Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Kenapa Kami Takut Menikah? Tanyakan Saja Pada Patah Hati dan Politik Genderuwo!

Aprilia Kumala oleh Aprilia Kumala
13 November 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Kenapa seseorang takut menikah? Bukankah sejak kecil kita telah diracuni kisah-kisah happy ending para princess? Jangan-jangan, ini ada hubungannya dengan politik genderuwo!

Dalam budaya Yunani kuno, ada sebuah ritual khusus yang dianggap sakral bernama Hieros Gamos. Upacara ini melibatkan pertemuan tubuh dua makhluk dengan jenis kelamin berbeda yang menggambarkan Dewa Dewi. Dari nama Hieros Gamos inilah, kemudian muncul dua reaksi berbeda: gamomania dan gamophobia.

Gamomania, sesuai namanya, merupakan keadaan yang menggemari pertemuan tubuh—atau lebih sederhananya kita kenal dengan nama ‘pernikahan’—sedangkan gamophobia adalah hal sebaliknya: mengalami ketakutan terhadap ikatan pernikahan atau komitmen.

Iya, pada dasarnya, gamophobia adalah keadaan yang kita semua rasakan: takut menikah.

[!!!!!!!!!!!11!!!!1!!!!!!]

Loh, loh, kenapa seseorang bisa takut menikah? Bukankah sejak kecil kita telah diracuni kisah-kisah happy ending dari para putri kerajaan yang masalah hidupnya langsung beres begitu ketemu pangeran ganteng dan akhirnya menikah, lalu hidup bahagia selamanya di kerajaan yang lantainya kinclong dan punya 789 ruangan???

Ternyata oh ternyata, segalanya tidak semudah itu, Ferguso.

Tidak seperti sebagian dari kamu yang sudah bangga-bangganya membagikan foto-foto pertunangan dan pasang foto cincin lamaran di feed Instagram atau pasfoto buat ditempel di buku nikah, ternyata ada juga orang-orang yang memilih mundur teratur dari bahasan soal pernikahan. Jangankan mikir mau kapan nikah, mikirin nikah itu sendiri aja udah males duluan.

Lagi pula, kenapa sih kita harus buru-buru didatangi penghulu untuk disahkan hidup berdua dengan seorang laki-laki—atau perempuan, kalau kamu laki-laki—yang tak akan kita ketahui bagaimana perilakunya 5 tahun kemudian, 13 tahun kemudian, atau 27 tahun kemudian???

Pertama-tama, kekhawatiran personal alias insecurities memang merupakan salah satu alasan utama ketakutan menikah ini muncul. Penyebabnya pun bermacam-macam, mulai dari pengalaman buruk terkait pernikahan komitmen atau karena takut memiliki tanggung jawab baru sebagai pasangan suami istri atau orang tua.

Kita (hah, kita??) mungkin saja memiliki komitmen sebelumnya, sampai suatu hari pasangan kita tega-teganya mengkhianati sepenuh hati, meninggalkan kita dengan pisau-pisau kebohongan yang tajamnya amit-amit jabang bayi. Patah hati, nyatanya, menjadi salah satu peristiwa dalam hidup manusia yang bisa dengan ajaibnya mengubah pandangan seseorang terhadap komitmen.

Makanya, nggak usah heran kalau ada temanmu mendadak antipati pada pernikahan, apalagi setelah kepercayaannya dipermainkan seenak jidat. Ha mbok yang mengkhianati itu disuruh mikir!

Kedua, bukan cuma pengalaman buruk pengkhianatan, keadaan di sekitar pun bisa memengaruhi kondisi mental terhadap pernikahan. Bukan tidak mungkin, mereka yang berasal dari keluarga broken home akan mengalami fobia yang satu ini.

Saya pernah bertekad tidak ingin menjadi dewasa dan menikah setelah seorang sahabat dekat saya menangis seharian. Orang tuanya bercerai sebulan kemudian, membuatnya menjadi orang paling pendiam yang pernah saya kenal. Perceraian itu, Saudara-saudara, telah ‘menculik’ sahabat saya yang dulu selalu berteriak memanggil nama saya setiap sore.

Iklan

Itu baru satu. Kalau mau, saya bisa menjumlahkan kasus perceraian yang semuanya memaksa saya menangis dan mengutuk diam-diam, termasuk perceraian paman saya yang berujung kebencian kedua belah pihak keluarga. Kali ini, saya kehilangan saudara saya sendiri.

Saya harus rela menghabiskan sisa hidup saya dengan ungkapan semacam, “Kamu mirip sekali dengan si Fulan,” padahal Fulan saja sudah tak mau bertemu saya hanya karena ayahnya adalah paman saya. Terakhir kali kami akhirnya bertemu—saya masih ingat—adalah 4 tahun lalu, di depan kuburan paman saya—ayah kandungnya.

Ketiga, rasa takut menikah ini muncul karena sikap depresif. Ibaratnya, menikah saja belum, tapi takutnya udah sampai ke ubun-ubun. Bayangan-bayangan bahwa kita (hah, kita???) harus menghadapi suami—atau istri, kalau kamu laki-laki­—setiap saat itu mengerikan juga, loh.

Pikiran-pikiran pun berlalu lalang di kepala kita: apakah kita bisa membuatnya bahagia terus-menerus, lahir dan batin? Apakah kita bisa masak tanpa keasinan dan tak akan dia bully pakai filter Instagram Story yang baru? Apakah kita akan terus disayangi oleh pasangan meskipun nanti ada pertengkaran dan jerawat-jerawat yang tidak bisa ditutupi lagi pakai concealer???

Pada keadaan takut menikah secara ekstrem, seseorang bahkan bisa berubah agresif dan marah-marah tak masuk akal kalau diajak bicara soal pernikahan. Tolong bedakan ini dengan kebencian yang muncul kalau ngomongin mantan, ya. Ingat: hanya jika mereka diajak bicara soal pernikahan.

Bisa nggak, sih, orang gamophobia jatuh cinta? O tentu bisa, mylov. Tapi, kalau sudah berbicara ke arah komitmen dan pernikahan—tunggu dulu~

Dilansir dari Tirto.id,  sebanyak 24,9 persen perempuan Indonesia nyatanya memilih untuk tidak menikah, baik karena perasaan takut atau memang enggan. Alasan mereka—selain ketakutan akibat hal-hal di atas—juga karena pernikahan dianggap tidak menarik dan cuma bisa menimbulkan masalah. Angka ini tidak besar—setidaknya tidak lebih besar daripada angka yang ditemukan pada sebuah studi di Cina: sebanyak 80 persen anak muda memilih hidup sendiri dan mengaku takut menikah.

Namun begitu, beberapa orang rupanya menganggap rasa takut menikah kaum milenial ini cukup mengkhawatirkan. Persepsi positif soal pernikahan mulai ditingkatkan, di antaranya melalui beberapa studi internasional. Menurut sebuah pusat studi, orang yang menikah digembor-gemborkan memiliki risiko terkena penyakit jantung lebih rendah lima persen dibandingkan dengan kita-kita (IYA KITA!) yang meratapi kesendirian lajang.

Sayangnya, meski ada propaganda positif untuk membuat kita-kita yang takut menikah mulai berpikir untuk menjalin komitmen janji suci ala Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, tetap saja ada ketakutan lain yang muncul. Kalau kamu-kamu lupa, biar saya tunjukkan sebuah keadaan terkini yang justru kian mendorong perasaan takut menikah, yaitu…

…politik genderuwo!!!

“Coba kita lihat politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan, kekhawatiran. Setelah takut, (langkah) yang kedua (adalah) membuat sebuah ketidakpastian. Dan yang ketiga, (masyarakat) menjadi ragu-ragu.”

Kurang lebih, begitu Presiden Jokowi berkata, seolah menyindir keadaan politik yang cenderung akan membuat orang ketakutan. Selaras dengan peringatan ini, calon presiden Prabowo justru menumpahkan bahan bakar baru lewat pernyataannya yang menyebutkan bahwa 99 persen masyarakat Indonesia mengalami hidup pas-pasan, bahkan sangat sulit.

Ya monmaap nih, kalau 99 persen dari kita saja hidup sulit, mana bisa kita memimpikan hidup bahagia selamanya, kan? Males, ah.

Terakhir diperbarui pada 13 November 2018 oleh

Tags: gamophobiapolitik genderuwoprabowoRaffi Ahmadtakut menikah
Aprilia Kumala

Aprilia Kumala

Penulis lepas. Pemain tebak-tebakan. Tinggal di Cilegon, jiwa Banyumasan.

Artikel Terkait

kapitalisme terpimpin.MOJOK.CO
Ragam

Bahaya Laten “Kapitalisme Terpimpin” ala Prabowonomics

21 Oktober 2025
Hentikan MBG! Tiru Keputusan Sleman Pakai Duit Rakyat (Unsplash)
Pojokan

Saatnya Meniru Sleman: Mengalihkan MBG, Mengembalikan Duit Rakyat kepada Rakyat

19 September 2025
Video Prabowo Tayang di Bioskop Itu Bikin Rakyat Muak! MOJOK.CO
Aktual

Tak Asyiknya Bioskop Belakangan Ini, Ruang Hiburan Jadi Alat Personal Branding Prabowo

16 September 2025
Video Prabowo Tayang di Bioskop Itu Bikin Rakyat Muak! MOJOK.CO
Esai

Jika Pemerintah Bekerja dengan Baik, Rakyat Tidak Perlu Diingatkan Setiap Hari Pakai Video Prabowo yang Tayang di Bioskop Jelang Film Mulai: Aneh!

15 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pulau Bawean Begitu Indah, tapi Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri MOJOK.CO

Pengalaman Saya Tinggal Selama 6 Bulan di Pulau Bawean: Pulau Indah yang Warganya Terpaksa Mandiri karena Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri

15 Desember 2025
Riset dan pengabdian masyarakat perguruan tinggi/universitas di Indonesia masih belum optimal MOJOK.CO

Universitas di Indonesia Ada 4.000 Lebih tapi Cuma 5% Berorientasi Riset, Pengabdian Masyarakat Mandek di Laporan

18 Desember 2025
Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat "Suami" bahkan "Nyawa" Mojok.co

Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat “Suami” bahkan “Nyawa”

19 Desember 2025
UGM.MOJOK.CO

UGM Berikan Keringanan UKT bagi Mahasiswa Terdampak Banjir Sumatra, Juga Pemulihan Psikologis bagi Korban

18 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Pasar Petamburan di Jakarta Barat jadi siksu perjuangan gen Z lulusan SMA. MOJOK.CO

Pasar Petamburan Jadi Saksi Bisu Perjuangan Saya Jualan Sejak Usia 8 Tahun demi Bertahan Hidup di Jakarta usai Orang Tua Berpisah

19 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.