MOJOK. CO – Orang di berbagai negara sama-sama punya kebiasaan malu jika ketahuan sedang atau habis berak. Padahal beraknya juga di toilet. Apa penyebab rasa malu nan absurd ini?
Bila sedang berada di tempat yang ada orang asingnya, kita melakukan segala cara untuk menyamarkan aktivitas paling manusiawi selain makan, bernapas, dan berpikir: berak. Menyalakan keran kencang-kencang, berulang kali menekan tombol flush, menyetel musik dari ponsel, mengerem laju berak sepelan mungkin, sampai batal berak sama sekali—minimal satu di antaranya pernah Anda lakukan.
Kami bahkan sampai menemukan artikel yang memberi panduan etiket berak di toilet kantor, pesawat, dan tempat kencan. Mojok Insitute memprediksi, rasa malu saat berak telah berkontribusi pada penyia-nyiaan air bersih di berbagai belahan dunia.
Kadar rasa malu akibat ketahuan sedang berak ini bisa teramat absurd. Jika Anda tinggal di perumahan sempit dengan dinding toilet saling berimpitan, sangat mungkin Anda pernah mengalami momen berak berbarengan dengan tetangga sebelah rumah. Momen itu bisa diketahui dari debum pintu alumunium toilet atau ricik keran yang seperti saling bertanding, siapa paling nyaring menyamarkan suara plung tahi jatuh ke kloset.
Momen seperti itu bisa dibilang absurd karena, pertama, apa yang perlu dimalukan dari Anda berak di rumah sendiri, di toilet milik sendiri? Kedua, jika Anda dan tetangga tahu sedang berak sama berak dan kalian bersepakat aktivitas itu memang aib, bisa-bisanya dua orang yang sedang membeber aib masih punya malu satu sama lain?
Tapi demikianlah. Bahwa berak bisa memancing rasa malu memang misterius. Ia semacam sisi pribadi yang tak boleh orang asing tahu. Kita akan meredamnya sekuat mungkin, sekeras apa pun dorongan tahi mendesak Anda yang sedang bergegas menuju toilet stasiun untuk kemudian malu-malu kucing karena bilik itu sedang penuh-penuhnya. Rasa malu karena berak juga bisa menghadirkan kebahagiaan yang aneh hanya karena melihat ada keran dan ember yang siap menyamarkan musik alam dari perut Anda.
Saking memalukannya sang berak, menyebut kata berak saja cukup membuat harga diri terluka. Di perdesaan Jawa, berak disamarkan dengan beol. Di perkotaan, para orang tua melatih anak-anak mengeja pup. Bahkan sebagai candaan tertulis, berak masih perlu diperhalus menjadi beraque. Sebagian orang sampai merasa jengah jika mendengar berak dibahas secara terbuka. Jelas, ini fe no me na?
Entah sejak kapan tertanam di kepala kita bahwa berak itu memalukan. Ketika pubertas? Tampaknya Anda tak akan menganggap begitu jika masa SD Anda diwarnai teman-teman kelas (atau Anda sendiri) yang tertangkap basah berak di celana saat pelajaran berlangsung hanya karena terlalu malu izin ke toilet kepada guru.
Malu atas berak tentu berbeda dengan rasa malu ketika ketahuan kentut di depan muka orang. Kentut di hadapan orang lain jelas perbuatan menciptakan polusi, sementara rasa malu atas berak tega-teganya kita bawa sampai ke bilik jamban. Anehnya, kita tak malu dengan kencing meskipun benturan air seni ke kloset bisa menimbulkan nada-nada yang sama nyaringnya. Bila kita malu berak di toilet umum karena khawatir bau tinja sisa makan semur telur semalam begitu menguar, bukankah seharusnya itu sudah diprediksi siapa pun yang akan masuk toilet sesudah Anda? Alias, memang risiko saja.
Tapi mau dijelaskan selogis apa pun, nyatanya rasa malu karena berak nyata ada dan berlipat ganda.
Dari hasil membaca sejumlah sumber tentang asal rasa malu karena berak, sebagian besar menjawab tabu adalah penyebabnya. Artinya, kedudukan berak di mata norma menyerupai hamil di luar nikah atau pindah agama.
Menurut laporan BBC Future, evolusi adalah alasan manusia merasa jijik (dan karena itu malu?) terhadap beraknya sendiri. Rasa jijik itu, sebut psikolog Universitas Pennsylvania Pail Rozin, mengurangi Hasrat kita untuk mengonsumsi material yang mengandung mikroorganisme penyebab penyakit. Misalnya feses.
Tapi misteri berak tak selesai sampai di sana. Berkebalikan dengan rasa malu ketahuan berak yang bisa ditemukan di berbagai belahan dunia, di India praktik berak sembarangan justru sulit diberantas karena warga enggan punya toilet di rumah. Kata ahli pembangunan sanitasi Kimberly Worsham kepada Scienceline, orang India justru menganggap toilet itu sendiri sebagai tabu karena menjadi tempatnya segala kotoran.
Anomali lain bisa kita temukan di sekitar. Saya, misalnya, punya teman yang selalu terdorong untuk berak ketika datang ke tempat baru. “Kamu menebar berakmu di mana-mana,” kata teman saya yang lain, ketika kami usai menemani si teman tukang berak ini ke toilet sebuah mal baru di Jogja. Bahkan di Indonesia, UNICEF melaporkan berak di tempat umum, disebut buang air besar sembarangan atau BABS, masih dianggap tradisi. (Ini kampungnya siapa sih yang masih kayak gini?)
Kasus teman saya maupun kedudukan berak sebagai tradisi (saya masih tak habis pikir) belum seekstrem berita satu ini. BBC melaporkan, di dunia kita hari ini, ada beberapa kasus “pemberak berantai” yang bahkan jadi buronan kepolisian. Pemberak berantai, yang terdengar seseram istilah serial killer, berak sembarangan di tempat umum hingga menimbulkan teror. Ayam saja gentar kepadanya.
Salah satu pelaku bahkan berak di jalan yang sama sampai 30 kali. Pelaku kebiasaan ini divonis sakit mental bernama scatology: orang yang terpesona dengan beraknya sendiri.
Pembahasan panjang tentang berak pada akhirnya mengantarkan kita pada refleksi baru. Bila berak, bercinta, telat kawin, dan jadi perempuan yang terlalu sukses dapat memancing rasa malu, tampaknya bukan praktik-praktik tersebut yang misterius atau menimbulkan tanya, melainkan konsep kita tentang rasa malu itu sendiri perlu dirancang ulang.
Urgensi untuk merombak konsep malu di masyarakat tentunya makin penting jika mengingat bahwa kerap kali kita hendak menagih utang, tapi kita sendiri yang malu.
BACA JUGA Misteri Abad Ini: Yang Bersikap Malu-maluin Orang Lain, yang Malu Malah Kita dan esai Prima Sulistya lainnya.