MOJOK.CO – Bagi pemilih Jokowi pada Pilpres 2019, ada pandangan yang cenderung merendahkan pada pemilih Prabowo Subianto: Kenapa ada orang yang pilih Prabowo sih?
“Kenapa ya ada orang yang sampai yakin mau pilih Prabowo?” demikian tanya seorang teman pada saya.
Sebuah pertanyaan yang jelas akan mengerucut pada satu kesimpulan awal bagi kamu yang baca tulisan ini: Wah, yang tanya pasti kecebong garis keras tuh.
Betul memang teman saya ini pemilih Presiden Joko Widodo pada Pemilihan Presiden 2014. Tentu saja itu bukan pertanyaan terakhirnya. Muncul pertanyaan dan pernyataan yang—saya yakin—akan semakin bikin sakit hati bagi para pemilih Prabowo.
“Masih nggak bisa masuk nalarku kok ada saja yang percaya sama calon yang belum ada track record-nya mimpin sipil dari dulu,” kata teman saya.
Baiklah, saya mengerti. Bagi pemilih Jokowi seperti teman saya ini, ada orang yang memilih Prabowo untuk jadi presiden rasa-rasanya agak mustahil. Nalar yang digunakan memang berlandaskan dari pengalamannya sebagai seorang mahasiswa yang harus bekerja untuk menghidupi uang kuliah dan uang makannya sehari-hari. Kalau nggak kerja, nggak bisa makan dan hidup.
Baginya, kalau ada orang yang sudah bekerja lalu hasilnya sudah ada yang kelihatan, ya masuk akal kalau orang itu mendapatkan apa yang sudah dikerjakannya. Dalam kasus ini, ya orang itu pantas untuk mencalonkan diri jadi presiden. Kausalitas sederhana saja, kalau kamu kerja, ya kamu dapat hasilnya, kalau kamu belum kerja kok minta hasilnya, ya itu nggak masuk dalam nalar teman saya ini.
Meski begitu saya agak risih ketika mendengarnya. Sebab kesan diskriminatif sangat kental terasa dalam pertanyaannya. Seolah-olah orang yang memilih Prabowo tidak tercerahkan karena tidak bisa melihat kausalitas sesederhana itu.
“Lihat saja sekarang, kubu Prabowo malah sibuk cari kelemahan Jokowi ketimbang mengampanyekan tawaran apa yang bisa mereka lakukan untuk bisa berbuat lebih baik ketimbang Jokowi. Apa? Program apa? Yang ada cuma gambaran-gambaran besar saja yang diumbar. BBM nanti murah, beras nanti murah, rakyat sejahtera. Ya kalau aku nggak dijelasin bagaimana caranya agar bisa ke situ, ya mana bisa aku percaya?” katanya lagi.
“Jadi kalau misalnya kubu Prabowo menawarkan solusi yang rasional dan menjelaskan langkah-langkahnya agar cita-cita yang dikampanyekan mereka itu berhasil, kamu bakal pilih dia?” pancing saya.
“Tentu saja,” katanya yakin. “Nyatanya ada nggak sekarang?” tanyanya lagi.
Saya tidak menjawab. Tapi saya yakin bahwa tidak semua pemilih di Indonesia memerlukan standar seperti yang diutarakan teman saya untuk memilih pemimpinnya.
Sebab standar rasional itu nggak seragam, kadang standar semacam itu tercipta juga dari latar belakang kehidupan seorang pemilih. Untuk kasus ini standar yang dipakai adalah standar teman saya.
Lho kok bisa? Rasional kan ya rasional, yang masuk akal, kalau program-programnya nggak masuk nalar berarti kan dia nggak rasional.
Ah, itu kan standar rasionalmu, cara pikir rasional seorang pemilih Jokowi. Coba lihat sekitarmu, orang-orang yang sudah menentukan pilihan akan memilih Prabowo untuk Pilpres 2019 nanti. Mereka punya standar rasional yang berbeda. Dan ada sebab kenapa standar rasional mereka berbeda denganmu.
Selain pemilih atau orang yang sudah menentukan pilihan ke Jokowi, saya juga punya banyak teman yang sudah menentukan akan memilih Prabowo.
Eit, jangan salah. Tidak seperti tuduhan teman saya pemilih Jokowi, teman-teman saya pemilih Prabowo adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi juga kok. Dari yang sekolah master, doktor, bahkan juga seorang santri tulen.
Sebut saja seorang teman saya pemilih Prabowo bernama Abdi, seorang santri sekaligus calon doktor. Sejak Pilpres 2014, dia sudah menentukan pilihan dan percaya pada Prabowo. Tentu pada Pilpres 2018 nanti pilihannya nggak akan pindah ke mana-mana. Teman saya—seperti kebanyakan pemilih Prabowo—tidak begitu menyukai banyak kebijakan-kebijakan Jokowi, yang katanya penuh dengan pencitraan.
Akan tetapi, ketimbang soal ketidaksukaan kebijakan-kebijakan Jokowi, Abdi lebih tidak suka terhadap orang-orang di sekitar Jokowi yang disebutnya sebagai “mafia negara”. Soal pribadi, teman saya ini sepakat bahwa Jokowi—barangkali—adalah orang yang betul-betul baik, tapi karena dikelilingi kubu yang lebih punya kekuatan, jadi percuma saja Jokowi jadi Presiden. Sebab, kuasanya tidak tunggal karena banyak kepentingan yang nebeng.
Sejauh yang pernah diceritakan ke saya, saya jadi tahu ada alasan krusial kenapa dia tidak akan—sampai kapanpun—menjatuhkan pilihan ke Jokowi dan alasan kenapa harus Prabowo yang dia pilih.
Alasan pertama: soal partai pengusung Jokowi, yakni PDIP.
Abdi tinggal di salah satu kota di Jawa Tengah. Provinsi yang mendapat julukan sebagai “Kandang Banteng” karena kekuatan PDIP sangat kuat di provinsi ini. Lebih daripada itu Abdi tinggal di salah satu kota yang merupakan basis suara PDIP terbesar di Jawa Tengah.
Di tempat tinggalnya, PDIP berkuasa bak dinasti. Jika kalian hanya melihat Ratu Atut Chosiyah di Banten atau Fuad Amin di Bangkalan yang sukses dengan politik dinastinya, maka kalian perlu melihat bagaimana partai ini juga melakukan hal yang sama di beberapa kota di Jawa Tengah. Saya tentu tak perlu sebut beberapa kota tersebut agar tidak jadi masalah pencemaran nama baik ya kan?
Poinnya, teman saya ini sangat gerah dengan praktik partai berlambang banteng ini menguasai suara di kota kelahirannya. Kebetulan teman saya ini sempat jadi wartawan daerah juga, dan tahu betul bagaimana dirinya sering dititipi untuk bikin berita-berita bagus soal kinerja pejabat-pejabat setempat. Karena tidak betah, teman saya akhirnya mengundurkan diri lalu memilih untuk sekolah lagi dan bikin warung kopi kecil-kecilan.
Antipati terhadap partai ini kemudian merembet juga pada pilihannya soal Presiden. Baginya, partai ini dan Megawati terlalu menggunakan nama besar Soekarno. Menurut teman saya, partai ini beruntung sekali punya kader seperti Jokowi, sehingga dari PDIP—untuk kedua kalinya setelah Pemilu 1999—bisa menang pada 2014 lalu.
Sejak saat itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah; ternyata partai tidak melulu jadi kendaraan politik, nyatanya pada 2014 silam, justru partai yang mengendarai kadernya, yakni Jokowi—dan buktinya benar-benar sukses besar.
Oleh karena itu, menurut Abdi, Jokowi yang sekarang tidak sama dengan Jokowi saat menjabat sebagai Walikota Solo dengan segala kemampuan yang punya track record cukup baik. Jokowi yang sekarang lebih punya banyak “tagihan” yang diminta oleh partai ketimbang sebaliknya. Hal ini mengekang Jokowi untuk berbuat sesuatu untuk Indonesia. Dari hal inilah teman saya merasa percuma jika memilih Jokowi.
Nah itu alasan tidak memilih Jokowi, lalu apa alasannya untuk memilih Prabowo?
Ya kan kalau memang Prabowo di mata teman saya ini nggak bagus-bagus amat, tentu dia bisa saja mempertimbangkan untuk golput saja. Akan tetapi, teman saya punya alasan khusus kenapa Prabowo adalah seseorang yang sesuai dengan gambarannya mengenai seorang pemimpin.
Salah satunya: pengalaman militer dengan segala keteraturannya.
Tentu kamu yang pemilih Jokowi bisa ketawa jika melihat alasan itu. Apa urusannya seorang pemimpin militer dianggap punya kapasitas memimpin sipil? Tapi tunggu dulu, ada alasan logis kenapa teman saya punya jawaban itu.
Awalnya saya juga heran, tapi kemudian paham bahwa teman saya punya kebiasaan yang sangat disiplin dan teratur. Soal ini, sebenarnya saya bisa melacak dari latar belakang Abdi yang merupakan alumni pondok pesantren yang sangat ketat soal kedisiplinan. Hal ini kemudian membuatnya terbiasa dengan keteraturan dan tidak cocok dengan sesuatu yang sifatnya fleksibel.
Oleh karena itu, baginya sangat penting seorang pemimpin mampu menciptakan atmosfer yang stabil. Karena jika negara terlalu riuh, meskipun semua orang bisa bersuara tapi yang ada malah jadi konflik horizontal yang sangat sulit dicari penyelesaiannya. Tentu ini bukan berarti Abdi sepakat dengan tindakan represif dari negara, hanya saja baginya Jokowi tidak menawarkan hal itu dalam 4 tahun kepemimpinannya belakangan ini.
Negara sangat jauh dari kata stabil, sangat banyak perdebatan dan Jokowi dinilai tidak mampu mengendalikan itu semua sebagai seorang pemimpin negara. Sebagai pemimpin pemerintah, mungkin masih oke, tapi sebagai pemimpin negara—Abdi tidak melihatnya dari sosok seperti Jokowi.
Lah memang dari mana Abdi punya gambaran kalau yang pegang berlatar belakang militer semua jadi stabil? Kan Prabowo belum pernah jadi presiden selama ini?
Jawabnya simple dan bikin saya tersenyum lebar karena dia cuma menyebut tiga huruf: SBY.