MOJOK.CO – Kenapa seseorang takut menikah? Bukankah sejak kecil kita telah diracuni kisah-kisah happy ending para princess? Jangan-jangan, ini ada hubungannya dengan politik genderuwo!
Dalam budaya Yunani kuno, ada sebuah ritual khusus yang dianggap sakral bernama Hieros Gamos. Upacara ini melibatkan pertemuan tubuh dua makhluk dengan jenis kelamin berbeda yang menggambarkan Dewa Dewi. Dari nama Hieros Gamos inilah, kemudian muncul dua reaksi berbeda: gamomania dan gamophobia.
Gamomania, sesuai namanya, merupakan keadaan yang menggemari pertemuan tubuh—atau lebih sederhananya kita kenal dengan nama ‘pernikahan’—sedangkan gamophobia adalah hal sebaliknya: mengalami ketakutan terhadap ikatan pernikahan atau komitmen.
Iya, pada dasarnya, gamophobia adalah keadaan yang kita semua rasakan: takut menikah.
[!!!!!!!!!!!11!!!!1!!!!!!]
Loh, loh, kenapa seseorang bisa takut menikah? Bukankah sejak kecil kita telah diracuni kisah-kisah happy ending dari para putri kerajaan yang masalah hidupnya langsung beres begitu ketemu pangeran ganteng dan akhirnya menikah, lalu hidup bahagia selamanya di kerajaan yang lantainya kinclong dan punya 789 ruangan???
Ternyata oh ternyata, segalanya tidak semudah itu, Ferguso.
Tidak seperti sebagian dari kamu yang sudah bangga-bangganya membagikan foto-foto pertunangan dan pasang foto cincin lamaran di feed Instagram atau pasfoto buat ditempel di buku nikah, ternyata ada juga orang-orang yang memilih mundur teratur dari bahasan soal pernikahan. Jangankan mikir mau kapan nikah, mikirin nikah itu sendiri aja udah males duluan.
Lagi pula, kenapa sih kita harus buru-buru didatangi penghulu untuk disahkan hidup berdua dengan seorang laki-laki—atau perempuan, kalau kamu laki-laki—yang tak akan kita ketahui bagaimana perilakunya 5 tahun kemudian, 13 tahun kemudian, atau 27 tahun kemudian???
Pertama-tama, kekhawatiran personal alias insecurities memang merupakan salah satu alasan utama ketakutan menikah ini muncul. Penyebabnya pun bermacam-macam, mulai dari pengalaman buruk terkait pernikahan komitmen atau karena takut memiliki tanggung jawab baru sebagai pasangan suami istri atau orang tua.
Kita (hah, kita??) mungkin saja memiliki komitmen sebelumnya, sampai suatu hari pasangan kita tega-teganya mengkhianati sepenuh hati, meninggalkan kita dengan pisau-pisau kebohongan yang tajamnya amit-amit jabang bayi. Patah hati, nyatanya, menjadi salah satu peristiwa dalam hidup manusia yang bisa dengan ajaibnya mengubah pandangan seseorang terhadap komitmen.
Makanya, nggak usah heran kalau ada temanmu mendadak antipati pada pernikahan, apalagi setelah kepercayaannya dipermainkan seenak jidat. Ha mbok yang mengkhianati itu disuruh mikir!
Kedua, bukan cuma pengalaman buruk pengkhianatan, keadaan di sekitar pun bisa memengaruhi kondisi mental terhadap pernikahan. Bukan tidak mungkin, mereka yang berasal dari keluarga broken home akan mengalami fobia yang satu ini.
Saya pernah bertekad tidak ingin menjadi dewasa dan menikah setelah seorang sahabat dekat saya menangis seharian. Orang tuanya bercerai sebulan kemudian, membuatnya menjadi orang paling pendiam yang pernah saya kenal. Perceraian itu, Saudara-saudara, telah ‘menculik’ sahabat saya yang dulu selalu berteriak memanggil nama saya setiap sore.
Itu baru satu. Kalau mau, saya bisa menjumlahkan kasus perceraian yang semuanya memaksa saya menangis dan mengutuk diam-diam, termasuk perceraian paman saya yang berujung kebencian kedua belah pihak keluarga. Kali ini, saya kehilangan saudara saya sendiri.
Saya harus rela menghabiskan sisa hidup saya dengan ungkapan semacam, “Kamu mirip sekali dengan si Fulan,” padahal Fulan saja sudah tak mau bertemu saya hanya karena ayahnya adalah paman saya. Terakhir kali kami akhirnya bertemu—saya masih ingat—adalah 4 tahun lalu, di depan kuburan paman saya—ayah kandungnya.
Ketiga, rasa takut menikah ini muncul karena sikap depresif. Ibaratnya, menikah saja belum, tapi takutnya udah sampai ke ubun-ubun. Bayangan-bayangan bahwa kita (hah, kita???) harus menghadapi suami—atau istri, kalau kamu laki-laki—setiap saat itu mengerikan juga, loh.
Pikiran-pikiran pun berlalu lalang di kepala kita: apakah kita bisa membuatnya bahagia terus-menerus, lahir dan batin? Apakah kita bisa masak tanpa keasinan dan tak akan dia bully pakai filter Instagram Story yang baru? Apakah kita akan terus disayangi oleh pasangan meskipun nanti ada pertengkaran dan jerawat-jerawat yang tidak bisa ditutupi lagi pakai concealer???
Pada keadaan takut menikah secara ekstrem, seseorang bahkan bisa berubah agresif dan marah-marah tak masuk akal kalau diajak bicara soal pernikahan. Tolong bedakan ini dengan kebencian yang muncul kalau ngomongin mantan, ya. Ingat: hanya jika mereka diajak bicara soal pernikahan.
Bisa nggak, sih, orang gamophobia jatuh cinta? O tentu bisa, mylov. Tapi, kalau sudah berbicara ke arah komitmen dan pernikahan—tunggu dulu~
Dilansir dari Tirto.id, sebanyak 24,9 persen perempuan Indonesia nyatanya memilih untuk tidak menikah, baik karena perasaan takut atau memang enggan. Alasan mereka—selain ketakutan akibat hal-hal di atas—juga karena pernikahan dianggap tidak menarik dan cuma bisa menimbulkan masalah. Angka ini tidak besar—setidaknya tidak lebih besar daripada angka yang ditemukan pada sebuah studi di Cina: sebanyak 80 persen anak muda memilih hidup sendiri dan mengaku takut menikah.
Namun begitu, beberapa orang rupanya menganggap rasa takut menikah kaum milenial ini cukup mengkhawatirkan. Persepsi positif soal pernikahan mulai ditingkatkan, di antaranya melalui beberapa studi internasional. Menurut sebuah pusat studi, orang yang menikah digembor-gemborkan memiliki risiko terkena penyakit jantung lebih rendah lima persen dibandingkan dengan kita-kita (IYA KITA!) yang meratapi kesendirian lajang.
Sayangnya, meski ada propaganda positif untuk membuat kita-kita yang takut menikah mulai berpikir untuk menjalin komitmen janji suci ala Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, tetap saja ada ketakutan lain yang muncul. Kalau kamu-kamu lupa, biar saya tunjukkan sebuah keadaan terkini yang justru kian mendorong perasaan takut menikah, yaitu…
…politik genderuwo!!!
“Coba kita lihat politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan, kekhawatiran. Setelah takut, (langkah) yang kedua (adalah) membuat sebuah ketidakpastian. Dan yang ketiga, (masyarakat) menjadi ragu-ragu.”
Kurang lebih, begitu Presiden Jokowi berkata, seolah menyindir keadaan politik yang cenderung akan membuat orang ketakutan. Selaras dengan peringatan ini, calon presiden Prabowo justru menumpahkan bahan bakar baru lewat pernyataannya yang menyebutkan bahwa 99 persen masyarakat Indonesia mengalami hidup pas-pasan, bahkan sangat sulit.
Ya monmaap nih, kalau 99 persen dari kita saja hidup sulit, mana bisa kita memimpikan hidup bahagia selamanya, kan? Males, ah.