Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Larangan Natal di Dharmasraya: Bukan Agama, Tapi Manusia yang Mencipta Konflik

Yamadipati Seno oleh Yamadipati Seno
22 Desember 2019
A A
Natal dilarang di Dharmasraya MOJOK.CO
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Selamat Natal untuk warga Katolik Dharmasraya dari saya umat Katolik Jogja yang masih sering datang terlambat misa pagi karena bangun kesiangan. Salam damai, berkah dalem.

Sudah menjadi “ketetapan” di mana saja kalau yang namanya minoritas akan terjepit. Agama apa saja, kalau jadi minoritas, harus punya kemampuan untuk merasa. Sedihnya, karena “merasa teraniaya”, mereka lalu berlindung di balik sebuah istilah bernama intoleransi. Agama tidak pernah jadi masalah, melainkan manusianya.

Kemampuan merasa bukan sebuah kemampuan yang bisa dikuasai dengan mudah. Dan sekali lagi, tolong jangan bawa-bawa agama dulu. Kemampuan merasa adalah proses mengasah diri sebagai makhluk sosial, tanpa memandang agama yang dipercaya.

Natal tidak boleh dirayakan di Darmasraya, Sumatera Barat. Kalimat itu yang banyak dipakai oleh media dan diamini oleh begitu banyak orang Indonesia. Keprihatinan menguar. Tangis kasihan membanjiri mata. Namun, pernahkah kita mencoba memahami kenapa Natal tidak boleh dirayakan di Dharmasraya?

Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya adalah kampung warga transmigrasi tahun 1965. Pemerintah dan tokoh adat membuat kesepakatan dalam program transmigrasi ini, yaitu peserta transmigrasi harus beragama Islam, kalau ingin menjual tanah harus ke warga setempat, harus mengaku induk (menjadi bagian salah satu suku di nagari itu) dan mengikuti aturan adat yang berlaku.

Kenapa peserta harus beragama Islam? Namanya saja aturan adat yang berlaku. Sebuah kenyataan sosial yang perlu dipahami sebelum kita berteriak soal intoleransi dan Natal yang tidak boleh dirayakan.

Pendatang, yang mana peserta transmigrasi, diberi lahan secara gratis, dibuatkan rumah oleh warga, dan disumbang bahan makanan sembari menunggu panen tiba. Pemerintah hanya mengantar warga transmigran ke sana. Terkesan diabaikan, warga asli mengulurkan tangan untuk membantu. Tidak saling mengenal, berbeda latar belakang, tapi mau membantu. Bukankah itu esensi hidup sosial?

Sekitar tahun 1980, beberapa warga transmigran pulang ke Pulau Jawa. Kacaunya, mereka menjual lahan ke warga non-muslim dari luar daerah. Perayaan agama lain mulai marak dan Natal salah satunya.

Padahal, di Dharmasraya sudah disepakati aturan kalau tanah hanya boleh dijual ke warga asli. Sejak saat itu, terjadi beberapa kali gesekan, yang awalnya dari pelanggaran adat yang dilakukan beberapa warga transmigran dan mereka yang merayakan hari besar keagamaan seperti Natal.

Setelah gesekan mereda, sebuah kesepakatan baru disusun. Warga non-muslim boleh beribadah, tetapi di rumah masing-masing. Sayangnya, pada tahun 2016 hingga 2017, warga non-muslim mengundang warga dari luar Dharmasraya untuk beribadah bersama, salah satunya Natal. Warga setempat tidak bisa menerima tindakan itu.

Haji Ahmad, warga setempat yang menuliskan sejarah Dharmasraya di Twitter juga menjelaskan kalau masalah ini sudah menjadi bola panas di media. Kalimat Natal dilarang di Dharmasraya menjadi narasi utama. Padahal tidak sepenuhnya begitu. Pemerintah setempat bersedia menyediakan kendaraan untuk umat Katolik yang mau merayakan Natal bersama.

LARANGAN NATAL DI DHARMASRAYA

Sebuah trhead dari sudut pandang Anak Dharmasraya.
Saya mau berbagi soal latar pelarangan perayaan natal oleh tokoh adat dan warga di satu desa di Dharmasraya. Ada persiteruan hukum adat dan hukum negara dalam kasus ini.

— Haji Ahmad (@Arj_Nusantara) December 20, 2019

Sekitar 10 hingga 20 menit berkendara dari rumah mereka, ada titik-titik aman untuk merayakan Natal di Dharmasraya. Namun, umat Katolik yang berjumlah sembilan KK ini menolak. Mereka menolak dan ingin merayakan Natal di rumah masing-masing saja.

Hukum adat, biasanya lebih tua dibandingkan hukum yang berlaku di sebuah negara. Hukum adat ini juga biasanya saling melekat dengan ajaran agama. Misalnya di Bali, ketika Nyepi, umat Islam juga tidak keluar dari rumah sebagai bentuk penghormatan kepada perayaan agama Hindu. Dharmasraya dibangun dengan hukum adat (dan Islam) sebagai dasar. Sebuah aturan yang tidak bisa ditabrak oleh perkembangan zaman atau pemahaman akan toleransi.

Iklan

Ketika umat Katolik tidak boleh menggelar perayaan Natal di daerahnya, pemerintah berusaha menyediakan kendaraan bagi mereka. Pemerintah mengusahakan Natal bisa dirayakan, tetapi di tempat yang sudah ditentukan. Saya tidak tahu istilah yang tepat untuk menggambarkan niat pemerintah setempat selain tenggang rasa.

Pemerintah setempat tentu tidak bisa menabrak aturan adat demi sembilan KK yang ingin merayakan Natal. Yang bisa mereka lakukan adalah menjaga perasaan umat Katolik yang ingin merayakan Natal dengan menyediakan kendaraan. Toh, apa salahnya merayakan Natal, misalnya, di gereja atau tempat lain bersama jemaat yang berbeda? Sama-sama mencintai Tuhan Yesus, kan? Sama-sama menjunjung hukum tertinggi bernama Hukum Cinta Kasih, kan?

Menjadi minoritas memang bukan status yang mudah untuk dikunyah. Yang bisa dan pertama dilakukan adalah menguasai ilmu merasa.

Terkadang, konflik terjadi bukan karena agama atau kepercayaannya. Konflik terjadi karena manusia yang melanggar kesepakatan bersama dan tidak mengindahkan aturan atas nama toleransi. Misalnya ingin merayakan Natal di lingkungan padahal adat sudah melarang.

Toleransi itu apa, sih? Toleransi itu mengizinkan jalan di depan rumah ditutup oleh tetangga untuk acara sembayangan, untuk ibadah mengundang banyak orang. Toleransi adalah menyediakan kendaraan bagi umat Katolik yang mau merayakan Natal. Toleransi bukan lantas menerobos adat yang sudah mengakar. Ini ilmu merasa.

Yang terjadi kemudian mayoritas terlihat selalu salah karena menang jumlah. Minoritas terlihat selalu menderita karena kalah jumlah. Padahal, hidup bertetangga bukan soal jumlah. Hidup bertetangga adalah usaha saling menghargai kesepakatan bersama. Kalau mau kuat-kuatan soal jumlah itu pemilu namanya.

Kamu bisa kok membalik-balik keadaan. Misalnya Dharmasraya adalah sebuah daerah dengan dasar adat dan agama Katolik atau Kristen atau agama apa saja. Umat Islam hanya boleh salat Ied di tempat yang disepakati. Disediakan kendaraan untuk menuju ke sana. Siapa yang menyediakan? Umat Katolik yang mayoritas. Umat Islam sedih, menolak, dan salat Ied di rumah masing-masing. Media mengabarkan: Umat Islam dilarang salat Ied di Dharmasraya.

Sama saja. Tidak ada ilmu merasa di sana. Agama, yang jika diperas akan keluar sari-sari positif, seperti menjadi sumbu konflik. Padahal, semuanya berasal dari manusia yang gagal merasa.

Sama kok seperti kehidupan di sebuah kampung. Ketika ada seorang bapak yang diizinkan tidak piket kerja bakti di Minggu pagi. Warga tahu kalau si bapak biasanya beribadah di misa Minggu pagi. Ini namanya ilmu merasa. Si bapak juga tahu kalau warga sudah pengertian. Dia membalasnya dengan cara berbeda. Misalnya dengan menyediakan gula dan teh sebagai konsumsi kerja bakti. Ini namanya ilmu merasa.

Menjadi merayakan Natal orang Katolik memang tidak mudah. Agama ini tidak pernah bosan untuk bertanya kepada umatnya: “Kamu kuat nggak memikul salib Kristus?”

Katolik adalah soal devosi, soal penyerahan diri kepada ajaran Tuhan. Tuhan tidak pernah mengajarkan kita untuk mendobrak adat. Tuhan mengajarkan kasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri.

Selamat Natal untuk warga Katolik Dharmasraya dari saya umat Katolik Jogja yang masih sering datang terlambat misa pagi karena bangun kesiangan. Salam damai, berkah dalem.

BACA JUGA Yesus Bungee Jumping: Penistaan Agama atau Cara Katolik Bercanda? atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.

Terakhir diperbarui pada 22 Desember 2019 oleh

Tags: dharmasrayaIslamKatolikKristenNatalnatal dilarangnatal haramSelamat Natal
Yamadipati Seno

Yamadipati Seno

Redaktur Mojok. Koki di @arsenalskitchen.

Artikel Terkait

Cerita Kebiasaan Orang Jawa yang Bikin Kaget Calon Pendeta MOJOK.CO
Esai

Cerita Calon Pendeta yang Kaget Diminta Mendoakan Motor Baru: Antara Heran dan Berusaha Memahami Kebiasaan Orang Jawa

21 November 2025
Katolik Susah Jodoh Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami MOJOK.CO
Esai

Cari Pasangan Sesama Katolik itu Susah, Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami

13 November 2025
Paus Leo XIV, Sarjana Matematika Memimpin Umat Katolik MOJOK.CO
Esai

Habemus Papam! Kisah Paus Leo XIV Sarjana Matematika yang Akan Memimpin Umat Katolik di Masa Kritis

9 Mei 2025
Dinamika Politik di Masjid Istiqlal dan Fenomena Muslim Tanpa Masjid
Video

Dinamika Politik di Masjid Istiqlal dan Fenomena Muslim Tanpa Masjid

30 Maret 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.