MOJOK.CO – Golput dibilang Ibu Megawati sebagai kelompok yang pengecut, tak punya pendirian, tak punya harga diri. Modyar. Mampus kau dikoyak-koyak kampanye!
Benar-benar luwar biyasa pencerahan yang disampaikan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) soal golput. Saat berkampanye di GOR Pandawa Solo Baru, Sukoharjo, Jawa Tengah, blio terang-terangan menyebut bahwa golput itu pengecut.
“Jangan golput. Golput itu pengecut, tidak punya pendirian, tidak punya harga diri, tidak usah jadi warga negara Republik Indonesia,” kata Bu Megawati.
Benar itu, Bu Megawati. Sebagai warga negara kan mereka harus manut dengan apa kata elite negeri ini ya kan?
Kalau disodorin pilihan para elite ya nggak usah ngeyel. Udah numpang hidup di bumi pertiwi kok enak bener nggak mau ikhlas memilih elite yang nggak memperjuangkan kehidupannya?
Emang kelen semuwa, rakyat-jelata-kismin-tukang-nyusahin-pemerintah-itu bisa apa tanpa para elite politik? Hidup kalian itu kan bergantung sama elite. Hagimana, bertahun-tahun nggak punya kemampuan, nggak bisa mikir, bodoh, gampang diiming-imingi janji, fanatik buta.
Lihat dong para elite kita yang layak pilih, jenius mandraguna, dan berharga diri tinggi. Selalu perhatian, mendengar suara rakyatnya, berbaur, bijaksana, bahkan mau ikut mendengar keluhan rakyat-rakyatnya satu demi satu cuma saat kampanye.
Lagian para elite kita kan udah habis duit banyak buat memperjuangkan kepentingan partai. Masa udah ikhlas gitu kok ya masih mau dicuekin? Milih golput. Hedeh, benar-benar nggak punya hati nurani. Dasar warga negara kelas dua belas.
Bisanya cuma protas-protes-protas-protes nggak jelas lagi. Jadi warga negara kok ya kerjaannya nyolot kayak cupang.
“Terus enak-enakan mencari rezeki di Indonesia, tetapi tidak mau menjalankan kewajiban dia sebagai warga negara,” kata Bu Megawati lagi.
Bener itu, Buk.
Para golput ini emang nggak mikir kalau mereka semua harusnya menjalankan kewajiban dengan menjadi apa yang dimau para elite lewat undang-undang yang dibikin elite. Kalau disuruh elite milih, ya harus milih. Kalau jebul pilihannya sama-sama busuk, ya tetap kudu milih. Rakyat kok ngatur-ngatur. Siapa elu?
Rakyat itu kan tugasnya gampang. Tinggal datang ke TPS lima tahun sekali, nyoblos. Beres. Perkara habis itu nyolong, sebar hoax, mainan narkoba, korupsi kan nggak masalah, yang penting dipilih. Habis itu, tinggal sabar aja. Sabar nunggu lima tahun lagi.
Kayak misal, elite bilang rakyat harus belajar diet, ya harus diet. Elite bilang rakyat kudu nanam cabe sendiri karena cabe mahal, ya kudu nanem. Bahkan ke depan, kalau ada elite bilang BBM nggak kebeli, lalu rakyat disuruh cari minyak bumi sendiri, ya rakyat kudu ngebor minyak bumi sendiri.
Itulah yang namanya rakyat berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, tanpa elite harus kerja susah-susah. Warbiyasa kan? Ini namanya kerja berbasis pendekatan ongkang-ongkang. Yang digaji elite, yang suruh kerja dan mikir gimana caranya hidup ya rakyat sendiri.
Jangan apa-apa kok selalu nuntut pemerintah atau calon pemerintah. Jadi rakyat kok sukanya nuntut. Minta ini, minta itu. Kalau waktu kampanye sih ya bakal didengerin. Kalau nanti udah jadi ya, maaf, kerjaan banyak, Bos. Nggak bisa lah dengerin satu-satu.
Lagian soal nuntut-nuntut hak gitu kan itu tugasnya elite. Rapat parlemen mbolos, kinerja buruk selama bertahun-tahun tapi minta dimaklumi, kadang ketiduran, itu merupakan hak-hak elite.
Rakyat itu nggak elok kalau nuntut hak. Rakyat itu kudu ingat “kewajiban”-nya aja. Salah satunya kewajiban milih pas pemilu gini.
Kalau ke depan nanti rakyat ada yang kena masalah ya selesain sendiri, negara dan elite nggak perlu ikut campur. Tapi kalau negara butuh rakyat, ya rakyat harus segera menyediakan diri. Kalau nggak mau ya berarti situ anti-NKRI, anti-Pancasila, anti-Demokrasi.
Bu Megawati yang tertjinta juga menyampaikan, “Saya akan mengatakan baik yang tua maupun yang muda, kalian adalah warga negara yang pengecut, tidak berani datang ke TPS menunjukkan harga dirinya.”
Tuh, dengerin para golput se-tanah air yang nggak tahu malu dan nggak punya harga diri. Udah deh, lebih mending jadi koruptor, lebih ada harga dirinya. Jauh mah.
Apalagi buat rakyat yang berada di pelosok negeri dengan akses ke TPS susah. Warga negara yang tinggal di belantara yang harus mendaki gunung lewati lembah buat ke TPS. Atau mahasiswa-mahasiswa kere yang nggak punya duit untuk pulang kampung, lalu mau ngurus bisa milih di tanah rantau ribet dan akhirnya nggak bisa milih.
Kesulitan-kesulitan akses ke TPS yang nggak boleh jadi alasan untuk nggak datang ke TPS.
Makanya, kalau punya ekspetasi sama elite yang akan dipilih itu jangan ketinggian. Nggak usah bikin standar-standar yang kelewatan. Negosiasi dikit napa sih, susah amat?
Persoalan HAM nggak diselesain nggak apa-apa asal pembangunan infrastuktur bisa terus jalan. Kasus Novel Baswedan diabaikan nggak apa-apa, yang penting ada koruptor yang kena OTT. Lihat sesuatu itu yang baik-baiknya aja dong. Jangan apa-apa kok dilihatnya kurangnya terus.
Hal ini seharusnya jadi kesadaran bersama bagi rakyat, sehingga mereka harus maklum kalau elite politik emosi gitu sama kelompok golput yang menekan mereka.
Soalnya dalam ilmu politik elite di Indonesia, hukum Newton itu nggak berlaku. Itu lho hukum yang berbunyi: “Tekanan itu berbanding lurus dengan gaya. Kalau elite kok kena banyak tekanan, itu artinya kampanye mereka kebanyakan gaya.”