MOJOK.CO – Valentino Rossi menutup buku kariernya di lintasan MotoGP. Meski tidak berakhir menjadi juara dunia, sudahlah, tak mengapa.
Ada belasan—mungkin puluhan—juara dunia MotoGP sejak era Leslie Graham sampai Fabio Quartararo. Hanya saja, dari sebanyak itu nama hanya sedikit yang menorehkan mitos dan cerita legendaris.
Dalam bayangan kenangan masa kecil, saya mengenal MotoGP ketika nama-nama juara dunia seperti Mick Doohan, Alex Criville, sampai Kenny Roberts Jr. masih berdansa di sirkuit-sirkuit terbaik dunia.
Sejujurnya, perkenalan terbaik saya terhadap olahraga ini ada pada Kenny Roberts Jr. saat dia bisa memecundangi Honda dan Yamaha. Pabrikan Suzuki (yang sebenarnya masih medioker sampai sekarang) dibawa Kenny Roberts Jr. ke puncak dunia pada awal milenium ketiga.
Tak ada yang menyangka Suzuki dan Kenny Roberts Jr. bisa secepat itu melahap banyak sirkuit. Cerita Cinderella itu saya pikir akan berlanjut ke musim selanjutnya pada 2001.
Sayangnya, Kenny Roberts Jr. benar-benar sial. Tiba-tiba saja, pada musim selanjutnya, MotoGP 500 cc (saat itu namanya begitu) kedatangan seorang anak muda dari tim satelit Nastro Azzuro dengan motor Honda seri NSR500 berkelir warna tim yang penuh pernak-pernik di sana-sini.
Bocah dari dusun kecil di Italia tersebut langsung menarik perhatian dalam sekejap. Rambutnya keriting, cengar-cengir sesaat sebelum balapan, memakai piercing di telinganya, dan selalu ngebanyol ketika diwawancarai media.
Kenny Robert Jr. yang sempat jadi Cinderella pada musim sebelumnya langsung tenggelam di bawah pantat pria muda ini. Hanya dalam satu musim, pria ini sukses membuat balapan MotoGP yang tadinya merupakan olahraga “serius” menjadi olahraga penuh entertain.
Pria muda yang kemudian jadi fenomena baru ini punya nama: Valentino Rossi.
Memakai kelir warna kuning yang mencolok mata dan gaya balapan yang agak ugal-ugalan. Rossi menjadi terbaik dalam satu kedipan mata. Kemampuannya dalam pengereman paling telat di antara pembalap lain, membuatnya sangat jago soal urusan melewati lawan di tikungan.
Kengeyelannya dalam mengerem motor sampai pada titik ekstrem, selalu berhasil membuatnya selalu tiba lebih dulu di tikungan. Pun dengan kengeyelannya untuk menggeber akselerasi motor saat menjauh dari titik tikungan. Lupakan soal top speed, Rossi dikenal bukan pembalap seperti itu.
Rossi adalah gabungan antara nyali, sense soal daya cengkram ban motor yang tiada duanya, plus naluri dalam mendengar setiap suara yang muncul dari motor untuk kemudian beradaptasi dengan lintasan. Dia benar-benar tak tertandingi saat itu.
Ibarat Tsubasa Ozora bersahabat dengan bola, Valentino Rossi malah sudah menjadi saudara kembar siam motor Nastro Azzuro-nya.
Kengeyelan yang akhirnya—kita semua tahu—diganjar dengan gelar juara dunia pertama di kasta tertinggi MotoGP.
Musim bersejarah pada 2001 itulah yang lantas jadi sangat membekas di hati banyak orang. Bahkan untuk orang yang tadinya tidak mengikuti geliat kompetisi MotoGP 500 cc.
Kengeyelan Valentino Rossi semakin besar dampaknya bukan hanya karena skill-nya di atas kuda besi, tapi juga di luar lintasan. Rossi selalu sukses menjadi dirinya sendiri: pria dusun ceria dari kota kecil bernama Tavullia di Italia.
Pria muda ini selalu penuh dengan kehebohan. Padahal pada saat yang bersamaan Valentino Rossi adalah 1 di antara 20 pembalap yang selalu mempertaruhkan hidupnya di atas lintasan dengan kecepatan lebih dari 200 km/jam.
Gabungan antara ancaman maut dengan keceriaan. Dua hal kontradiktif yang sukses dikawinkan Rossi di MotoGP.
Setidaknya, salah satu momen yang menandai keberhasilan Valentino Rossi membuat MotoGP jadi olahraga yang entertain adalah booming-nya stiker “matahari” dengan karikatur wajah pria dari dusun ini.
Tiba-tiba saja, wajah karikatur Rossi jadi demam baru di seluruh pelosok dunia, termasuk juga di Indonesia.
Kengeyelannya dalam MotoGP berikutnya juga tampak saat Rossi pindah dari tim satelit ke tim utama Repsol Honda pada 2002. Maklum, Repsol Honda pada saat itu baru memperkenalkan teknologi motor 4-tak.
Perubahan ekstrem yang pada mulanya dinilai bakal mengganggu performa Valentino Rossi yang sudah dominan dengan tim Nastro Azzuro-nya yang bermesin 2-tak.
Setelah sebelumnya terbiasa dengan geberan maksimal motor 2-tak, Rossi mendadak harus beradaptasi dengan mesin 4-tak yang tak seagresif motor 2-tak, meski mesin baru tim Repsol Honda menawarkan kestabilan dan ketahanan mesin lebih baik.
Musim pertamanya pindah, keraguan itu dikangkangi dengan sempurna. Rossi menunjukkan dia adalah pembalap MotoGP paling adaptif dan langsung melesat tak tertandingi. Bahkan pada era 2002 sampai 2003 itu, MotoGP jadi arena olahraga yang membosankan karena Rossi terlalu superior.
Mesin yang sempurna, cepat luar biasa, plus gaya balapan Rossi membuat kombinasi itu bak “Los Galacticos” di arena balap.
Tapi bukan Valentino Rossi namanya kalau tidak ngeyel. Musim 2004, tiba-tiba Valentino Rossi memilih menyeberang ke Yamaha Factory Racing. Ya, setiap penggemarnya tahu kalau pria ini memang tak pernah mau berada di zona nyaman.
Yamaha pada musim itu adalah pabrikan yang tertinggal jauh secara teknologi dari Repsol Honda. Tapi rahasia kemudian terbuka, di Honda Rossi merasa dikekang. Kreativitasnya soal mesin tertahan oleh manajemen tim yang ketat.
Dari perspektif Honda, ini sebenarnya situasi yang wajar. Teknologi sudah bagus, mesin sudah yang terbaik, buat apa improvisasi lagi? Terbentur dengan jiwa petualangannya yang tak tertandingi, Rossi pun ngeyel pindah.
Di Yamaha, Rossi seolah menemukan “keluarga” layaknya ketika dia masih berjuang dengan tim satelit Nastro Azzuro. Tim yang belum sempurna ini langsung dibawa Rossi juara dunia. Di Yamaha pula, Rossi sangat-sangat betah sampai tak terasa di pabrikan inilah dia mengakhiri karier.
Meski begitu, kengeyelan paling besar dalam karier Rossi—setidaknya menurut saya, sebenarnya bukanlah pada kontroversi-kontroversi di atas lintasan (mau itu dengan Max Biaggi, Jorge Lorenzo, Casey Stoner, sampai Marc Marquez), tapi saat keputusannya pindah ke Ducati pada 2011.
Baiklah, saya mengerti, itu pabrikan memang sama-sama dari Italia dan dikenal punya mesin tenaga kuda luar biasa besar. Hanya saja saya pikir, Rossi terkesan meremehkan kemampuan Casey Stoner, pembalap Ducati sebelumnya.
Banyak asumsi bahwa Casey Stoner bisa mengalahkan Rossi pada 2007 karena pabrikan Ducati adalah tim dengan mesin paling cepat. Seolah-olah kemampuan Casey Stoner menemukan setelan yang pas dan power-nya dalam mengendalikan “tenaga kuda liar” Ducati pada 2007 diremehkan.
Hal ini terlihat pada 2011-2012 ketika Rossi benar-benar jadi pecundang karena tak mampu beradaptasi lagi. Usianya yang tak lagi muda, membuat Rossi mempunyai pakem terhadap gaya balapnya sendiri. Pakem yang mempersempit adaptasi Rossi terhadap mesin-mesin baru.
Kita semua tahu, pakem gaya balap Valentino Rossi yang gemar melewati lawan di tikungan, tak bisa dilengkapi dengan karakter mesin Ducati yang jauh lebih andal dalam akselerasi dari titik nol ke top speed. Seolah pasangan yang selalu KDRT, Rossi tidak menemukan jalan tengah hingga akhirnya balik lagi ke Yamaha.
Dan di Yamaha dengan berbagai wajah tim (dari Yamaha Factory Racing sampai Petronas Yamaha SRT) Rossi masih mencoba ngeyel dengan usianya yang tak lagi muda.
Pembalap-pembalap rookie bermunculan. Bahkan beberapa ada yang seperti dirinya ketika muda. Dari Jorge Lorenzo, Marc Marquez, bahkan sampai almarhum Marco Simoncelli.
Rossi dalam bayangan saya memang mampu melesat secepat kilat meninggalkan cerita-cerita di belakangnya. Tapi fisiknya yang menua, membuat ketahannya menerima 1 sampai 1,5 G-Force saat pengereman tak lagi sama.
Di lintasan Valencia, seri terakhir Rossi menggeber motornya di sirkuit, tak ada lagi kengototan yang serupa. Titik pengeremannya pun jadi similar dengan pembalap-pembalap lainnya. Geberannya di titik akselerasi pun sudah menghilang.
Dan di saat itulah, saya kira, Valentino Rossi sendiri sadar dia memang harus pensiun dengan paripurna.
Meski masih menyimpan rasa penasaran untuk bisa melengkapi gelar juara ke-10 (gabungan dari MotoGP, Moto 250 cc, dan Moto 125 cc), Valentino Rossi tak lagi bisa ngeyel seperti sedia kala. Lintasan memang pernah ditaklukkan dengan kecepatannya, tapi waktu dan usia kini sukses mengejarnya.
Rossi pun harus sadar, dia kini sudah telanjur jadi legenda dan harus merelakannya.
Sambil membiarkan orang-orang terus bertanya-tanya, kalau Rossi tak ada di lintasan lagi pada akhirnya, kami-kami ini akan menonton siapa ke depannya?
BACA JUGA 3 Profesi yang Bisa Dicoba Rossi setelah Pensiun dan tulisan soal Vale 46 lainnya.