MOJOK.CO – Swing Vote memang film keluarga. Namun, film ini sejatinya mengangkat tema pemilu yang menarik untuk dibahas, yaitu wacana antigolput dan persaingan politik praktis para capres dalam mendulang suara rakyat.
Isu ancaman golput yang berkembang menjelang Pilpres 2019, mengingatkan saya pada sebuah film berjudul Swing Vote besutan sutradara Joshua Michael Stern. Soalnya, film keluarga yang dirilis pada 2008 ini mengandung wacana antigolput dan sindiran yang cukup banal terhadap politik praktis penguasa. Oleh sebab itu, bagi kamu yang punya rencana golput, saya sarankan agar menonton film ini dulu.
Swing Vote bercerita tentang sebuah masalah yang terjadi saat Pilpres Amerika Serikat sedang berlangsung di Texico, sebuah kota yang terletak di negara bagian New Mexico. Masalah ini berawal dari Molly (Madeline Carol) yang diam-diam masuk ke bilik TPS dengan menggunakan identitas dan hak suara bapaknya, Bud Johnson (Kevin Costner).
Pada saat Molly hendak memilih, mesin yang dipakai untuk memberikan pilihan mati gara-gara seorang petugas kebersihan tidak sengaja menyandung kabelnya hingga tercerabut dari stop kontak. Padahal, Molly sudah terlanjur memasukkan kertas suara ke mesin tersebut. Walhasil suara Bud tak bisa dihitung.
Namun di luar dugaan, perolehan suara antarkandidat di negara bagian itu pun imbang secara ajaib (yah, namanya juga film), sehingga komite pemilihan di New Mexico memutuskan untuk melalukan pemungutan suara terakhir. Bud, satu-satunya peserta terakhir yang suaranya belum sempat masuk hitungan, dipaksa agar menyelesaikan tanggung jawabnya untuk memilih dalam waktu 10 hari. Dengan kata lain, suara Bud Johnson akan menentukan sosok presiden Amerika Serikat berikutnya. Dari sinilah keunikan film tersebut dimulai.
Bud, merupakan bagian dari masyarakat ekonomi kelas bawah Texico. Dia menjadi buruh di sebuah pabrik packing telur. Sebagai seorang single parent, Bud adalah sosok ayah pemalas, tukang mabok, dan cenderung apatis dengan politik. Bud berpikir bahwa siapapun yang akan jadi presiden tidak akan berpengaruh terhadap kehidupannya, sehingga dia tak peduli dengan pemilu. Itulah yang membuat Molly, anaknya, datang ke TPS dan menggunakan hak suara Bud.
Sedikit berbeda dengan Bud Johnson, Molly merupakan seorang gadis cerdas yang menginginkan perubahan melalui pemilu. Pandangan Molly mewakili tokoh intelektual yang meyakini bahwa dalam pemilu, kita tidak hanya urun suara, melainkan juga menandatangani sebuah kontrak sosial dengan pemimpin yang kita pilih. Pemikiran semacam ini jamak dikoarkan elite politik negara kita selama beberapa waktu terakhir untuk melawan ancaman golput.
Dalam pemilu, golput memang selalu jadi ancaman yang sukar ditampik. Sebagai sebuah sikap politik, golongan putih atau golput biasanya merujuk pada sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Ada berbagai jenis golput di dunia ini. Namun, yang berpotensi besar memengaruhi dukungan masyarakat terhadap pemilu adalah golput sebagai wujud protes terhadap pemerintah.
Sejarah mencatat, pada 1971, Arif Budiman dan para mahasiswa pernah melakukan counter culture terhadap pemerintahan Orde Baru dalam bentuk golput. Mereka yang ikut gerakan ini tetap datang ke TPS, tapi sengaja tak memilih atau hanya mencoblos bagian putih di kertas gambar. Gerakan golput ini menjadi upaya Arief Budiman dkk untuk melawan kekuasaan Orde Baru yang dinilai gagal mewujudkan kebebasan berpolitik masyarakat.
Selain protes, golput juga menjadi alternatif politik orang-orang yang kecewa. Di akhir kepemimpinan Megawati, tepatnya pada 2004, jumlah orang yang golput mencapai 23,4%. Meningkat dibanding golput pada pemilu masa akhir Orde Baru (1997) yang hanya sekitar 10%. Dan itu disebabkan oleh satu hal: rasa kecewa.
Pada era kepemimpinan Megawati ada beberapa kasus yang membuat masyarakat kecewa. Di antaranya adalah makin merebaknya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) ditambah penegakan hukum yang cenderung tumpul ke atas. Pada satu sisi, masyarakat sudah berharap banyak terhadap pemerintah pasca tumbangnya Orde Baru.
Saya kira dua masalah itu, masih belum bisa teratasi hingga era Jokowi. Sementara, masalah-masalah inilah yang berpotensi besar menambah jumlah orang-orang golput. Maraknya pejabat korup atau penegak hukum yang lemah acap kali membuat masyarakat malas memilih pemimpin. Mereka merasa tidak bisa memengaruhi moral pemerintah.
Padahal, menjelang pemilu, setiap kandidat pemimpin berlomba-lomba untuk dekat sekaligus mencoba memahami keinginan masyarakat. Dalam Swing Vote, saat para capres Amerika tahu suara Bud Johnson akan menentukan nasib mereka, maka persaingan politik yang lucu dan konyol antara Presiden Andrew Boone (Kelsey Grammer) melawan capres dari Partai Democrats, Donald Greenleaf (Dennis Hopper) pun tidak bisa dihindari.
Bud, masyarakat sipil yang biasanya cuma jadi remah-remah roti, mendadak diperebutkan dua capres tersebut. Mereka berupaya mendekati Bud dengan cara mewujudkan setiap keinginannya. Mulai dari mengundang pembalap idola Bud, berpesta ria dengan band favorit Bud, sampai memberi souvenir-souvenir mahal untuk dia dan anaknya. Dua capres itu juga berusaha menaruh perhatian pada isu-isu yang sekiranya dekat dengan Bud, seperti imigran ilegal dan kebebasan LGBT (Lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender).
Namun, kelihatan sekali, Andrew dan Donald hanya berusaha memperoleh suara Bud. Inilah sindiran politik praktis dari film ini: tafsir atas realitas yang menunjukkan bahwa rakyat kerap diperlakukan hanya sebagai batu loncatan menuju kursi kekuasaan. Perhatian terhadap rakyat, dengan memahami isu kebutuhan mereka, tak lebih dari usaha untuk mewujudkan kepentingan elite politik semata.
Di sisi lain, Bud Johnson juga menjadi harapan bagi orang-orang yang aspirasinya merasa belum didengar pemerintah. Banyak surat yang dikirim ke rumah Bud, isinya keluhan-keluhan mengenai pemanasan global, problem asuransi kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Para pengirim surat itu berharap, Bud akan mendiskusikan semua keluhan tersebut dengan para kandidat sebelum menentukan pilihan.
Pada titik ini, film Swing Vote menunjukkan pada kita bahwa dalam setiap suara individu ada harapan menuju negara yang lebih baik. Oleh sebab itu, film ini memberikan satu satu pesan, “Walaupun semua kandidat presidenmu cuma bermain politik praktis buat mendekati rakyat, kamu harus tetap nyoblos demi terwujudnya perubahan! Karena pemilu itu pertaruhan suara. Kamu tidak benar-benar tahu siapa yang tulus mengabdi pada rakyat, jadi yang bisa kamu lakukan sebagai warga negara hanya memilih dan berharap. Sudah.”
Demikian, kenyataan dalam dunia demokrasi kita. Nyoblos hanya menjadi semacam menunaikan kewajiban dan bertaruh harapan. Sementara kita, masyarakat, tidak benar-benar mengenal seperti apa orang yang kita pilih. Kita hanya tahu mereka lewat kampanye pemilu atau kegiatan sosial dari media. Padahal, boleh jadi sosok yang kita pilih justru adalah “orang jahat” sebagaimana yang dikatakan Mahfud MD. Siapa tahu?