Kata banyak orang, suara yang melengking dan nyaring adalah hasil konstruksi dari perpaduan berbagai aspek, dari mulai lingkungan, sosial, sampai budaya.
Saya tak terlalu yakin dengan anggapan tersebut, walau memang pada kenyataannya, ada banyak pengakuan tentang hal itu.
Mamah Dedeh, dai perempuan yang wajah dan suaranya sudah pernah menemani jutaan ibu-ibu majlis ta’lim dari seluruh penjuru nusantara itu adalah salah satu sosok yang punya suara keras melengking. Suara yang kemudian membuat dirinya punya kesan galak dan judes.
Berdasarkan keterangan dari Abdel, tandemnya di acara Mama dan Aa’, suara Mamah Dedeh itu terbentuk karena sedari kecil Mamah Dedeh memang tinggal di dekat usaha penggilingan padi, sehingga sejak kecil ia terbiasa untuk ngomong kenceng agar tidak kalah dengan suara penggilingan padi.
Pada kasus yang lain, pemimpin legendaris Kamboja, Norodom Sihanouk itu juga dikenal sebagai sosok dengan suara yang nyaring lagi melengking. Tak sekedar itu, ia juga dikenal doyan nyerocos kalau sedang berbicara. Sempurna sudah. Nyaring dan nyerocos.
Dalam suatu kesempatan, istri Sihanouk, Norodom Monineath menjelaskan alasan kenapa suami tercintanya itu punya suara yang demikian. Penjelasannya sangat ilmiah namun juga jenaka.
“Kamboja itu lengang, penduduknya cuma enam juta. Karenanya Sihanouk mesti nyaring suaranya, sebab kalau tidak, negeri akan sunyi senyap.”
Apakah itu kemudian menjadi sebab sebenarnya kenapa Sihanouk punya suara yang nyaring? Tentu saja belum tentu. Namun alasan geografis yang meluncur itu boleh jadi memang punya benang merah.
Penduduk Korea atau Jepang, setidaknya melalui berbagai serial film, kita tahu punya suara yang keras dan di telinga kita terdengar sangat emosional.
Di berbagai drama Korea, kita menyaksikan betapa orang Korea kalau ngomong banyak yang suaranya kenceng.
Setali tiga uang, orang Jepang juga demikian. Film Crows Zero yang sangat populer itu bahkan dengan sukses mengamplifikasi fakta tentang suara yang keras dan nyaring itu.
Teriakan “Takiya Genjiiiiiiiieeehhh” atau “Serizawaaaaa!” itu entah kenapa menjadi sangat populer dan seolah mewakili tipikal suara orang Jepang. Suara yang seolah lahir dari orang dengan tenggorokan yang penuh dengan pasir.
Amplifikasi suara orang Jepang lewat film Crows Zero ini sampai memunculkan tebakan anekdotal tentang apa bahasa Jepangnya mengajak orang ngopi, tebakan yang jawabannya adalah “Ngopi Oraaaaaaaa?”
Untuk soal ini, contoh yang paling dekat dengan hidup saya saja tentu saja adalah istri saya sendiri. Kalis, istri saya punya suara yang sangat nyaring dan keras serupa penyanyi rock n roll Joan Jett.
Bayangkan, saat ia sedang ngobrol dengan kawannya melalui sambungan telepon di ruang tengah, saya yang berada di luar rumah masih tetap bisa mendengarkan suaranya yang nyaring itu. Bahkan setelah pintu saya tutup, suaranya tetap terdengar sangat keras.
Bukan hanya saat menelpon, bahkan saat berbicara dengan saya pun, dalam keadaan setenang apa pun, suaranya terdengar sangat keras.
“Maaaas, sayurnya dihabisiiiiiin,” ujarnya saat menyuruh saya agar tidak menyisakan banyak nasi di piring.
Suaranya terdengar sangat intimidatif. Kalau saja saya tak tahu kalau suara itu keluar dari mulut istri saya, mungkin sudah jiper nyali saya.
Suara istri saya yang nyaring dan kencang membuat rumah yang saya tinggali lebih mirip lembaga pemasyarakatan alih-alih rumah, sebab suara Kalis memang lebih cocok sebagai suara yang meluncur dari sipir kepada tahanan alih-alih dari istri kepada suami.
Dulu, jauh sebelum kami menikah, saya pernah menanyainya tentang kenapa suaranya begitu nyaring. Jawabannya cukup membuat saya maklum. “Rumahku kan Blora, Mas. Blora itu hutan jati, jadi kalau ngomong harus kenceng,” jawabnya.
Jawaban yang kelak saya anggap sebagai omong-kosong belaka, sebab saat pertama kali saya mampir ke rumahnya, jelas sekali bahwa rumahnya berada di tengah perkampungan kota yang begitu padat, blas nggak ada hutan-hutannya.
“Suaraku nyaring dan keras saja kamu masih sering nggak nurut, apalagi kalau suaraku kalem,” kata Kalis defensif suatu kali.
Pernyataan tersebut membuat saya pasrah dan siap untuk menerima kenyataan, bahwa rumah kami masih akan terus menjadi lembaga pemasyarakatan. Entah sampai kapan.
Tapi tentu saja saya menikmatinya. Sebab saat ini, saya adalah “narapidana” yang mujur dan beruntung. Lha gimana, narapidana mana yang tiap hari dimasakin sambel pindang kemangi kualitet tinggi sama sipirnya?
Mungkin hanya di lembaga pemasyarakatan inilah, saya “dipenjara” seumur hidup, dan tak sudi mendapatkan remisi.