MOJOK.CO – Ikan asin merupakan kekerasan psikis sering disepelekan. Motif mempermalukan Fairuz oleh Galih Ginanjar mungkin saja terjadi karena kekerasan psikis yang tidak tertangani.
Jika ditarik ke belakang, awalnya adalah kebiasaan membicarakan orang lain. Mending kalau soal yang baik-baik saja. Kebiasaan orang, ketika berkumpul dan berserikat, bersama orang-orang dengan lidah yang lincah, paling seru adalah membicarakan keburukan orang lain.
Biasanya mulai dari yang ringan, misalnya kebiasaan ngupil, lalu diamati upilnya, ada yang lalu didekatkan ke hidung untuk dihirup baunya, ada pula yang dibuat bola-bola lucu menggunakan telunjuk dan ibu jari, untuk kemudian dipeperkan ke pipi temannya. Itu standar. Kalau yang nggak biasa kan langsung dibuang.
Obrolan yang sungguh tak pantas selanjutnya adalah soal kehidupan ranjang. Mulai dari mengorok dengan kekuatan suara mencapai sekian desibel, sampai kebiasaan orang kalau lagi sange dan pingin kelon. Lalu, ada pula yang beranjak ngomongin anatomi tubuh orang lain. Tititnya kecil yang kalau kencing, airnya bercabang dua, payudara besar sebelah, dan lain sebagainya.
Ketika sudah mengarah ke obrolan nggak pantas seperti ini, orang-orang yang berkumpul lalu tertawa-tawa puas. Apalagi kalau obrolan mereka ditangkap mengggunakan piranti kamera, dibuat format video, lalu diunggah ke Youtube demi klik, share, komen, dan subscribe.
Ya seperti Galih Ginanjar, yang gagal mengontrol lidah, ketika diwawancara Rey Utami dan Pablo Benua. Ketika disidik oleh polisi, Galih Ginanjar pun mengakui kalau motifnya memang ingin mempermalukan Fairuz A Rafiq, mantan istrinya. Galih Ginanjar dan Fairuz sendiri pernah berumah tangga selama tiga tahun sebelum akhirnya cerai.
Galih Ginanjar sendiri memang “kreatif”. Ia menciptakan sebuah istilah untuk mempermalukan mantan istrinya. Ia menjuluki Fairuz sebagai ikan asin. Jarang mandi seperti keris hingga masalah kemaluan yang bikin bau tak sedap. Ikan asin itu menjadi serangan yang sungguh jahat. Mempermalukan seseorang, menyerang pribadi yang tak seharusnya menjadi bahan konsumsi nggosip ibu-ibu komplek dengan bakul sayuran.
Galih Ginanjar, bersama Rey Utami dan Pablo Benua, per 12 Juli 2019 sudah resmi tersangka. Mereka akan menjalani kurungan selama 30 hari sebelum persidangan. Ketiganya dijerat menggunakan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) dan tindak pidana atas tindakan pencemaran nama baik lewat media sosial.
“(Ketiga tersangka) Pasal 27 ayat 1, Ayat 3 Jo Pasal 45 ayat 1 UU ITE dan Pasal 310, Pasal 311 KUHP. Ancaman hukumannya lebih dari 6 tahun penjara,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono di Polda Metro Jaya, seperti dikutip oleh Kompas.
Undang-Undang ITE memang layak dikenakan kepada Galih Ginanjar, Rey Utami, dan Pablo Benua. Namun, yang banyak orang lupakan, yang dilakukan Galih Ginanjar sendiri adalah tindak kekerasan, lebih spesifik: tindak kekerasan secara psikis.
Kekerasan secara psikis memang “kalah popuper” dengan tindakan kekerasan fisik atau kekerasan seksual. Namun, pada titik tertentu, kekerasan psikis bisa meninggalkan luka yang lebih dalam karena penderitaan batin yang menumpuk. Luka fisik bisa sembuh, tapi luka batin akan terus ada meski si korban berusaha untuk melupakannya.
Dan, biasanya, kekerasan fisik atau seksual sendiri meninggalkan bekas kekerasan psikis di dalam batin si korban, dalam hal ini Fairuz. Dan pada titik tertentu pula, kekerasan psikis ini tidak tertangani dengan baik.
Galih Ginanjar, perkara lidah yang jahat
Kekerasan psikis kalah populer karena masih banyak yang memosisikannya sebagai sebuah kebiasaan. Misalnya, dalam sebuah rumah tangga, salah satu dari suami atau istri mempermasalahkan kondisi tubuh. Katakanlah bau badan seperti isitilah ikan asin yang dibuat oleh Galih Ginanjar untuk mempermalukan Fairuz.
“Mah, kamu tuh lho, mbok mandi. Bau kayak ikan asin. Mandi kok pas Jumat kliwon saja. Emangnya kamu keris!”
“Pah, pulang kerja langsung mandi sana. Malah tiduran. Bau kakimu tu kayak ikan asin. Emang kamu pedagang ikan ya!”
Obrolan-obrolan sepert itu dianggap lumrah, bahkan mungkin dibumbui dengan tertawa karena dianggap lucu. Namun, mulai dari yang sepele itu, kekerasan psikis akan menjadi kebiasaan dan menumpuk. Ketika terjadi cek cok sebagaimana biasa rumah tangga, makian seperti itu akan secara reflek terpanggil dan menjadi kalimat verbal yang menyakiti hati karena didukung suasana batin yang kacau.
Sebelum bercerai, Galih Ginanjar dan Fairuz, mungkin melewati makian-makian verbal itu secara intens. Ditambah masalah rumah tangga lainnya, sebuah motif untuk mempermalukan muncul. Dan, Rey Utami dan Pablo Benua pun memberi panggung. Ikan asin, seperti puncak gunung es dari masalah kekerasan psikis yang (mungkin) sudah terjadi dalam waktu yang lama, dalam kehiduan Galih dan Fairuz. Dan kekerasan psikis itu belum sempat tertangani sebelum cerai.
Dan, tahukah kamu, kekerasan psikis itu termasuk KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kamu pikir tamparan dan pemaksaan kehendak untuk kelon saja yang bisa dianggap kekerasan? Jangan sepelekan kekerasna psikis. Ketika sudah menumpuk dan tidak tertangani, opsi hidup si korban akan semakin tipis. Ketika rasa putus asa dan malu semakin tebal, bunuh diri bisa jadi ujungnya. Jangan pernah sepelekan kekerasan psikis.
Kekerasan psikis masih kurang populer karena lebih sulit dibuktikan menggunakan visum seperti layaknya kekerasan fisik atau seksual. Perlu psikolog yang kompeten untuk menelusuri jejak perubahan psikis dari korban. Misalnya perubahan apa yang dahulu dirasakan Fairuz. Apakah malu, stres, dan cemas menjalani kesehariannya atau ketika memikirkan masa depan.
So, intinya, kembali ke paragraf awal. Pada awalnya adalah kegemaran orang untuk ngomongin orang lain ketika berkumpul. Orang yang secara kualitas diri adalah minus, akan mendapatkan panggung untuk mewujudkan motif dendam secara verbal.
Lidah adalah harimau, hati yang kelam adalah sumur masalah. Jangan sepelekan kekerasan psikis.