Dulu semasa kuliah, saya pernah agak menyesal tidak mendengarkan saran Bapak saya agar mendaftar jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Sebab, arah karier mereka jelas, jadi guru. Pun, mereka punya Hari Guru, plus predikat Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Sastra Inggris mah, punya apa. Mana ada hari Sastra Inggris di Indonesia?
Tapi itu waktu kuliah. Saya masih tolol, begitu naif, dan tidak memahami realitas secara utuh.
Hari Guru dan gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa bagi saya tak lebih dari sebuah seremonial semu yang tak punya arti apa-apa. Untuk apa gelar pahlawan, kalau kenyataannya, mereka kerap jadi samsak. Untuk apa ada Hari Guru, jika kesejahteraan mereka masih jadi misteri terbesar abad ini.
Bicara tentang guru memang tak pernah ada habisnya. Sayangnya, bukan karena kelewat banyak hal yang bisa dibahas, tapi topik yang dibahas itu-itu saja dan tak pernah terlihat jelas penyelesaian dari topik tersebut. kesejahteraan, kepastian karier, serta perlindungan adalah topik yang sudah dibahas sejak masa Orde Baru. Tapi, tetap saja, kepastian dan penyelesaian tak terlihat hinggi kini.
Bayangin, dari Suharto berkuasa, lalu dilengserkan, terus dianggap penjahat HAM, sampai diberi gelar pahlawan nasional, isu tentang guru nggak kelar-kelar. Kalau ditanya kenapa, ya jawabannya jelas: inkompetensi pejabat berwenang dan tidak adanya political will dari pemerintah untuk mengatasi hal ini.
Hari Guru yang semu
Tiap hari ini dirayakan, di kepala saya ada satu skenario yang terus berulang. Beberapa guru honorer ikut upacara, ikut menyanyikan Hymne Guru, lalu murid-murid mereka memberikan sedikit apresiasi atas jasa-jasa mereka. Skenario itu indah, sampai kau sadar satu hal, apresiasi itu hanya ada di hari tersebut.
Bukan, bukan saya bilang murid-murid harus memberikan apresiasi tiap waktu. Saya yakin betul guru-gurunya juga tidak mau para murid urunan tiap hari. Yang saya maksud adalah, apreasiasi untuk mereka itu datangnya hanya sekali, pun itu datang dari orang yang sebenarnya tak perlu repot-repot memberi. Justru, yang harusnya memberi, memilih untuk tak peduli.
Saya tahu bahwa nasib guru di masa kini sebenarnya jauh lebih mendingan ketimbang di masa lalu. Saya tak mungkiri itu. Tapi tak berarti, semuanya sudah ideal. Yang mendapat nasib mendingan ya yang PNS, sedangkan kita tahu, yang namanya PNS pasti tak sebanyak itu. padahal, guru non-PNS ya banyak banget, dan nasib mereka juga tak berubah banyak.
Janji perbaikan nasib guru selalu muncul di masa pilpres. Tapi hingga kini, tak ada yang benar-benar berarti. Justru yang terjadi, nasib mereka makin tak pasti. Mau tak mau, mereka harus mencari pekerjaan yang lebih pasti memberi mereka kemampuan untuk membeli nasi ketimbang harus bersabar menunggu perbaikan nasib.
Coba sekarang tanya guru-guru tua yang berstatus PNS. Tanya mereka, berapa tahun menunggu perbaikan nasib. Ada yang 3 tahun, ada yang 5 tahun, tak jarang mereka punya status pegawai dengan gaji lebih baik setelah satu dekade mengajar.
Bagi saya, itu nggak ada masuk akalnya sama sekali. Bagi kalian masuk akal? Kalau iya sih, kayaknya kalian kudu memperbaiki cara pikir kalian.
Perbaikan nasib yang ditentang
Sekarang, coba lempar postingan tentang gaji guru baiknya dinaikkan. Mumpung Hari Guru, harusnya postingan kalian rame. Dan saya yakin, pasti ada yang menentang dengan argumen yang amat template: guru banyak yang tidak kompeten, banyak guru PNS, dan salah sendiri jadi guru.
Ketiga argumen template tersebut, nggak ada masuk akalnya sama sekali. Bahwa guru tidak kompeten tidak layak digaji tinggi, saya setuju. Tapi apakah isu kesejahteraan guru jadi tidak valid? Ya goblok kalau cara berpikir kayak gitu. Banyak karyawan tidak kompeten di Indonesia, bukan berarti UMR tidak naik gara-gara itu kan?
Kalau banyak guru PNS di Indonesia jadi argumen menolak isu kesejahteraan guru, ini makin konyol lagi. Total jumlah guru PNS di Indonesia menurut BPS di 2023 adalah 1,14 juta orang. Padahal, guru SMA saja ada 5 juta lebih.
Dan argumen salah sendiri jadi guru… dude, i don’t even know what to say. Kebodohan sepertinya memelukmu dengan erat dan hangat.
Saya cuma heran satu hal. Sejauh ini, hanya guru, profesi yang kerap mendapat tentangan jika ada usulan minta kesejahteraan ditingkatkan. Dan yang menentang dari segala pihak. Bahkan dari mereka-mereka yang hidupnya diperbaiki oleh guru-guru yang ada.
Hari Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, dan omong kosong yang menyertainya
Saya tentu saja tak menolak adanya Hari Guru. Bukan, bukan itu maksud saya. Tapi, selama Hari Guru hanya dimaknai sebagai seremoni, bukan sebagai pengingat bahwa ada PR besar yang tak pernah berusaha diselesaikan, maka yang terjadi hari ini akan tetap terjadi di tahun depan, tahun depannya lagi, dan depannya lagi.
Bahkan saya punya pikiran radikal, hapuskan saja predikat Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Untuk apa predikat pahlawan, jika tak ada penghargaan yang pantas untuk mereka. Mending predikat pahlawannya nggak ada tapi mereka sejahtera sih. Saya pikir mending seperti itu ketimbang menggendong predikat palsu, sedangkan untuk bayar tagihan besok, mereka tidak tahu.
Pada akhirnya, selamat Hari Guru. Semoga kalian mendapat kepastian karier. Semoga kalian mendapat kesejahteraan, bare minimum yang harusnya negara berikan. Dan semoga, semoga saja, negara pada akhirnya peduli nasib kalian dengan proper, bukan dengan cara ganti kurikulum dan bilang “kalau mau jadi kaya, jadilah pedagang”.
Kui omongan uopoooo, ra mashok!
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Selama Gaji Guru Tidak Naik, Universitas Pendidikan macam UNY Hanya Akan Jadi Pencetak Orang Miskin Baru dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN











