MOJOK.CO – Jangan meremehkan kekuatan ciye-ciye yang cuma bercanda itu. Pasalnya, hal ini bisa membubarkan hubungan platonik atau persahabatan di antara perempuan dan lelaki menjadi hubungan yang bawa-bawa perasaan.
Mungkin ada di antara kita yang pernah memiliki sahabat lawan jenis. Kedekatan tersebut betul-betul karena kenyamanan satu sama lain, persamaan pandangan hidup, dan nyambung ketika ngobrol bareng. Meski merupakan hubungan lawan jenis, tidak ada di antara kalian yang berhasrat atau sekadar kepikiran untuk melanjutkannya menjadi sebuah hubungan asmara.
Kalian berdua memang merasa betul-betul hanya berteman saja. Namun ternyata, tidak seperti itu yang dilihat oleh orang di luar sana. Celetukan semacam…
“Ah, pasti di antara kalian ada yang saling suka.”
“Nggak mungkin ah, kalau cewek dan cowok temenan, itu betul-betul cuma temenan.”
…terlalu sering kalian terima dari teman-teman.
Jadi, apakah memang beneran bisa? Ketika seorang laki-laki dan perempuan berteman, mereka betul-betul hanya dapat berteman tanpa memiliki hasrat lainnya?
Jawabannya: BISA.
Hubungan semacam ini disebut sebagai hubungan platonik. Pada pasangan yang orientasi seksualnya heteroseksual, maka definisinya menjadi, hubungan lawan jenis tanpa melibatkan perasaan atau hawa nafsu. Jadi, kedua orang ini, dapat saling memberi perhatian lebih, saling menyayangi satu sama lain, benar-benar tanpa ada keinginan untuk melibatkan perasaan ‘cinta’ dalam hubungan tersebut.
Gampangannya, mereka memang cocok dan klop tapi nggak ada hasrat maupun pikiran untuk pacaran apalagi menikah.
Tapi masalahnya, nggak banyak orang yang percaya bahwa hubungan semacam ini betul-betul ada. Lagian, kalau memang udah cocok, kenapa nggak jadi pasangan beneran aja, sih? Kenapa cuma jadi temen dan sahabat doang?
Ya nggak apa-apa, lah. Suka-suka mereka. Kok kamu yang ngebet?
Begini, ya, Sayang. Tidak semua pertemanan dengan lawan jenis itu menyimpan fantasi romantis atau bahkan erotis. Sehingga, bukan sesuatu yang aneh kalau yang namanya hubungan platonis itu benar-benar bisa terjadi.
Oke, saya ambil contoh di luar hubungan heteroseksual, ya. Biar gampang.
Pertama, bayangkan hal ini terjadi pada seseorang yang punya orientasi biseksual. Di mana, dia bisa memiliki ketertarikan baik secara fisik, seksual dan emosional pada laki-laki dan perempuan. Nah, jika hubungan platonik itu tidak ada, lantas apakah itu artinya semua pertemanan yang dia jalin pasti memiliki ‘maksud tertentu’?
Kedua, bayangkan juga jika hal ini terjadi pada seseorang yang punya orientasi seksual gay atau lesbian. Di mana, dia memiliki ketertarikan pada sesama jenisnya. Jika hubungan platonik itu tidak ada, apakah artinya seorang lesbian tidak dapat betul-betul hanya berteman dengan teman perempuannya? Apakah jika seorang lesbian dekat dengan teman perempuannya, itu artinya dia ‘selalu’ memiliki ketertarikan emosional dan seksual kepada si temannya itu?
Padahal kan nggak juga. Mereka juga pilih-pilih lagi. Ya kali semua teman perempuannya, mereka embat gitu aja. Hal yang sama juga terjadi pada seorang dengan orientasi seksual gay.
Nah, begitu juga yang sebetulnya terjadi pada hubungan heteroseksual yang dialami oleh kebanyakan orang. Bukan sesuatu yang tidak mungkin jika laki-laki dan perempuan betul-betul hanya bersahabat tanpa ada hasrat yang lainnya.
Tapi kan, yang sering terjadi, kalau cewek sama cowok sahabatan, biasanya emang ada yang diem-diem suka. Buktinya nggak sedikit yang akhirnya pacaran dan bahkan nikah.
Iya, mereka akhirnya bener-bener saling suka, soalnya kamu ciye-ciye in!!!11!11!
Begini loh, Sayang. Sejak kecil kita terdoktrin dengan konsep heteronormatif. Yang artinya, jika ada laki-laki dan perempuan dekat, maka mereka adalah pasangan.
Coba ingat-ingat sejak zaman SD dulu, sudah berapa sering kamu ngeciye-ciye temen perempuan dan laki-lakimu hanya karena mereka duduk sebangku, ngobrol akrab berdua, saling berbagi makan siang, dan aktivitas ‘selayaknya pasangan’ yang lainnya?
Lantas, berapa banyak yang kemudian baper beneran dengan kekuatan ‘ciye-ciye’ kalian itu Banyak? Hooh?
Terus kenapa?
Oke, saya jelaskan melalui alur di bawah ini. Anggap saja, ini adalah cerita tentang hubungan antara Bejo dan Siti.
Satu, tidak semua hubungan lawan jenis tersebut selalu diawali dengan ketertarikan dan berniat untuk pedekate biar bisa jadi pasangan. Ini yang terjadi pada hubungan Bejo dan Siti. Sebetulnya kedekatan mereka berdua dikarenakan sama-sama memberi kenyamanan sebagai teman. Tidak ada hasrat lainnya.
Dua, karena kedekatan tersebut, orang-orang di luar mulai terusik dengan kedekatan Bejo dan Siti. Mereka mulai diciye-ciyein, mulai dikomentarin…
“Kalian ini cocok loh. Kenapa kok nggak pacaran aja sih? Friendzone-nan muluk.”
Ketika si Siti ini menyanggah dan bilang, “Hadeeh, aku itu nggak mungkin sama Bejo. Orang kami cakar-cakaran muluk.”
Jawaban si teman Siti ini biasanya, “Halah, jangan ngomong nggak mungkin. Nanti kejadian beneran, loh.”
Tiga, yang terjadi selanjutnya dan jarang disadari, Siti mulai kepikiran karena komentar-komentar dari temannya yang sok tahu itu. Siti secara tidak sadar, mulai terdoktrin dengan kata-kata temannya…
“…kalian itu cocok, lho”
“Kenapa nggak pacaran aja, sih?”
“Kalau perempuan dan laki-laki sahabatan, pasti salah satu ada yang saling suka.”
Doktrin-doktrin tersebut kemudian masuk ke alam bawah sadarnya Siti, perlahan-lahan namun cukup intens. Kemudian apa yang terjadi, Sayang?
Yak betul, SITI JADI SUKA BEJO BENERAN!
Lantas apakah si teman Siti ini salah? Oh tentu saja tidak. Jika Bejo dan Siti masih single dan nggak punya pasangan. Akan berbeda cerita kalau mereka sudah punya pasangan dan terjebak dalam cinta lokasi, hanya karena kedekatan mereka diciye-ciye teman-teman yang lain.
Nah, yang kayak gini nih, sangat sering terjadi di KKN…
…Kuliah-Kerja-Nyelingkuhin Pacar Orang.