MOJOK.CO – Mau kuliah tapi nggak lolos jalur SNMPTN dan SBMPTN. Mau lewat jalur mandiri, tapi mahal betul. Sudah benar Jokowi, jadi petani saja. Tapi sawahnya digusur. Pusing.
Ketika membaca liputan panjang soal kurir yang tayang di Project Multatuli, saya menemukan sebuah bagian yang menggelitik. Saya kutipkan langsung ya:
“Belum lama ini, seorang kawan sempat berkata setengah bercanda, “Galau itu privilese.”
Saya menuntut elaborasi. Ia jawab, “Orang lapar enggak punya waktu buat galau. Waktunya habis untuk kerja biar bisa makan. Elo bisa galau kalau elo punya duit.”
Saya tertawa mendengarnya. Saya merasa itulah yang terjadi selama jadi kurir. Seharian memacu sepeda motor, pikiran saya hanya fokus pada perhitungan sisa barang yang mesti diantar dan jumlah pemasukan yang bisa saya terima.
Setelah pulang, saya hanya bisa rebahan sembari menatap langit-langit kamar. Saya sudah tak kuat berpikir macam-macam, entah soal menabung dan berinvestasi, pandemi, atau runtuhnya demokrasi. Saya cuma mau tidur.”
Artikel luar bisa keren itu bisa kamu baca di sini.
Beberapa tahun yang lalu saya sering galau. Bukan, bukan karena saya banyak duit, tapi karena lagi menyandang status pengangguran saja. Yah, nggak sepenuhnya menganggur. Hidup saya berjalan dari proyek buku ke proyek buku lainnya. Kalau lagi nggak ada tawaran nulis atau ngedit, ya cuma bisa galau.
Jauh sebelum bekerja untuk Mojok, setelah masa-masa galau yang agak panjang dan sukses menguras tabungan itu, saya memutuskan untuk kuliah lagi. Saya pengin lulus S2, ikut banyak penelitian, atau jadi dosen. Selain itu, sih, karena pengin lari dari tanggung jawab dari sebuah “profesi”. Saya pengin santai.
Namun, setelah melihat biaya masuk lewat jalur mandiri dan biaya per semester, saya mundur teratur. Meski dijanjikan akan mendapat keringanan karena nilai-nilai semasa S1 lumayan bagus, saya harus berhitung dengan berbagai kemungkinan. Misalnya: ternyata tetap harus bekerja untuk kebutuhan sehari-hari, memikirkan biaya hidup orang tua, dan biaya-biaya lain yang cukup bikin khawatir.
Saya masih beruntung ketika Puthut EA mengajak saya ikut liputan.
“Ngapain kuliah lagi,” tanya beliau sekali waktu.
“Pengin jadi peneliti, Mas. Kalau nggak ya dosen.”
“Penelitian nggak perlu kuliah S2. Sudah, ikut aku saja buat penelitian.”
Pada akhirnya, percakapan singkat itu yang akhirnya membawa saya masuk Mojok. Nggak jadi kuliah, nggak perlu pusing mikir mahalnya masuk kuliah jalur mandiri. Sebuah kenyataan yang sekarang bikin pusing kelas menengah.
Iya, masuk kuliah jalur mandiri itu udah kayak lelang. Orang tua berdarah-darah untuk memperjuangkan anaknya dapat bangku di universitas terbaik yang bisa digapai. Jual mobil, jual sapi, jual sawah, jual tanah yang seharusnya dicita-citakan sebagai warisan pun dilakukan.
Eits, saya nggak lagi ngomongin universitas swasta. Kenyataan ini terjadi juga di universitas negeri. Ketika saya masih kuliah, medio 2005 hingga 2010, universitas negeri itu masih lekat dengan stigma “murah”. Sekarang nggak ada bedanya. Mahal semua. Pendidikan gratis dan merata itu semata mitos.
Menyimak utas akun Prima Sulistya, yang sudah centang biru, di Twitter sukses memberikan gambaran menyeramkan itu. Pada 2008, ada anak kedokteran mengisi uang pangkal senilai Rp700 juta. Kini, 2021, konon uang pangkal masuk jurusan favorit itu sudam tembus miliaran.
Pas 2008 pernah denger ada anak yang ngisi 700 juta buat masuk kedokteran. Setelah lama ga update soal biaya kuliah, barusan dapet gosip level ngisi uang pangkal udah nyampe 1,5 M. Dan itu kampus neheri.
— Prima Sulistya (@prima_sulistya) August 7, 2021
Adik ipar Prima Sulistya mendaftar di Universitas Telkom dengan uang pangkal Rp40 juta. Biaya SPP bulanan senilai Rp11 juta sudah termasuk biaya asrama. “Kuliah online tapi ada uang asrama.” Sindir Prima.
Menyimak obrolan yang menanggapi utas Prima malah lebih bikin ngelus dada. Terutama di bagian: “Orang tua siap mengeluarkan duit berapa saja demi anaknya kuliah di jurusan favorit. Bahkan kalau sampai harus menjual aset.”
Kebetulan ada akun salah satu orang tua yang curhat di utas Prima. Anaknya masuk Fakultas Kedokteran lewat jalur mandiri. Uang pangkal, minimal, Rp250 juta. Uang kuliah per semenster senilai Rp26.350.000 (iya, sedetail itu dia bercerita). Pusing rasanya setelah membayar uang kuliah. Namun, “demi buah hati”, dia ikhlas melakukan semua itu.
Mungkin, bagi mereka dengan kemampuan akademik pas-pasan bisa lulus SBMPTN udah kayak dapat lotre saja. Tak perlu bayar uang pangkal sampai ratusan, bahkan miliaran rupiah. Bagi mereka yang menempuh jalur mandiri, bangku kuliah udah kayak barang antik di acara lelang.
Berkat kenyataan jalur mandiri yang menyeramkan begini saya jadi mendukung orang tua “otoriter” yang pengin anaknya harus pintar.
Semua pengin merasakan situasi kayak gini:
“Bapaknya tukang becak. Ibunya buruh cuci. Nggak perlu lewat jalur mandiri tapi Lulus SBMPTN dengan nilai sempurna. Nggak perlu bayar uang pangkal. Bayar SPP sesuai kemampuan, bahkan digratiskan karena dapat beasiswa. Lancar sampai skripsi, nggak ketemu dosen nyebelin, dan lulus dalam waktu 3,5 tahun dengan status cumlaude.”
Semua pengin kayak gitu kecuali status anak tukang becak dan buruh cuci….
Ada yang menganggap kuota jalur mandiri yang cuma 30 persen untuk menjaring mahasiswa baru jadi masalah awal. Sudah sejak 2013, kuota seleksi penerimaan mahasiswa baru didominasi SNMPTN dan SBMPTN yang pakai tes tertulis itu. Sisanya, baru dipakai untuk jalur mandiri.
Pada 2016, aturannya diubah. Pembagiannya berubah menjadi 40 persen untuk SNMPTN, 30 persen SBMPTN, dan 30 persen jalur mandiri. Artinya, persaingan SNMPTN dan SBMPTN, jalur murah itu, jadi makin ketat.
Pada 2018, aturannya berubah lagi. Berubah terus kayak kurikulum. Kuota SNMPTN jadi minimal 20 persen. SBMPTN, minimal 40 persen. Tiap kampus juga dikasih kebebasan untuk menentukan persenan SNMPTN dan SBMPTN sendiri, tapi jalur mandiri tetap 30 persen.
Nah, menempuh jalur mandiri ini udah kayak pertarungan lelang mempertaruhkan harta dan aset. Buat daftar saja ada yang membanderol biaya Rp750 ribu.
Setelah lolos seleksi awal, calon mahasiswa dari jalur mandiri sudah harus siap berhadapan dengan biaya lain di luar UKT. Masing-masing kampus punya istilah sendiri untuk “biaya” ini. Misalnya, dana pengembangan fasilitas kampus dan dana mutu akademik. Nominalnya? Bervariasi.
Dilansir dari Detik, ada Fakultas Kedokteran salah satu kampus yang mematok ratusan juta untuk jalur mandiri. Yah, kamu sendiri sudah tahu kenyataan ini.
Ada juga kampus yang memberlakukan kebijakan UKT tertinggi bagi mahasiswa jalur mandiri. Jadi, semua mahasiswa yang lolos jalur mandiri diwajibkan membayar UKT dengan level tertinggi. Biasanya, pola ini terjadi di kampus (PTN) dengan status Berbadan Hukum (PTN-BH).
Kampus dengan status PTN-BH itu punya keleluasaan pengelolaan aspek akademis dan non-akademis, termasuk pendanaan. Contohnya adalah boleh punyai dana abadi atau endowment sebagai investasi. Keuntungannya tentu untuk kepentingan kampus. Intinya, kampus bisa mengejar keuntungan demi berbagai “pembangunan dan pengembangan fasilitas”.
Jadi bisa kamu bayangkan sendiri. sudah jurusannya favorit, kuotanya nggak banyak, tapi peminatnya tinggi. Ditambah calon mahasiswa dengan lingkar otak pas-pasan, “harga” jalur mandiri makin tinggi. Padahal, orang tua sudah kadung pengin melihat anaknya lulus terhormat pakai toga dan terlihat gagah. Sementara itu, si anak sudah sejak lama bercita-cita jadi dokter, misalnya.
Pilihan bagi kelas menengah yang anaknya nggak pintar-pintar amat jadi terbatas. Mau minta keringanan tapi statusnya bukan orang miskin. Namun, di sisi lain, sebetulnya nggak mampu bayar jalur mandiri. Jual aset jadi pilihan yang jamak ditempuh. Jadi nggak punya aset pun dianggap nggak masalah asal anaknya kuliah.
Sebetulnya memilih nggak kuliah pun bisa. Apalagi pilihan ini sebetulnya nggak lagi begitu “memalukan”. Banyak kursus yang bisa ditempuh atau bikin toko online juga bukan pilihan hina. Namun, kenyataan dunia kerja yang banyak mencantumkan syarat S1 itu yang bikin sulit. Belum lagi soal gengsi.
Mimpi pendidikan murah dan merata itu semakin sulit terwujud. Lama-kelamaan, pendidikan bagus hanya untuk mereka yang masih mampu jual aset atau betulan orang kaya. Beasiswa dan segala macam bantuan hanya untuk mereka dengan otak cemerlang atau… kenal orang dalam.
Mau kuliah tapi nggak lolos jalur SNMPTN dan SBMPTN. Mau lewat jalur mandiri, tapi mahal betul. Sudah benar Jokowi, jadi petani saja. Tapi sawahnya digusur. Pusing.
BACA JUGA Tenang, Gagal SBMPTN Itu Penting dan Perlu dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.