Anak kecil selalu punya hal yang tidak akan pernah bisa dimiliki dan seringkali susah dipahami oleh orang dewasa.
Anak kecil bisa berkelahi dengan kawannya dan langsung bisa berdamai dan main bareng lagi keesokan harinya. Orang dewasa tak akan bisa. Anak kecil bisa menangis karena tidak mendapatkan sesuatu yang ia inginkan dan ia akan lupa setelah tidur. Orang dewasa tidak akan bisa. Anak kecil bisa merasa nyaman tidur di rumah-rumahan yang ia bangun bersama kawan-kawannya ketimbang tidur di kasur kamarnya yang lebih empuk. Orang dewasa tak akan bisa. Dan masih banyak lagi hal yang bisa dipungkasi dengan kalimat “Orang dewasa tak akan bisa”.
Dari sekian banyak itu, menciptakan konsensus aneh dan konyol terkait permainan adalah salah satunya.
Anak kecil, tak bisa dimungkiri, adalah makhluk yang bisa membangun konsensus aturan main dalam sebuah permainan untuk kemudian ditaati dan dijunjung tinggi. Mereka sadar, bahwa konsensus tersebut merupakan unsur yang membangun “harga diri” mereka sebagai anak kecil di dalam lingkungan pergaulan sepermainan mereka.
Nah, berikut ini adalah beberapa konsensus permainan masa kecil yang mungkin terasa sangat aneh dan konyol namun dulu sangat dijunjung tinggi oleh anak-anak kecil dalam permainan mereka.
Kalau ditotok harus mematung
Dulu pas masih kecil, gara-gara sering nonton film kungfu atau silat klasik, kita jadi merasa seolah-olah menguasai jurus totok.
Kalau kita menotok teman, biasanya di dekat leher atau di punggung, maka dia otomatis bakal (dan harus) diam tak bergerak. Begitu pula sebaliknya. Kalau kita ditotok oleh teman kita, maka kita juga harus diam mematung tak bergerak, setidaknya sampai ada totokan berikutnya yang “membebaskan” kita.
Kalau diingat-ingat lagi, saya selalu merasa geli sendiri, betapa dulu kita pernah begitu bodoh namun bahagia untuk menjalankan konsensus yang aneh itu.
Kalau ada layangan punya ekor, berarti nggak boleh diserang
Dalam konvensi Jenewa, ada banyak aturan yang mengatur pihak-pihak yang sedang terlibat dalam perang atau konflik bersenjata. Salah satu aturannya adalah para kombatan yang terlibat perang dilarang menembak pihak-pihak antara lain petugas medis, warga sipil, kombatan yang terluka, juga tawanan perang.
Nah, tak ubahnya seperti konvensi jenewa dalam lingkup permainan layang-layang, ada juga aturan tak tertulis yang isinya melarang semua pemain layangan untuk menyerang layang-layang lain yang punya ekor.
Layang-layang yang dipasangi ekor merupakan tanda bahwa si pemilik layangan tidak sedang ingin terlibat dalam adu layangan atau yang sering dikenal sebagai “sangkutan”. Entah karena si pemilik layangan memang cinta damai, tak pandai memainkan layang-layangnya, atau memang karena pemilik layangan kelewat miskin sehingga ia tak menggunakan senar gelas melainkan hanya benang jahit biasa (yang kalau kena serempet senar gelas sedikit saja pasti langsung putus).
Kalau sudah di-“nas” nggak boleh dipetik
Ini konsensus yang jauh lebih konyol. Seseorang bisa menguasai tempat duduk atau properti lain yang sifatnya umum agar tidak ditempati oleh orang lain asalkan ia sudah menandai properti tersebut. Ada banyak istilah untuk menandai, dari mulai “nas”, “dam”, sampai “tir”.
Konsensus ini berlaku untuk banyak hal, dari mulai kursi, tempat main, bahkan sampai buah-buahan di pohon yang bisa dipetik secara umum.
“Pokoknya jambu yang di pojokan itu sudah aku nas, kalian nggak boleh metik. Kalian silakan petik yang lain.”
Maka, begitu “nas” itu terucap, tak ada orang lain yang boleh mengambil jambu tersebut. Dan konyolnya, semuanya menurut.
Kalau kalah lari bakal dijodohkan dengan kawan yang paling jelek
“Yang lari belakangan jadi pacarnya Rudi!” atau “Yang paling belakangan jadi pacarnya Desi!”
Itu semacam konsensus dalam bentuk mantra yang sering diucapkan oleh anak-anak saat sedang balapan lari. Sekelompok anak sepakat untuk lomba lari, dengan hukuman siapa yang larinya paling akhir bakal dijodohkan dengan kawan yang paling jelek tampangnya.
Tentu saja perjodohan tersebut semu belaka, namun anehnya, semuanya tetap berusaha untuk berlari dengan cepat agar tidak menjadi pacar kawan yang buruk rupa.
Boleh dibilang, inilah bentuk kesepakatan kolektif sekaligus body shaming pada umur yang paling dini.
Kalau tangannya nggak nyampai berarti nggak gol
Ini adalah konsensus paling umum dalam permainan sepakbola anak-anak. Karena biasanya dilakukan di lapangan biasa dan tidak ada tiang gawang, maka gawang yang digunakan tentu saja adalah gawang imajiner. Batas gawangnya memang bisa ditandai dengan batu bata atau tumpukan sandal, tapi batas tiang berdiri dan tiang atasnya tentu saja adalah awang-awang belaka.
Maka, keputusannya adalah bulat, batas tiang atasnya adalah perkiraan lompatan tertinggi yang bisa diraih oleh kiper. Pokoknya selama kipernya tidak bisa menjangkau ketinggian bola, maka dianggap tidak gol.
Ada banyak konsensus lain dalam permainan sepakbola anak-anak ini yang sering berlaku di banyak daerah, di antaranya adalah berapa pun skornya, yang menang adalah yang memasukkan gol paling akhir, lebar gawang harus tujuh langkah dan jarak titik penalti harus sebelas langkah, batas waktunya bukan 2 x 45 menit melainkan sampai maghrib atau ibu salah satu anak datang dan membawa senjata tumpul.