbah?” tanya saya mundur.
“Yang penting sabar mas,” katanya.
“Jadi beli ikannya mas?” tanya simbah itu.
“Mboten mbah. Jangan lupa mbah, kalau TA 1 nya sisa, jangan ditinggal,” pesan saya.
Mancing mungkin saja adalah upaya bertahan hidup, hanya memang bertahan hidup tetap saja butuh kesabaran. Mancing keributan kelihatannya lebih mudah bagi saya daripada mancing ikan di sungai.