Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Harga Diri Memang Bukan Perkara Sederhana

Agus Mulyadi oleh Agus Mulyadi
14 Juli 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Dalam film “Loving Pablo”, —film tentang Pablo Escobar, seorang gembong narkoba paling dahsyat dan brutal di Amerika Selatan, bahkan dunia— yang saya tonton beberapa waktu yang lewat, ada satu scene yang bagi saya punya arti begitu dalam dan sentimentil. Adegan saat si Pablo Escobar menangis karena tak bisa mengantar putri kesayangannya, Manuela, pergi ke alun-alun membeli es krim karena ia harus mendekam di penjara.

Don Pablo, begitu julukannya, lelaki yang pernah menjadi salah satu orang terkaya di negaranya, lelaki yang pernah memasok 80 persen kebutuhan kokain amerika serikat, lelaki yang punya banyak pasukan dan sicario (pembunuh bayaran) yang siap mati untuknya, lelaki yang memimpin salah satu kartel narkoba terbesar di dunia, lelaki yang bisa dengan tega membayar orang-orang untuk membunuhi polisi dan juga lawan-lawan usahanya dengan proses pembunuhan yang sangat kejam, ternyata menangis karena tak bisa mengantar putri kesayangannya membeli es krim.

Bagi Pablo, mengantarkan putrinya membeli es krim adalah soal harga diri sebagai seorang ayah. Dan ketika hal itu tak sanggup ia jalani, maka rubuh harga diri itu.

Dan kita semua tahu, ketika harga diri rubuh, menangis adalah salah satu hal yang paling mungkin untuk dilakukan.

Di belahan bumi yang lain, saya pernah melihat adegan yang tak kalah sentimentil tentang urusan harga diri.

Lelaki itu bernama Rusdi Mathari. Ia kawan sekaligus guru saya. Ia tentu saja bukan kartel narkoba seperti Pablo Escobar, potongannya sangat tidak meyakinkan untuk ukuran seorang kartel. Ia adalah penulis dan wartawan. Salah satu wartawan terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.

Baginya, menulis tentu saja adalah perkara harga diri. Menulis adalah pekerjaannya. Dari menulis itu, ia bisa memberikan penghidupan untuk anak dan istrinya.

Maka tak heran jika dalam kondisi yang sakit, ia tetap ingin bisa menulis.

“Saya harus mengetik, harus bertahan dan hidup, menulis adalah pekerjaan saya. Karena Itu saya mencoba menulis menggunakan gajet, meskipun hanya dengan satu jari. Tangan kiri memegang gajet, jempol tangan kanan mengetik.”

Hingga, pada suatu ketika, pemandangan itu saya lihat saat saya dan Puthut EA menjenguk dirinya di rumahnya. Di ranjangnya, ia hanya berbaring lemah. Tangannya susah digerakkan. Dalam kondisi tersebut, air matanya mengalir. Ya, ia menangis. Rusdi Mathari menangis.

“Aku sudah nggak bisa nulis, Thut, Gus…” ujarnya lirih. “Tanganku sudah nggak bisa gerak,” ujarnya dengan diiringi air mata yang mengalir.

Saya ikut menangis. Saya melihat bagaimana Rusdi Mathari menganggap bahwa harga dirinya tumbang disertai dengan air mata. Padahal di mata saya, harga dirinya sebagai seorang penulis masih tetap tegak berdiri. 

Kelak, sosok yang menangis karena tak bisa menulis itu akhirnya berpulang. Namun begitu, tentu saja tulisannya akan terus abadi. Sebab ada banyak kawan baik yang terus menjaga, menerbitkan, menyebarkan, dan merayakan tulisan-tulisannya.

Harga diri memang bukan hal yang sederhana. Ia perkara serius, yang bahkan bagi banyak orang, jauh lebih berarti ketimbang nyawa yang melekat. Harga diri adalah kemewahan. Pada harga diri-lah, seorang manusia masih tetap bisa bangga hidup sebagai manusia.

Iklan

Banyak manusia yang mempertahankan harga dirinya dengan mati-matian. Dan tak sedikit manusia yang menggadaikannya dengan murah.

Pemilu beberapa waktu yang lalu menjadi panggung yang paling sempurna, betapa banyak orang-orang yang menggadaikan harga dirinya pada kontestasi politik yang sebetulnya tak seberapa harganya. Menjadi penjilat, menjadi orang yang mudah menarik kata-katanya.

Sungguh, berbahagialah mereka yang terus setia menjaga harga dirinya. Yang tidak pernah menggadaikannya, apalagi menjualnya.

Terakhir diperbarui pada 14 Juli 2019 oleh

Tags: harga dirirusdi mathari
Agus Mulyadi

Agus Mulyadi

Blogger, penulis partikelir, dan juragan di @akalbuku. Host di program #MojokMentok.

Artikel Terkait

wartawan
Pojokan

Sebuah Kredo: Wartawan Tidak Boleh Sakit

9 Februari 2021
Jurus Mempertahankan Harga Diri di Era Konsumtif
Pojokan

Jurus Mempertahankan Harga Diri di Era Konsumtif

14 November 2019
Esai

Nggak Seperti Kami yang LDII, Muhammadiyah Sudah Cukup Lucu Kok

30 Oktober 2018
KEPALA SUKU-MOJOK
Kepala Suku

Siapkah Jika Suatu Saat Kita Sakit dalam Waktu yang Panjang?

21 Maret 2018
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.